Dasar Pohon Pisang!

1021 Words
- "kamu itu kayak pohon pisang. Punya jantung tapi nggak punya hati!" - *** "Kan, Navi jadi pergi. Lo, sih!" Magenta menepuk pundak Lila, agar gadis itu mau mendengarkannya. "La, dia emang kayak gitu. Udah, jangan ngambek. Kali ini kita beneran ke kantin, yuk! Dah jam istirahat nih," usul Genta. "Lo traktir! Wajib!" Lila mengambil langkah cepat, meninggalkan Magenta yang masih berdiri. Urusan kantin, terlebih mendapat traktiran adalah kunci semangat empat lima milik Lila. "Iya, kayak nggak biasanya." Lila dan Genta langsung menuju ke kantin. Beruntungnya disana sudah ada Ruby dan Indiego yang duduk di salah satu meja kantin. Alhasil, mereka tidak perlu mencari meja yang kosong, karena memang kantin SMA Sky Blue sangat ramai. Mereka berempat mendapati meja yang berada ditengah. Di atasnya sudah terdapat dua jus mangga, jus stroberi, dan es cappucino serta 4 mangkok berisikan baso aci spesial. "Genta, punya lo merah amat kek air neraka. Emang lo kuat makannya?" tanya Lila yang menatap ngeri baso aci milik Genta. "Genta mah udah biasa nelen api neraka, jelas kuat lah dia!" sahut Diego. "Kurang ajar lo! Kan emang gue suka banget yang pedes, kek omongannya Lila," tukas Magenta mencicipi kuah baso aci miliknya. "Mon maap, tapi pedesan omongannya Navi!" ujar Lila menyeruput jus mangga yang terasa begitu manis. Mangga adalah buah favorit gadis itu. Entah yang masih belum terlalu mateng, yang rasanya kecut, apalagi yang manis, semuanya Lila suka. Diego juga seperti itu, dia sangat menyukai mangga. Sementara Magenta Rauland, dia selalu memesan cappucino karena itu memang kesukaannya. Cowok itu sering mengantuk karena begadang main game semalaman, makanya dia membutuhkan sedikit kafein untuk menahan rasa kantuknya. "Ya pedesan omongan lo lah, semuanya dikeluarin! Lo tau nggak tuh, Pak Sanip tadi jadi nggak percaya diri ngajarnya," tutur Ruby setelah mengedit jus stroberi. Lila yang sedag menyeruput kuah baso aci mendadak mendongak. "Seriusan? Nggak papa, syukur deh dia jadi sadar. Palingan besok ngajar kepalanya pake sorban atau mending pake helm aja sekalian!" "Astaghfirullah, Lila. Kena adzab baru tau lo!" Ruby memukul pelan kepala Lila menggunakan gagang sendok yang akan ia pakai. Lila mendengus sebal. Dia melirik tajam ke arah Ruby. "Ruby, gue kan ngomong berdasarkan fakta yang ada apa gue salah?" "b**o, lo! Ya salah, dodol! Lo tuh malah bikin orang lain sakit hati!" ujar Diego. "Dari pada yang suka ngomong di belakang? Mending kayak gue tadi, langsung ngomong ke Pak Sanip." Lila bersedekap tangan. Dia merasa bangga terhadap dirinya sendiri. "Btw, gue tadi liat loh si Jingjing itu ngasih kotak makan siang gitu ke Navi!" Ruby mengatakan itu dengan semangat. Dia menyelipkan anak rambutnya me belakang telinga. "Udah lah, bodoamat. Gue mau makan dulu," jawab Lila. "Jingjing siapa, cuy? Baru tau gue ada yang punya nama gitu. Lo tau, Ta?" tanya Diego menepuk lengan Magenta yang sedang kepedasan. Magenta mengelap keringatnya yang menetes deras karena memakan makanan pedas. Dia mengambil beberapa tegukan es cappucino miliknya. "Mana gue tau, Gukguk!" "Kok Gukguk? Resek lo!" "Iya kan Indieguk, panggil Gukguk aja," balas Magenta dengan enteng. Baso aci setan telah tuntas ia makan. "Gue setuju ama lo, Ta!" sahut Ruby. "Diego, mending lo sama Jingga aja, deh. Kan cocok tuh Jingjing sama Gukguk!" seru Lila mengangkat gelas jus mangganya. Diego menggelengkan kepalanya. Dia berdecak sebal. "Astaghfirullah, temen gue emang pada nggak punya hati, nggak punya pacar pula." Percakapan mereka berempat berakhir tertawa renyah. Mereka memang seperti itu, meski ada yang terlibat friendzone, tetap saja yang namanya sahabat akan tetap seperti itu. Kantin SMA Sky Blue semakin ramai, tapi tidak masalah untuk mereka berempat. Justru mereka sangat menyukai keramaian. *** Navi mulai mengendarai mobil putihnya dari parkiran sekolah. Kacamata hitam sudah terpasang menutupi matanya. Langitnya begitu biru dan itu sangat berbahaya bagi Navi. Dia begitu santai melajukan mobilnya di sepanjang jalan. Tumben saja jalan menuju rumahnya agak sepi sore ini. Ciitt!! Navi menginjak remnya tiba-tiba karena seseorang tib-tiba menghadangnya ditengah jalan. Beruntung, orang itu tidak tertabrak oleh mobil milik Navi. "Lo?" sapa Navi terkejut setelah membuka pintu mobilnya. Lagi-lagi, dia bertemu dengan cewek yang ia benci. "Navi, gue tersesat di sini. Gue boleh minta anterin pulang?" pinta Lila dengan paniknya. "Nggak!" "Tolong gue, Navi ... " rintih Lila. "Salah sendiri tersesat! Lo juga paling sengaja, kan?" "Nggak gitu. Gue tadi naik angkot, tapi salah arah. Gue baru pertama kali naik angkot." "Gue nggak peduli. Minggir!" Lila menyingkir dari hadapan Navi. Membiarkan mobil putih itu melanjutkan perjalanannya. Dia benar-benar tersesat di daerah itu. Tidak ada angkutan ataupun taksi yang lewat. Ponsel pintarnya sudah mati dan tidak ada yang bisa membantunya pulang ke rumah. Dia tadi melihat mobil putih, yang plat nomornya yang telah dia hafal. Ah, gadis itu memang sudah mencari tahu dan mengingat semua hal tentang Navi. Tetapi, dia belum tahu tentang teori warna biru yang Navi punya. Lila menunduk, dia memilih duduk memangku seorang diri di samping jalan. Berharap ada sosok malaikat yang turun dan akan mengantarkan dia pulang ke rumah. Langit sorenya mulai menggelap. Awan kelabu mulai berdatangan tiba-tiba tanpa meminta izin terlebih dahulu untuk datang. Jalanannya benar-benar sangat sepi. Terlebih, Lila adalah gadis manja yang tidak mungkin dia akan mencoba berjalan kaki untuk mencari jalan pulang. Dia justru hanya berdiam diri dan tidak henti-hentinya mengoceh. Ini semua salah dirinya sendiri. Padahal jika dia lebih sabar menunggu jemputan dari mamanya dan tidak memilih naik angkot, dia tidak akan tersesat. "Navi nggak punya hati!" "Tega bener biarin gue terlantar gini!" "Dia emang bukan manusia!" "Dia itu pohon pisang!" "Yang punya jantung tapi nggak punya hati!" "Tapi gue heran kenapa gue bisa suka si sama Navi. Padahal dia nggak cakep-cakep amat! Jutek iya! Sombong iya! Otak juga paling hasil give away tuh bukan otak murni!" "Ini lagi, punya hp malah mati! Nggak berguna bener!" Ah, mama pasti lagi nyariin gue." "Mana kayak gembel lagi di tepi jalan gini!" "Kek orang gila malah, ngomong sendiri. Ini nih yang nggak bisa bikin gue mencintai dalam diam. Orang semua kata di hati sama pikiran gue langsung aja keluar dari mulut kurang ajar ini!" Gadis itu tidak bisa berhenti mengekuarkan suara. Lelah? Tentu saja. Namun, kembali lagi ke awal bahwa dia merupakan seseorang yang tak bisa berucap dalam hati. Semuanya pasti akan keluar dari bibirnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD