32. Pembagian

1073 Words
- "Perasaanku gundah. Melihat kamu tersenyum adalah bahagiaku. Tapi jika senyumanmu berasal dari oleh orang lain, mengapa menjadi sesak tak menentu?" - *** "Eh-eh, kok belok?" Lila terkejut ketika Magenta membelokan motonya ke arah kiri, padahal rumah Lila itu seharusnya tetap masih lurus. "Ke rumah sakit. Katanya lo demam." Mata Lila membulat, dia tak mengerti lagi dengan pemikiran Magenta. Alhasil, gadis itu mencubit kuat punggung Magenta sampai Magenta merintih kesakitan. "Aduh, Lila! Katanya demam tapi tenaga buat nyubit kek tenaga gajah! Dikira nggak sakit kali!" pekik Magenta. "Ya lo, sih. Masa cuma demam langsung dibawa ke rumah sakit. Kan bisa tuh di bawa ke rumah gue!" protes Lila kembali menggunakan suara keras. "Kalo dibawa ke rumah tangga gue, mau, nggak?" goda Magenta tertawa renyah namun kembali mendapat cubitan bak dicubit kepiting. "Sakit, buset!" "Ya maaf, salah lo sendiri. Btw Ta, mau gue comblangin ke yang lain nggak? Yang lebih cantik daripada gue banyak, loh! Gue kan cuma cewek kentang, yang masih abu-abu buat lo," tawar Lila sedikit tidak menggunakan otak dan hatinya. Magenta menggerakan kepala seraya berkata tidak. "Berarti lo kentang gosong dong, La?" tebaknya, lagi-lagi membuat dia tertawa. "Ta .... " Magenta memperlambat laju motonya. Ia harap, apa yang dia katakan akan terdengar jelas di telinga Lila. "Di dunia ini emang banyak cewek cantik. Banyak yang baik, yang mungkin bisa jatuh cinta sama gue, yang mungkin mau jadian sama gue. Tapi tetep aja, di penglihatan gue, pikiran gue, dan perasaan gue, cuma ada satu nama cewek yang terus teriang-ngiang. Itu lo, Lila Rosetta. Cewek yang gue cinta, yang gue perjuangin sepenuh hati tapi lo justru sedang berjuang buat dapetin cowok lain." Bagai terbius. Lila tak bisa sadar sejenak. Telinga, otak, dan hatinya sedang berproses teru-menerus untuk mencerna semua pengungkapan Magenta. Pengungkapan yang teramat tulus dan sedikit tragis karena cinta cowok itu tak terbalas. "Gimana basketnya?" tanya Lila mengubah topik pembicaraan. Magenta menarik senyum miringnya. Dia paham, bahwa Lila tak mau membahas soal yang seperti tadi. "Menang, dong! Siapa dulu kaptennya, Magenta Rauland!" serunya menutupi kerapuhan hati. "Eleh, sombong bener! Lo pasti main curang, ya?" Magenta menepikan motornya, begitu sampai di depan rumah Lila. "Enak aja, gue mah dari dalam kandungan juga udah basketan, Kutil Badak!" Sang anak pemilik rumah mulai turun dari motor. Dia berusaha untuk melepaskan helmnya. Untung saja, kali ini Lila lancar melepaskan pengait helm itu. "Eh Kuda Lumping, mana bisa di kandungan malah basketan. Gini nih, kalo ngomong nggak suka pake dengkul!" Lila merapikan rambutnya. Dia memeluk dirinya sendiri yang masih mengenakan sweater tebal kepunyaan Navi. "Udah, ah, gue mau cabut. Salam buat Tante Aster. Lain kali, kabar-kabar kalo pergi, jadi nggak bikin mama lo pusing. Bye, Lila cantik. Jangan lupa belajar mencintai gue, ya!" Magenta mencuatkan senyum bersama matanya yang tenggelam. Dia lantas bergegas pergi karena merasa tugasnya telah selesai. *** "Selamat siang, anak-anak." Suara Bu Roro yang memasuki kelas, membuat seluruh isi kelas mendadak sunyi. Lila segera membuka buku, berpura-pura terlihat rajin. "Hari ini, kita bukan akan belajar materi saja. Tetapi kita juga akan membentuk beberapa kelompok untuk materi baru yang saya ajarkan. Dan nantinya, kelompok terbaik akan mengikuti pentas Light Skylerz." Siswa di kelas itu mengeluh keras. Kecuali Lila. Dia justru berbinar dan semangatnya sangat membara ketika mendengar pembentukan kelompok pada mata pelajaran seni. Ah, dia sangat tidak sabar. Light Skylerz adalah sebuah event festival seni spektakuler bukan hanya dari OSIS, melainkan dari organisasi-organisasi SMA Sky Blue lainnya. Akan terdapat berbagai hasil karya seni siswa yang dipajang di acara itu. Mulai dari lukisan, pahatan, atau lainnya. Light Skylerz ini sudah digelar selama 10 tahun dan telah menjadi tradisi turun-temurun SMA Sky Blue. Lila benar-benar tidak sabar menanti event itu. Dia ingin segera berada di keramaian malam puncak acara Light Skylerz. Ya, tentu saja adalah promnight. Dia juga ingin sekali tampil dalam pensi. Siapa tahu, dia akan menjadi perwakilan yang ditunjuk Bu Roro. "Baiklah anak-anak, kali ini materi yang akan saya ajarkan adalah seni tari. Kalian akan mencoba menari tarian berpasangan dari luar negeri yaitu Tari Cha Cha." Bu Roro mengangkat sebuah kotak kecil yang ia bawa dari tadi. Mata Lila terus berbinar. Dia tak bisa menunggu siapa yang akan menjadi pasangan menarinya? "By, menurut lo, gue bakal sama siapa?" tanyanya iseng kepada Ruby. Perlu diketahui, Lila tidak melakban mulutnya kali ini, karena dirasa tak akan mengganggu. Lagi pula, akhir-akhir ini, Lila merasakan ada sedikit perubahan pada dirinya. Gadis itu dapat menahan sejenak kata-kata yang hendak dia ucapkan. "Menurut gue sih, lo bakal sama si Ujang!" jawab Ruby yang langsung mendapat pelototan dari Lila. "Ya keles gue sama si Ujang yang suka ngiler. Ah, ogah banget itu!" protes Lila tidak terima. Ruby melirik Lila. Temannya itu apa tidak sadar diri? "Lo juga sering ngiler. Nguap nggak ditutup, kamar berantakan, mandi satu kali sehari. Lo bahkan lebih jorok dari pada Ujang," goda Ruby dengan sengaja. "Enggak juga tuh!" teriak Lila membuat seluruh teman kelasnya menoleh ke arah gadis itu. "Lila, Ruby, dengarkan apa yang Ibu ucapkan. Ya, langsung aja silakan kalian ambil lintingan nomor yang ada di kotak ini." Bu Roro meletakan kotak kecil tadi pada meja gurunya. "Setiap orang yang mendapatkan nomor sama, itu akan menjadi sepasang kelompok. Karena ini adalah tari berpasangan putra putri, maka gantian, ya. Yang mengambil lintingan siswa putra dulu, lalu dilanjut yang putri. Silakan dimulai." Bu Roro kemudian duduk di kursinya, mengawasi siswa-siswa yang mulai maju untuk mengambil lintingan nomor. Sekarang giliran para siswi yang mengambil. Sepanjang jalan menuju ke depan Lila tak hentinya mengucapkan doa untuk tidak satu kelompok dengan Ujang. Bisa gawat nanti. Lamban ketemu lamban. Setelah semua mendapatkan lintingan, mereka kembali duduk pada kursi masing-masing sembari menyimpan nomor baik-baik. Sungguh, jantung Lila berdebar hebat saat ini. Apakah tu pertanda bagus? Gadis itu sampai mencucurkan keringat dingin karena terlalu gugup. Siapakah nanti yang akan menjadi teman satu kelompoknya? "Ibu sebutkan nomornya, kalian angkat tangan bagi yang nomornya disebut, ya." Mendengar suara Bu Roro, Lila sedikit mengintip ulang nomor yang ia ambil. Semoga saja itu bukan merupakan nomor kesialannya. "Jangan sampai gue sama Ujang pokoknya. Kalo sama Navi, gue bakal terima senang hati," gerutu gadis itu. Bu Roro mulai membacakan nomor. Mulai dari nomor satu, dua, tiga, empat yang merupakan nomor kelompok Ruby dan Diego, lima, dan seterusnya. Sampai ... "Nomor sembilan." Lila mengangkat tangan begitu nomor yang ia dapatkan disebutkan oleh Bu Roro. Hanya saja, keanehan terjadi. Bukan. Bukan cuma dua orang yang mengangkat tangan, tetapi ada tiga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD