Fatamorgana

1028 Words
- "Mawar yang tak dapat aku genggam, tapi mengapa ada orang lain yang dapat menggenggamnya dengan erat?" - *** Navi merebut paksa bolpoin Lila. Dia rasa, dugaannya kali ini benar. Ditatap warna biru itu dengan seksama. "Astaghfirullah, ini duitnya banyak banget. Saya harus laporin ini, tapi bagaimana sama pos satpamnya? Nanti kosong nggak ada yang jaga, atuh." Akhirnya, Navi mendengar suara hati itu lagi. Suara hati yang berjarak lebih dari 50 meter. Rupanya, dompet berisi iuran kelas ada di Mang Kirno selaku satpam sekolah. Navi benar. Alasan pendengaran suara hati dapat menjadi lebih jauh, melebihi lima puluh meter adalah ketika dia sedang di fase biru dan juga sedang melihat warna itu. Navi paham sekarang. Teori warna s****n itu mulai terkuak olehnya. "Navi tau! Dompet iuran kelas itu sekarang ada di pos satpam. Lagi dipegang sama Mang Kirno. Mang Kirno yang nemuin!" seru Navi membuat teman kelasnya bertanya-tanya dalam benak masing-masing. "Ini Navi kenapa jadi peduli? Padahal biasanya acuh," suara hati Aulia. "Gue benci sama lo, Nav. Gue nggak suka liat lo sama Lila," ujar Magenta dalam batinnya. "Navi kok bisa jadi gemoy gitu? Biasanya kan kek tembok." "Gue nggak mau tau, gue harus bisa deketin Navi," batin Jingga. Hampir semua teman kelas Navi, bersuara menyerukan nama cowok itu. Kecuali Lila. Navi sama sekali tidak bisa mendengar sanubari Lila. Entah apa yang Navi harapkan, tapi dia juga ingin mendengar Lila berkomentar tentang dirinya. "Lila, ayo ikut Navi!" Tanpa adanya persetujuan dari Lila, Navi menggenggam kencang jemari mungil Lila lalu dia membawa gadis itu meninggalkan kelas mereka. Lila sedang tidak ingin berbicara. Rasanya, sekujur tubuhnya sangat lemas dan tenaga dia sudah habis. Tapi Lila masih berusaha kuat untuk mengikuti Navi yang menariknya. Sepanjang koridor kelas sebelas mereka lalui, menuruni tangga, dan melewati lapangan basket. Rupanya, Navi membawa dia ke pos satpam. "Mang Kirno, liat dompet yang ada tulisan kelas XI MIPA 2 nggak, Mang?" tanya Navi sopan kepada Mang Kirno yang tengah duduk hendak menyantap nasi uduk. Mang Kirno menganggu semangat. "Iya, ini saya teh nemuin di depan gerbang tadi. Punya kelas kalian? Isinya apa coba?" "Uang 10 juta, Mang. Kelas Navi kehilangan uang itu," jawab Navi menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Lila hanya memperhatikan Navi. Dia sebal, Navi mulai berubah sikap. Dia sudah muak rasanya. Gadis itu memainkan kuciran rambutnya sendiri yang tadi baru dia ikat. Dia sangat suka dikucir, karena menurutnya lebih simpel dan rapi. Daripada nanti jika rambutnya digerai tapi justru tampak seperti singa? Ah, tidak lucu, bukan? Mang Kirno mengambil dompet yang ia temukan di laci meja kerjanya. "Ini, Mang Kirno kembalikan. Lain kali, kalo punya sesuatu dijaga dengan baik, ya," ujar Mang Kirno menyerahkan dompet berwarna cokelat kepada Navi. Navi tersenyum, dia menerima dompet itu dengan senang hati. "Terima kasih banyak, Mang. Kita pamit ke kelas dulu." Navi menunduk sopan, dia kembali mencekal Lila, membawa gadis itu pergi. Sinar mentari menjelang siang memang sangat terik akhir-akhir ini. Terlihat jelas tetesan keringat Navi mengalir di pelipis cowok itu. Dia masih mengenakan seragam dengan rapi. Dasi, sabuk, dia kenakan. Bajunya juga terlihat licin dan dimasukan dengan benar. Berbeda dengan Lila yang terlihat berantakan. Baju seragamnya dikeluarkan, dasi tidak dipakai, dan sebagian rambut dari kucirannya sudah keluar awut-awutan. Navi menghentikan langkahnya di tepi lapangan, di bawah pohon randu yang meneduhkan. Membuat Lila juga terhenti. Oh, gadis itu sedari tadi diam saja. Tumben sekali hati dan pikirannya tidak membuat dia mengeluarkan suaranya. "Lila jangan bergerak dulu," pinta Navi. Dia kemudian mengubah posisi. Navi yang tadi di samping Lila, sekarang dia sudah berada di belakang Lila persis. Tangan kekar Navi melepas ikatan rambut Lila perlahan. "Navi bantu rapiin, ini lagi panas banget, Lila. Lila keliatan lagi lemes," ujar Navi menyisiri rambut Lila dengan jemari dia. Lila terpaku. Sunyi tak bersua. Apa dia sedang sakit? Navi mengikat mengucir kembali surai Lila setelah dia merapikannya menggunakan ikat rambut Lila yang berwarna biru. "Navi, lo mau gue jujur? Gue lebih suka lo yang galak dari pada yang kayak gini," ungkap Lila. Navi mengerutkan dahinya sendiri. Dia tidak tahu mengapa Lila tiba-tiba emosi. "Lila jangan marah-marah, Navi nggak ngerti apa yang Lila omongin. Navi cuma pengin bersikap baik, nggak ada maksud apapun. Tapi kenapa Lila suka Navi yang galak? Bukannya Navi sering nyakitin hati Lila?" celoteh Navi tanpa jeda. "Karena gue tahu. Semakin lo bersikap baik ke gue, gue bakal semakin jatuh cinta. Gue takut, gue bakal terobsesi sama lo yang hanya fatamorgana bagi gue." Lila menghela napasnya gusar, kepalanya ditundukkan. Gadis cantik itu membalikan badannya sehingga dia berhadapan langsung dengan Navi. "Gue suka sama lo tanpa alasan. Tanpa menutupi apa yang hati gue rasakan dan katakan. Yang gue butuh hanya diri lo yang sebenarnya, Nav. Setiap kali lo lembut sama gue nanti juga ujungnya lo bakal dingin sama lagi." Tatapan Navi menjadi layu, dia memengang kedua pundak Lila. Dia hanya ingin meyakinkan gadis itu. "Lila jangan kayak gitu. Navi punya banyak rahasia yang Lila belum tau. Navi juga capek, Navi nggak mau jadi diri Navi yang ini," urai Navi menatap Lila. Cowok itu menarik Lila dalam pelukannya. Entahlah, jika dia berada dalam fese blue, Navi seperti sangat membutuhkan Lila. Meski Lila berusaha lepas dari pelukan itu, Navi tetap tidak mau mengalah. Dia tidak ingin melepaskan Lila. "Lepasin gue, Nav! Gue nggak butuh pelukan lo yang lagi sok baik sekarang ini. Yang gue mau itu diri lo yang sebenearnya, Nav. Tolong lepasin gue," pinta Lila memukul d**a bidang Navi. "Nggak mau. Biarin sebentar, Lila. Navi mohon. Navi nggak mau liat Lila yang marah-marah kayak tadi," pintanya yang justru semakin mempererat pelukannya. Lila melemah. Dia tidak bersi keras untuk lepas lagi. Dadanya terasa begitu sesak. Mengapa dia mendapatkan perlakuan manis ini ketika Navi sedang tidak menjadi dirinya sendiri? Gadis itu hampir menangis, hatinya sudah remuk. "Nggak usah lo bersikap kayak malaikat di depan gue. Karena sikap lo itu bikin hati gue gundah terhadap kenyataan yang nggak bisa gue dapatkan!" bentak Lila menepis tangan Navi yang ada di pundaknya. Dia lantas angkat kaki, meninggalkan Navi tanpa pamit. Lila jelas kesal, itu pasti. Hatinya selalu ditarik ulur dengan orang yang ia sukai. Apa salah dia? Apa yang membuatnya disakiti? Padahal menurutnya sendiri, dia mencintai Navi begitu tulus dan segenap hatinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD