Teori Warna Biru

1044 Words
- "Aku melihatmu 1 detik. Memerlukan 10 detik untuk tubuhku bereaksi. Dan memerlukan 15 menit agar semua kembali normal. Itu berlaku kelipatan." - *** Lorong kelas XI SMA Sky Blue menjadi tempat siswi-siswi berkumpul. Dikarenakan the most wanted sekolah telah kembali masuk setelah mengikuti kompetisi bergengsi di Italia. Navino Reagen. Cowok seperti magnet para siswi dengan pahatan wajahnya bak dewa. Otaknya juga tidak tanggung-tanggung, dia adalah siswa paling pintar di sekolah ini. Auranya begitu menakjubkan. Dia baru menjejakkan kaki saja sudah membuat gadis-gadis mengikutinya. Seperti saat ini, Navi sedang berjalan dengan mengenakan kacamata hitamnya menuju loker miliknya. Hanya saja jika ada sebuah keajaiban bisa menjadi kasat mata, Navi ingin seperti itu. Dia merasa sangat terganggu dan tidak suka dikelilingi orang banyak. "Apa sih kalian! Sana pergi jauh-jauh!" usir Navi dengan lantangnya. "Yah, masa gitu si, Navi? Kami kan kangen sama kamu," ujar seorang siswi yang memegang kipas. "Pergi sekarang! Kalo kalian nggak pergi, gue bakal bunuh diri!" ancamnya. Dia yakin para fansnya itu tidak ingin kehilangan sosok tampan seperti dirinya. "Iya, Navi, kita bakal pergi kok," tukas gadis berkacamata. "Cakep-cakep galak bener! Mana jutek lagi!" Navi melirik sebal setelah membaca itu dari pancaran mata gadis berkacamata. Gerombolan para siswi sudah bubar. Syukurlah, Navi bisa merasakan ketenangan juga akhirnya. Dibuka loker Navi yang berada di depan kelasnya. Namun, cowok itu diterkejutkan dengan puluhan amplop surat di dalamnya. Sampai ketika Navi membuka loker, surat itu berjatuhan ke lantai. "Navi!! Aaa akhirnya kamu balik juga, gimana di negara orang? Enak? Kok lo makin cakep si, gue kangen banget sama lo!" cerocos seorang gadis yang langsung hendak memeluk Navi. Tetapi dengan hanya satu tangan, cowok itu langsung memegang ujung kepala Lila untuk menahan Lila agar tidak mendekat. "Wah apaan, tuh? Surat? Gilaa, lo dapet surat cinta sebanyak ini?!" tanya Lila histeris. "Pergi sana ke kelas lo! Nggak usah ikut campur!" "Lo gimana sih?! Kan kita sekelas, masa lo lupa?" "Iya," jawab Navi dingin. "Nama gue nggak lupa, kan? Orang yang paling sayang sama lo," goda gadis itu. "Gue nggak kenal!" "Kenapa si lo jutek amat! Jangan jutek-jutek napa, gantengnya ilang mampus lo! Otaknya ilang mampus lo! Sok jual mahal bener jadi cowok! Gue tuh capek ngejar lo terus dan selalu diginiin sama lo! Tapi gue udah terlanjur sayang, gue nggak bakal bisa berhenti deketin lo, Navi!" ungkap Lila secara cepat. "Ini lagi mulut nggak bisa direm! Orang lagi ngomong sama doi juga!" imbuhnya dengan menabok mulutnya sendiri. "Gue benci sama lo!" tegas Navi. "Udah berapa tahun coba gue ngejar lo tapi nggak dapet-dapet? Masa lo nggak ada rasa sedikit pun?" "Siapa yang nyuruh lo deket-deket gue?" "Navi, ayolah kasih gue kesempatan, kenapa lo susah banget buka hati, hem?" tanya Lila dengan melepas paksa kacamata hitam Navi. Sialnya, Navi sekarang dapat melihat cardigan biru yang dikenakan Lila. Dia mendengus kesal lalu segera mungkin berlari menjauh dari gadis itu dan merebut kembali kacamata hitamnya. "Hahaha Navi gemoi uwu uwu mau liwat, lalalala jangan kalian halangin jalan Navi atau akan Navi hukum dengan sejuta kerinduan," kata Navi yang terus berlari menuju rooftop. "Ketampananku sangat melegenda di jagat raya inii, hahahaa uncu unch." Sepanjang jalan dia melambaikan tangannya dan sesekali memberikan finger heart, bahkan sampai melakukan kiss bye ke sembarang arah. Untungnya, Navi memilih jalan yang benar yang jarang dilewati oleh para siswa. Sehingga tidak ada yang melihat sikapnya berubah seperti ini. Di rooftop itu, dia memaki dirinya sendiri. Mengapa harus dia? Mengapa dia harus memiliki hal aneh pada dirinya? "Ya ampun, Navi nggak suka! Navi benci sama diri Navi yang ini! Ini semua gara-gara warna biru! Ya Tuhan, Navi sangat membenci warna terkutuk itu!" ungkapnya seorang diri. Dalam fase setelah melihat warna biru, kepribadiannya telah berubah drastis. Dia yang biasanya angkuh, kini menjadi seorang cowok yang sangat menggemaskan. Ya, Navi memiliki dua kepribadian. Dan dia sangat membenci pada fase kepribadian yang setelah melihat warna biru. Maka dari itu, dia sebisa mungkin menjauhi seseorang yang sering memakai warna terkutuk itu. Termasuknya yaitu Lila. Setelah lima belas menit berada di sana, Navi akhirnya dapat bernapas lega. Dia telah kembali kepada dirinya yang asli. Cowok itu lantas mengambil langkah untuk undur diri dari rooftop. *** Lila Rosetta memasuki kelasnya dengan mendengkus sebal. Lagi-lagi, Navi mengacuhkan dan meninggalkan dia begitu saja. Dia ingin menyerah rasanya. Namun, melihat Navi saja membuat dia mabuk kepayang. Dia sudah mengejar Navi sejak dia duduk di bangku SMP. Setiap naik kelas mereka selalu saja disatukan. Anehnya, Navi tidak begitu mengenal Lila. Dia menganggap Lila adalah butiran debu yang tak kasat mata. Padahal, Lila selalu saja mendekati Navi dan memberinya perhatian. Kelas XI MIPA 2, itu kelas mereka sekarang. Dengan tatanan tempat duduk Navi yang berada di paling depan, Sedangan Lila di belakang sendiri bersama ketiga sahabatnya. "Pagi Lila sayang, cantik banget kamu pagi ini," sapa Magenta menampilkan senyum selebar mungkin. Lila berdecak. Dia duduk di kursinya. Dia malas untuk berhadapan dengan cowok yang satu ini. "Aduh, Genta, mending lo kerjain tuh tugas lo bentar lagi masuk!" "Kenapa sih Lila, pagi-pagi juga udah emosian?" tanya Diego. Dia menaikkan alisnya merasa penasaran terhadap apa yang terjadi pada Lila. Teman sebangku Lila melirik ke arah gadis itu. Dia paham betul dengan ekspresi kecut milik Lila. "Halah paling tuh gegara si judes itu, kan? Navi?" Lila meletakkan tasnya di atas meja. Bibirnya ia dimanyunkan tanda sedang kesal. "Iya lah Ruby, karena siapa lagi coba?" tutur Lila dengan sendu. "Lo sih, tinggal jadian aja sama gue napa? Malah ngejar si energen!" Magenta menyentil dahi Lila secara usil. "Reagen dodol, mana ada energen! Sembarangan aja nama cakep-cakep lo ubah! Gue tuh nggak mau sama lo karena lo sahabat gue, Genta. Lo juga nggak serius tuh nembak gue!" Lila meninggikan suaranya tak peduli dengan teman kelasnya yang seketika menoleh ke arah Lila. "Oh, lo mau gue seriusin, nih?" goda Genta terkekeh kecil. Lila membekap mulutnya sendiri. Oh tidak, dia tidak bisa menyaring terlebih dahulu omongannya. "Mampus gue, mulut gue emang nggak bisa direm. Ya ampun, kapan sih, gue bisa kek manusia normal. Capek tau nyerocos mulu!" "Tuh, harusnya lo bangga temenan sama kita karena nggak masalah kalo lo berisik!" ujar Ruby menepuk pundak Lila. Lila menghela napasnya begitu pasrah. Bukan. Dia bukan sedang memikirkan perkataan sahabat-sahabatnya, melaikan dia sedang memikirkan Navi yang entah kapan akan membuka hati untuknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD