Manis Sesaat

1034 Words
- "Ibarat menunggu warna ungu di langit biru pada siang hari, seperti itu aku menunggumu. Sia-sia dan berujung semu." - *** Lila melihat sepasang sepatu hitam berleres putih di hadapannya. Pandangannya lalu dinaikan ke atas. "Navi? Lo mau nemenin gue?" tanya Lila berharap. "Nggak." "Terus, ngapain lo keluar?" "Mo buang sampah, minggir lo!" Lila bergeser, dia juga baru menyadari bahwa tadi dia di dekat tempat sampah. "Sante dong, nyebelin amat! Untung sayang." "Lila, gue bakal temenin lo, kok," ujar Genta yang tiba-tiba muncul sembari melirik tajam ke arah Navi. "Nggak usah, Genta, gue sendirian aja." "Gue udah diusir sama pak Sanip. Tega lo sama gue? Yuk kantin aja!" Magenta menarik paksa Lila agar pergi menuju kantin. Cowok itu tidak tega melihat Lila sendirian, melihat Lila selalu disakiti oleh kata-kata Navi. Meski pernah ditolak oleh Lila, tetap saja rasa cinta di hati Magenta itu masih ada. Dan dia akan terus menjaga gadis itu sebagai malaikat dihatinya. *** Lila mendengus sebal karena ajakan sahabatnya yang sangat palsu. Padahal Genta tadi mengajaknya ke kantin, tapi dia justru membawa Lila ke gedung olah raga yang memang sedang tidak digunakan. "Ngapain si lo bawa gue kesini? Tau gitu gue ke perpus aja ngadem terus tidur!" keluh Lila menghentakkan kakinya. "Liatin gue main basket napa, siapa tau bikin lo jatuh cinta sama gue," ujar Genta tidak berbohong. Dia sibuk berkutik dengan bola basket. Memantul-mantulkannya ke ubin lapangan. Lila mengambil napas pelan. Dia memejamkan matanya sekejap. "Genta, lo sahabat gue. Dan akan seperti itu selamanya. Gue sayang sama lo ya sebatas sahabat gitu doang." "Gue paham, Lila. Tapi gue tetep suka sama lo meski lo nolak gue 100 kali pun," ujar Magenta secara tegas. Lila bersedekap tangan. Dia sebetulnya malas untuk menonton Magenta bermain basket. Sangat membosankan. "Ya udah gih, cepet main coba! Kayak lo jago aja! Jadi kapten basket, paling lo nyogok kan?" "Ya nggak nyogok juga, dodol. Gue lempar bola ini ke mulut lo baru tau rasa!" "Jangan dong, ntar muka gue auto rusak lagi. Kalo hidung gue patah, emang lo mau tanggung jawab?" "Gue mau, mau nikah sama lo," goda Genta terkekeh kecil. "Aduh gue secantik apa si emang, bikin lo tergila-gila? Tapi kenapa Navi nggak bisa nganggep gue ada ya kalo gue cantik?" "Lila, bagi gue lo adalah yang paling cantik di antara yang cantik. Gue udah jatuh hati sama lo sejak pertama kali kita ketemu. Gue nggak peduli lo nganggep gue apa, gue nggak peduli hati lo ngejar siapa, tapi gue bakal selalu ada buat lo, Lila," ungkap Genta. "Gue nggak tau sama diri gue sendiri, Ta. Ucapan lo itu tulus dan bikin baper setiap yang mendengarnya. Tapi kenapa hati gue nggak bisa ngerasain itu. Gue juga pengin terbebas dari rasa suka ke Navi. Kalo gue bisa, mungkin gue bakal milih lo, Genta." "Nggak papa, menunggu udah jadi hobi gue saat ini. Dan gue bakal nunggu lo terus." "Yaudah gih, sana main!" "Iya bawel! Lo bakal liat kemampuan babang kapten nih!" Lila hanya mengangkat bahunya tanda tidak peduli. Ada dan tidaknya Genta, sama saja rasanya membosankan. Gadis itu hanya duduk di samping garis lapangan basket. Dia sama sekali tidak tertarik melihat Genta yang bermain basket dengan lihainya. Seberapa pun Genta jago bermain basket, itu tidak akan membuat sosok Lila Rosetta terpukau. Pandangan Lila berbinar melihat sesuatu yang dia harapkan sedang berjalan melewati pintu gedung yang terbuka itu. Dia segera bangkit dan menemui mangsanya. "Navi," sapa Lila. "Hai Lila, apa kabar lo? Hehehe uwuuu. Kok Lila cantik banget, sih? Navi lagi takut, ih, Navi butuh pertolongan Lila," ujar Navi ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Lila. "Akhirnya lo nyadar juga gue cantik. Apa? Mau minta tolong apa, My Lovely Navi?" "Temenin Navi jalan m, ya? ke taman belakang. Navi pengin ke sana, tapi sendirian, takut ... " ungkap Navi lirih. "Kok lo gemesin banget astaga. Navi, jangan bikin gue makin sayang sama lo." "Uu jadi malu. Yuk kita jalan!" Mata Lila membelalak. Dia tidak percaya karena tangan dingin Navi sudah menggenggam erat tangannya. Hawa kebahagiaan menjalar di sekujur tubuh Lila. Gadis itu tak henti-hentinya merekahkan senyuman yang begitu cantik. Dia bersyukur, akhirnya Navi dapat menganggap dirinya ada. "Lila ... " sapa Navi lirih membuat Lila menoleh ke arah cowok itu. Lila mengangkat kedua alisnya. "Iya Navi, kenapa?" Gadis itu terlampau bahagia karena Navi mau berbicara dengannya sampai dia tidak menyadari keanehan itu. Keanehan di mana Navi menjadi sosok cowok yang lembut dan menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang galak dan judes seperti biasanya. "Lila percaya nggak kalo Navi paling ganteng di sekolah ini?" Lila tertawa renyah. Hal seperti tadi masih dipertanyakan? Sungguh itu pertanyaan yang basi. Semua penghuni sekolah sudah tahu pasti jika Navi memang the most wanted. " itu mah emang lo yang paling ganteng, Navi." "Lila ... " panggil Navi sekali lagi. "Kenapa lagi, hem?" "Navi boleh minta satu hal?" "Boleh dong, seribu hal juga boleh." "Navi minta .... " Cowok itu menghentikan ucapannya. Dia begitu terkejut dengan Lila yang sudah ada bersamanya. "Pergi lo! Jangan deket-deket gue!" Navi melepas paksa genggaman tangan Lila. "Nav, kok lo--" "Anggep aja, tadi bukan gue! Dan gue tetep benci sama lo!" Ternyata sudah 15 menit kepribadian Navi berubah. Dan sekarang, dia telah kembali menjadi dirinya sendiri. Seperti itulah siklus teori warna biru. Teori awal untuk penjelasan keistimewaan Navi yang lainnya. "Navi tapi kan lo yang minta tolong sama gue? Kenapa tiba-tiba ngusir? Tadi juga lo nyebut nama gue dan bilang gue cantik. Lo bahkan yang gandengan tangan gue! PHP lo!" Navi bersedekap tangan. Dia mengangkat dagunya seperti menantang seseorang. "Lo yang baperan!" Lila jelas dibuat bingung oleh Navi sekarang. Dia bahkan sampai tak bisa mengeluarkan kata-kata baik di hati maupun pikirannya. Gadis itu sungguh bingung. Tadi dia merasa diterbangkan, lalu sekarang dijatuhkan tanpa ampun. "Lila!" sapa seseorang dari belakang Lila, menginterupsi keduanya. "Kenapa lo ngikutin gue? Udah, tinggal main basket aja napa, gue tuh mau bareng sama Navi!" bentak Lila. Magenta memandang Navi begitu sengit. Dia terkadang heran dengan Lila yang jatuh hati pada cowok itu. Padahal, akhlak saja Navi zonk dan suka berkata pedas. "Lila, nggak usah lo ngejar cowok kayak Navi. Dia nggak pantes dapetin lo." "Gue pergi!" Lila dan Genta hanya menatap Navi yang melangkah pergi dengan santainya. Dari belakang saja, Navi terlihat sudah menarik dengan badan tegapnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD