30. Sweater Navi

1045 Words
- "Kamu seperti memberi lampu hijau kepadaku. Namun, mengapa aku terus melihat itu sebagai lampu kuning?" - *** Lila mengambil handuk kecil yang ada di dahinya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk meski tenaga dia memang belum sepenuhnya kembali. "Gue ada di mana? Apa gue diculik seseorang? Apa gue ada di surga?" tanya Lila kebingungan. Sebentar. Lila teringat akan sesuatu hal. Dia seketika menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang ia alami. "Gue tadi belajar di rumah Navi, ketiduran di balkon, terus ini? Di kamar Navi?!" tanyanya terkejut seorang diri. Gadis itu menoleh ke samping kirinya. Tepatnya di atas nakas putih persis bersebelahan dengan ranjang. "Kompresan? Ah, pantes tadi gue ngerasa nggak enak badan. Jadi gue deman?" Lila baru menyadari kondisi tubuhnya. Ia sendiri bahkan tidak tahu kalau dia demam. Perutnya merasa lapar. Dia melihat segelas s**u putih dan juga roti di atas nakas itu. Tanpa ragu, Lila langsung meneguk s**u yang telah dingin dan mulai memakan roti. "Lila, sudah bangun?" Lila mendadak tersedak ketika mendengar pertanyaan dari seorang wanita yang tidak lain adalah mamanya Navi. Masa bodoh dengan kelakuan Lila yang seenaknya menyantap roti dan s**u. Masa bodoh dengan tanggapan calon mertua yang mungkin menganggapnya tidak sopan. Uang jelas, Lila hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Dahlia mendekati Lila. Dia mengecek suhu tubuh Lila secara manual. "Udah nggak panas. Yuk kita turun, Tante sama Navi baru selesai masak." Dahlia menuntuk Lila turun dari ranjang seperti menuntun anaknya sendiri. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Lila. Dia saja sampai tidak bisa berkata-kata dalam hatinya. "Maaf Tante Dahlia, Lila jadi ngerepotin," ujar Lila pelan. "Enggak sama sekali. Navi panik banget tadi. Tante aja baru pernah liat Navi kayak gitu." Dahlia mengembangkan senyumnya. Dia merasa nyaman mengobrol dengan Lila. Lila menekuk mukanya masam. Dia terus berjalan mengikuti Dahlia. "Ah, Tante Dahlia pasti bercanda. Navi mana mungkin panik karena Lila. Dia kan benci banget sama Lila." Gadis itu menunduk lesu. Ya, dia sudah menerima kenyataan bahwa Navi membencinya. "Kak Yiya!!" Lila mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Mola di meja makan. Anak kecil itu memberi kode kepada Lila untuk duduk di sebelahnya. Namun ketika Lila hendak menghampiri Mola, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Navi menuju kursi di samping cowok itu. "Mola udah bangun?" tanya Dahlia duduk di sebelah Mola. Mola mangangguk kecil. Dia mengerucutkan bibirnya merasa kesal dengan kakaknya karena sudah menarik Lila. Astaga, ada apa, sih, kedua kakak beradik ini? "Moya tadi kebangun kayna nyium makasan Mama," jawabnya dengan nyaring. Lila masih tidak berkutik meski keluarga Navi itu sudah mulai makan. Dia kehabisan kata-kata saat ini. Dia tidak ingin berharap lebih. Tapi duduk di samping Navi, berada di rumah cowok itu, dan makan malam bersama keluarganya, membuat Lila speachless. "Makan." Navi mengambilkan sayur ke piring Lila. Dia sedari tadi memperhatikan gadis itu yang terus melamun. Lila menoleh ke sebelah kanannya. Navi tetap saja memasang muka datar. Gadis itu mengangguk lalu mulai makan sedikit deni sedikit karena malas mengunyah. Tak ada obrolan ketika mereka makan. Hanya Mola yang berceloteh riang dan hanya Dahlia yang menanggapi. "Pulang?" tanya Navi ketika sudah selesai menghabiskan makanannya. Lila mengangguk. Dia membantu Dahlia mengumpulkan piring kotor. "Eh, tugas Pak Sanip yang buat besok belum selese." "Ntar gue bantu, lo nyusul aja di taman," ujar Navi lalu cowok itu beranjak pergi. Lila memfokuskan diri untuk membantu Dahlia memberekan semua yang ada di meja makan. Dia juga lalu membantu wanita itu untuk mencuci piring. Padahal, Dahlia menolak untuk dibantu. Namun Lila sangat keras kepala. Setelah semua beres, Lila pamit kepada Dahlia untuk menyusul Navi di taman. Gadis itu berjalan dengan tenang, menuju taman rumah Navi. Tetapi, dia di buat tercengang dengan Navi yang sedang sibuk melakukan sesuatu dia atas rerumputan. "Kita mau piknik?" tanya Lila. Navi mendongak saat menata tikar di atas rumput. Dia tersenyum lalu menggedek pelan."Enggak, kita belajar." Dia mendekati Lila sembari membawa sweater cokelat miliknya. "Angkat tangan lo," sambungnya. Lila mengangkat tangannya ke atas dengan pelan. Dia terkejut ketika Navi memakaikan sweater cokelat itu kepada Lila. Ada apa lagi sih, dengan Navi? "Pake." Navi menarik tangan Lila untuk duduk di atas tikar dan terdapat meja kecil di atasnya. "Kita belajar di sini. Udaranya lumayan hangat." Lila mengangkat bahunya, masa bodoh dengan apa yang dikatakan Navi. Yang penting ia mengerjakan tugas dari Pak Sanip. Lila mulai mengeluarkan bukunya dan diletakan di atas meja kecil itu. Namun sebelum membuka buku, dia menyeruput s**u jahe hangat yang tergeletak di depannya tadi. Lila mendongak begitu dia merasakan tangan Navi di keningnya. Sweater yang Navi kasih begitu besar di badannya, bahkan bagian lengannya itu panjang dan Lila dapat menyembunyikan lengan juga jemarinya di dalam sweater itu. "Ini sweater-nya kegedean, ish!" keluh Lila. "Sengaja, biar lo nggak kedinginan." Navi masih memasang muka datar tak berekspresi senyum atau yang lain. Dia mengatakan kalimat-kalimatnya saja tak ada nada yang bervariasi seperti meninggi atau melemah. Semuanya datar. "Udah sembuh. Aman," imbuh Navi setelah mencoba mengecek suhu tubuh Lila. Lila membenarkan rambutnya yang sejak ia bangun porak-poranda namun belum dirapikan dari tadi. Dia tidak merasakan sedang di luar ruangan karena sweater itu. Juga memang, kondisi tubuhnya sudah membaik setelah dikompres dan minum paracetamol dari Dahlia. Navi menunduk. Dia memfokuskan diri untuk berkutik dengan soal-soal matematika dari Pak Sanip. "Kalo sakit ngomong." Dia melirik sekilas ke arah Lila. "Ya kalo gue inget," tukas Lila juga mulai membaca soal. Namun baru soal pertama saja membuat dia pusing tujuh keliling. Navi mendengus tanda tidak suka. Namun dia masih berkutik pada soal-soal itu. "Harus ngomong," tegasnya. Dia melihat ke arah tempat pensil Lila yang berwarna hitam bergambar kucing namun mata kucing itu berwarna biru. Ternyata Lila tidak lupa akan peraturan Navila yang telah berubah. Navi menatap warna biru itu sampai 5 detik. Tidak peduli dengan efeknya yang akan berkepanjangan. Satu. Dua. Tiga. Waktu untuk loading itu sudah terlewat. Kini Navi sudah berada di fase blue miliknya. "Lila, bingung?" "Iya, nomor 1 aja bikin gue bingung." Bukanya berusaha mengerjakan soal, Lila justru memainkan pulpennya dia diapit oleh hidung dan bibir. "Sini Navi bantu, kayak gini nih, jadi nyari persamaan dulu terus ntar dimasukin ke rumus," jelas Navi dengan halus. Lila menggerakan kepalanya seraya mengerti. Dia kemudian mendobrak rasa malas di dirinya dan mengerjakan soal. Aneh. Lila merasa aneh karena dia bisa mengerjakan soal itu dengan baik. Dia juga sudah mencocokkan jawaban dengan Navi dan jawabannya benar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD