Unstoppable Mouth

1173 Words
- "Aku akan terus mendesak dan berusaha keras agar pintu hatimu terbuka." - *** Navi mulai memasuki kelasnya dengan keringat bercucuran. Dan sudah kembali memakai kacamata hitamnya. Setelah selesai dengan masalah karena warna biru, dia berlari dari rooftop tadi. Lila menatap Navi iba, dia melihat cowok itu yang kelelahan. Ditandai dengan napas Navi yang terdengar ngos-ngosan. Lantas, Lila beranjak melangkah, dia hendak memberikan Navi minuman. "Buat lo, Nav. Kenapa lo bisa kayak gini?" Mata Lila membelaka. Sayang sekali dia kurang cepat dengan Jingga yang sudah berada di hadapan cowok yang ia suka. Dan suara tadi, bukan suara nyaring Lila, melainkan suara Jingga yang dibuat-buat imut. Ah, Jingga memang dekat dengan Navi, makanya Lila sangat membenci dia. Padahal dari segi penampilan, jelas Lila nomor satu. Tapi memang dari segi otak, Lila sudah kalah telak dengan Jingga. "Ngapain si tuh cewek ganggu terus?! Kenapa coba Navi mau dideketin sama dia? Nah sedangkan gue, baru gue deketin juga udah langsung kabur!" Lila tak hentinya memaki Jingga yang sudah paten menjadi saingannya untuk mendapatkan hati Navi. Diego bersedekap tangan. Dia tidak paham lagi dengan sahabatnya yang satu ini. "Ya elah, lo si kayak bebek nggak dikasih makan, berisik!" "Nah gue si setuju ama lo, Di! Mana ada yang mau sama Lila, orang dia ngomong terus seoanjang waktu. Bisa-bisa kuping semua orang bakal rusah tuh gara-gara Lila," timpal Ruby sengaja menggoda Lila. Lila mendengus sebal. Sahabat-sahabatnya memang sangat laknat! "Genta, lo bisa tolongin gue? Beliin tisu, gue pengin nangis sekarang," pinta Lila. Raut wajahnya ia buat sedramatis mungkin. Lila Rosetta memang gadis lebay. Magenta bangkit dan berdiri di depan Lila, gadis yang dia sukai dalam jangka waktu lama namun hanya dianggap hanya sebatas sahabat oleh Lila. "Ututu ... nih peluk gue aja, ya? Nggak papa kok baju gue basah karena air mata lo," tawar Magenta dengan merentangkan kedua tangannya. "Ogah! Gue penginnya Navi!" tolak Lila dengan tegas. " Navi! Jangan deket-deket sama Jingga, kalo lo nggak mau gue gigit!" imbuh Lila menghampiri Navi dan Jingga, dia sudah kesal melihat mereka berduaan. "Lo juga Jingga, ngapain si deket sama My Lovely Navi? Pergi sana lo, Jing!" usir Lila. Jingga bersedekap tangan. Dia menaikkan dagunya. Gadis itu memang memiliki postur yang cukup tinggi sehingga bisa terlihat sekarang jika dia sedang merendahkan Lila. "Apaan si lo? Suka-suka gue lah mau ngapain nggak usah sok jadi pemiliknya Navi. Dia aja nggak nganggep lo, kan?" "Sana lo minggir! Cewek centil, genit, nggak punya otak, kaos kakinya bolong lagi!" Lila mendorong tubuh Jingga dengan kuat. Masa bodoh dengan tingkahnya yang kekanak-kanakan saat ini. Gerakan mendorongnya terhenti. Dia baru menyadari apa yang telah ia ucapkan tadi. "Kenapa kaos kaki ikut gue omongin si, astaga?!" gumam Lila. "Heh, lo! Lo yang minggir, cewek pendek! Gue tuh lagi sama Jingga dan gue nggak kenal sama lo!" Bukan. Bukan Jingga yang membalas untuk mendorong tubuh Lila. Tapi justru Navi yang menyingkirkan Lila dari hadapannya. "Navi, kok gitu si ... aku kan cuma--" "Pergi!" bentak Navi dengan suara lantang. Lila kembali ke tempat duduknya dengan hati yang rapuh. Sudah sering tersakiti, tapi belum bisa terbiasa dengan rasa sakit karena Navi. Cowok itu memang menyebalkan untuk semua orang. Tapi tetap saja semua tergila-gila dengan Navi. Padahal, Navi hanya berinteraksi dengan satu cewek. Cewek itu adalah Jingga. Dia Teman Navi dari kecil, TK, SD, SMP, dan sekarang satu SMA, di SMA Sky Blue. Pasalnya, rumah mereka bertetangga. Lila membelalak ketika seorang guru telah memasuki ruang kelasnya. "Ya elah, pak Sanip udah masuk aja, gue belum prepare padahal!" keluhnya. Gadis itu mengambil lakban hitam dan gunting dari dalam tas. Kemudian dia gunting lakban itu dan ditempelkan di mulutnya. Itu adalah satu-satunya cara agar dia tidak mengganggu teman sekelasnya dalam pembelajaran. Dia juga sudah meminta ijin kepada setiap guru yang mengajar kelasnya dan terbuka atas kelemahan dia tidak bisa berbicara didalam hati. "Sampai kapan lo bakal kayak gitu?" tanya Ruby yang tidak tega melihat teman duduknya menyiksa dirinya sendiri. Magenta yang ada didepannya pun menoleh kebelakang untuk melihat Lila. "Semangat Lila sayang," ucapnya. Lila tidak menggubris semua perkataan sahabatnya, mulut dia sudah terkunci rapat. Disenderkan kepalanya di tembok kelas. Dia memandang Navi dari jauh. Memang, Lila dan Ruby tidak salah pilih tempat duduk. Di belakang sendiri, di pojok, di samping tembok. Sangat strategis untuk anak malas seperti Lila. Dia begitu fokus memantau Navi. Melihat cowok itu begitu serius dalam pelajaran. Dilihat dari belakang saja, Navi begitu sempurna. Duduk dengan tegap, mencatat materi, semua hal di dirinya begitu rapi. Lila menghela napas kasar. Pelajaran matematika sangat membuat dia mengantuk. Dia meletakkan kepalanya di atas meja. Mengistirahatkan sejenak pikirannya. Wajah Lila menghadap ke dinding. Ia mulai menuliskan sesuatu di buku matematikanya. Rasaku melara Batinku nyata terluka Sampai kapan? Sampai kapan aku dianggap tidak ada? Anganku hanya lentera biasa Tak mungkin bisa menjadi yang kau minta Deru pikirku mengejarmu tak akan kuat Tak akan pernah bisa Hanya saja Aku sudah mendambamu lama Hati ini meronta agar dicinta Namun kau terus mengelak Sampai kapan? Sampai kapan pintu hati itu terbuka? Tenang saja Aku akan menggunggunya Mesti dalam jangka lama Dari yang tak kau anggap, Lila Rosetta. Dia membalik lembaran berikutnya. Menurut Lila, tulisan itu sangat membantu untuk mencurahkan semua isi hatinya. Navi, gue sayang sama lo. Gue tau, sepertinya gue nggak punya malu karena terus mengungkapkan perasaan gue ke lo. Tapi Navi, gue mggak peduli tentang itu. Gue cuma ingin terus ndeketin lo dan memperjuangin lo. Sampai lo mau jadi milik gue. "Lila!" "Hem .... " Lila hanya hanya berdehem kecil dengan mulutnya yang terbungkam. "Lepas lakban kamu!" Lila memutar bola matanya jengah. Dia melepas lakban yang mengunci mulutnya karena perintah dari samping yang ia pikir itu adalah suara Ruby. "Apa? Kok suara lo kayak pak Sanip si, By?" tanya Lila yang masih hanyut dalam kegiatannya sendiri. "Ini pelajaran matematika, bukan pelajaran bermimpi! Keluar dari kelas saya sekarang!" usir Pak Sanip dengan penuh penekanan. Lila tersentak. Dia refleks beranjak dari duduknya. "Ruby, lo kenapa si nggak ngomong gue?" protesnya kepada Ruby yang sedang pura-pura menulis. "Mana sempat, keburu telat. Bye bye Lila." Ruby tertawa renyah. Dia sangat bahagia berhasil menjaili Lila. Pikirnya, biarkan saja Lila kali ini dihukum, biar gadis itu jera. Lila mengelus dadanya berupaya untuk sabar. Dia menatap tajam ke arah Ruby. "Punya temen laknat bener!" "Sana cepat Lila, keluar!" usir Pak Sanip sekali lagi. "Iya Pak, bawel amat! Saya nggak budeg! Saya juga males ikut pelajaran Pak Sanip! Karena rambut Pak Sanip botak di tengah, bau keringat, dan-- " Lila langsung membekap mulutnya sendiri. Lagi dan lagi. Mulutnya itu tidak dapat diajak kompromi. Dia paham menghujat guru adalah sesuatu tindakan yang tidak baik, tapi mulutnya memang tidak bisa dikontrol. "Maaf Pak, saya nggak bermaksud gitu hanya saja---" "Keluar!" bentak Pak Sanip. Lila menganggu lesu. "Baik Pak, saya keluar". Lila bersender ditembok depan kelasnya. Lama-lama kakinya merosot dan akhirnya dia terduduk. Kepalanya menunduk menandakan penyesalan. "Kenapa mulut gue nggak ada adabnya sama sekali? Kenapa terus-terusan nyakitin hati orang? Gue pengin rasanya bisa ngomong dalam hati. Jadi gue bisa menghujat tanpa menyatiki hati orang itu," gerutu dia meratapi garis takdirnya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD