31. Navi Dan Jatuh Hati

1081 Words
- "Kamu adalah alasanku untuk tersenyum. Namun aku takut jika nantinya kamu menjadi alasanku menangis." - *** Lila menggerakan kepalanya seraya mengerti. Dia kemudian mendobrak rasa malas di dirinya dan mengerjakan soal. Aneh. Lila merasa aneh karena dia bisa mengerjakan soal itu dengan baik. Dia juga sudah mencocokkan jawaban dengan Navi dan jawabannya benar. Jiwa semangatnya tiba-tiba muncul. Lila bergegas untuk menggarap 9 soal lainnya tanpa rasa malas sedikitpun. Baru ia rasakan saat ini, ternyata matematika itu menyenangkan juga. Ada banyak cara untuk mendapatkan jawabannya, meski akan ada yang paling efektif dan tentu benar. Terkadang ada yang jawaban min dan plus namun keduanya merupakan jawaban yang benar. Lila menyelesaikan semua soal itu begitu cepat karena dia merasa sudah nyaman mengerjakan. Hasil pengerjaannya ja serahkan kepada Navi untuk mengoreksi. Dan, Navi memberitahu jika pekerjaan Lila benar semua. Gadis itu tersenyum. Dia merasa belajar dengan Navi sejak hari-hari lalu sangat membuat progres yang baik. Dari yang biasa nilainya di bawah KKM mejadi tembus di atas KKM. Jadi pada intinya, kunci untuk memperbaiki nilai dan memahami materi pelajaran adalah jangan malas. Setelah semua tugas itu selesai, meja putih itu tiba-tiba diangkat oleh Navi dan dipindahkan ke pinggir. Dia berbaring di atas tikar cokelat itu, kedua tangannya sebagai bantal. "Lihat bintang, Lila. Indah banget!" seru Navi merasa terpukau dengan pemandangan langit yang begitu sempurna. Dalam jarak setengah meter, Lila ikut berbaring. Matanya seketika berbinar mendapati ribuan bintang bercahaya dia atasnya. Dia refleks merekahkan senyumnya begitu cantik, merasa bahagia karena dapat menikmati keindahan yang luar biasa. "Lila cantik banget, apalagi kalo senyum kayak gini." Navi memperhatikan Lila yang masih tersenyum. Entah apa yang ia rasakan, senyuman Lila cantiknya melebihi pemandangan ribuan bintang. "Kalo misalnya Navi jatuh cinta, gimana?" Lila menoleh ke arah Navi. Dia melihat pancaran manik Navi sepintas. Bingung. Lagi-lagi dia bingung dengan semua sikap Navi. Ketika Navi sudah mulai menggunakan nama bukan kata ganti sapaan, itu artinya bukan diri Navi yang sebenarnya. Ya, Lila tidak mudah percaya ketika Navi sudah mulai bersikap lembut. "Moya ikut!!!" Mola membanting bantal di antara Lila dan Navi. Anak itu kemudian berbaring ikut berbaring sebagai penengah. "Wahh bagus banget! Moya udah yama nggak yiat binatang!" Lila tertawa renyah. Dia mencubit hidung Mola karena merasa gemas. "Bintang, Sayang. Bukan binatang." Baru saja ia mengatakan itu, Navi langsung menatap tidak suka ke arahnya. "Eh, kenapa? Maaf gue nyubit adik lo." Navi menekuk mukanya. Bukan. Bukan itu yang ia maksudkan. Argh, apa Lila tidak paham? Sayang? Navi tidak suka mendengar Lila memanggil cowok lain dengan sebutan itu. "Lila, ada yang jemput kamu!" seru Dahlia dari dalam ruangan. Lila menggaruk kepalanya. Menjemput? Apa mamanya? Dia mengemasi buku-buku lalu berjalan menemui orang yang menjemputnya. Tetapi tetap saja diekori oleh Navi dan Mola. "Lila, gue khawatir sama lo. Hp lo mati, Tante Aster nyariin." Magenta. Jadi, yang menjemput Lila adalah dia? Raut wajah khawatir menyelimuti cowok itu membuat Lila merasa bersalah. "Maaf, Ta. Gue bakal ceritain di jalan," jawab Lila begitu lembut. Dia mendekati Dahlia lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Tante, Lila pamit ya, maaf banyak ngerepotin." Setelah mendapat balasan senyuman dari Dahlia, Lila menggandeng tangan Magenta untuk keluar dari rumah Navi. "Ayo, Ta, kita pulang." Baru saja Lila mengambil satu langkah, sweater kebesaran yang ia kenakan serasa ditarik seseorang. "Nav gue pamit pulang. Mola, Kak Lila pamit pulang, ya?" ujar Lila. Rupanya, Navi dan Mola yang menarik itu sembari menggeleng pelan dan memancarkan mata layu seakan tidak rela Lila pergi. Dahlia yang menyaksikan itu terkekeh pelan. Dia merangkul pundak kedua anaknya. "Udah, kasian Lila mau istirahat di rumah," bujuk wanita itu. Navi dan mola sama-sama menunduk lesu. Mereka berdua lalu melepaskan tangan yang menarik sweater Lila tadi, mengikhlaskan Lila untuk pulang. *** Pandangan Lila tidak bisa teralihkan sedikit pun pada gemerlap langit malam yang memikat hati. Titik-titik kecil bercahaya dia angkasa, membuat dia bertekuk lutut. Namun, entah mengaja melihat langit, dia justru teringat akan Navi. Ah, Navi cowok labil. Jika saja dia bisa berkompromi dengan hatinya, Lila pasti akan memilih untuk mencari cowok lain ketimbang mengejar Navi. Benar. Untuk apa mengejar sesuatu yang tak pasti? Tetapi prinsip Lila dan hatinya yang tidak bisa diajak kerja sama itu adalah mending mengejar dan berjuang, meski gagal, itu lebih baik dari pada menyesal karena tak mencoba. Ish, dasar gadis aneh. Dia sesekali memegang pundak Magenta begitu motor vespa cowok itu mengerem mendadak. Haduh, sedang ada apa dengan magenta sampai tak fokus menyetir? Untung saja, sampai detik ini mereka tak terkena musibah. Oh iya, Lila juga sering helm yang ia kenakan terbentur helm Magenta. Jujur saja, gadis itu mengantuk kembali meskipun tadi di rumah Navi sudah tidur. Lila menepuk pundak Magenta. Dia ingin menanyakan sesuatu pada cowok itu. "Mama telepon lo, Ta?" tanya Lila dengan sedikit berteriak karena ia menyadari ini di jalanan. Pasti suara yang nyaringnya akan tetap kalah dengan gema suara kendaraan yang berlalu lalang. "Iya. Dia panik tadi," jawab Magenta singkat. Dia tetap fokus memperhatikan jalanan di depannya. Dia juga sama sekali tidak melirik ke arah Lila di spion motor. Lila mengangguk meski tak dilihat oleh Magenta. Dia sedikit berdehem dan terus memainkan jemarinya. "Maaf, selalu aja ngerepotin lo," ungkap Lila dengan nada melemah. Dia tulus mengatakan itu karena memang selama ini, Lila terus merepotkan Magenta. Lihat saja, Lila yang hilang-hilangan, namun Magenta yang berusaha mencari. Lila yang butuh camilan di rumah, Magenta yang selalu sedia menjadi driver makanan. Bahkan ketika Lila di hukum sekolah, Magenta sengaja membuat kerusuhan agar cowok itu ikut dihukum. Namun mengapa, mengapa Lila tidak bisa mencintai Magenta? Magenta mengulan senyum tipisnya. Matanya memerah karena kelilipan. "Nggak sama sekali, Lila. Ngejagain lo adalah kewajiban di hidup gue. Gue nggak bisa diem untuk semua hal yang menyangkut diri lo. Gue nggak bisa tenang kalo lo ilang-ilangan kayak tadi." Magenta mengucek matanya sejenak. Ah debu kurang ajar, bisa membawa malapetaka nanti! "Sorry, gue nggak pamit dulu sama mama. Pake hp mati segala, terus gue juga numpang tidur di ru--" "Numpang tidur? Kenapa?" tanya Magenta memotong ucapan Lila. Lila menggerutuki dirinya sendiri. Oh tidak, dia sudah keceplosan. Rasanya, dia ingin menjahit mulutnya sendiri. "Ketiduran. Eh ternyata gue demam. Navi kalo nggak Tante Dahlia tadi ngompresin gue." Syukurlah, jalanan berkurang sedikit kebisingannya sehingga Lila bisa berucap dengan nada biasa. "Eh-eh, kok belok?" Lila terkejut ketika Magenta membelokan motonya ke arah kiri, padahal rumah Lila itu seharusnya tetap masih lurus. "Ke rumah sakit. Katanya lo demam." Mata Lila membulat, dia tak mengerti lagi dengan pemikiran Magenta. Alhasil, gadis itu mencubit kuat punggung Magenta sampai Magenta merintih kesakitan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD