Hal Aneh

1052 Words
- "Seenaknya saja kamu membuatku jatuh hati tanpa dipertanggungjawabkan olehmu" - *** "Genta!! Lo kartu AS gue, tolong gue dong disini! Gue laper banget!" teriak Lila yang sudah benar-benar frustasi. Tin tinn!! "Woy Lila, ngapain panggil nama gue?" Senyum Lila merekah sempurna, akhirnya ada yang bisa menolong dia. Genta selalu saja datang diwaktu yang tepat. "Aa Genta, untung lo dateng. Anterin gue ya ke rumah," pinta Lila. "Ke rumah gue? Ngapain? Lo mau minta restu ke bokap nyokap gue?" "Ke rumah gue dodol, bukan rumah lo. Anterin gue balik, please," bujuk Lila yang menampilkan puppy eyes dan beberapa kali mengedipkan matanya. "Ada syaratnya." "Apa?" "Kita jadian, ya?" "Yah Genta, jangan itu dong!" Jawaban Lila justru membuat Magenta terkekeh karena melihat ekspresi Lila yang sangat menggemaskan di matanya. "Becanda. Ya udah, coba minta gue baik-baik terus lo manggil gue sayang." "Nggak ikhlas bener lo nolongin gue. Gue coret dari daftar sahabat baru tau lo!" "Bodoamat! Ayo cepet!" Lila menghela napasnya sebal. Sahabatnya itu memang tidak bisa dimintai tolong dengan ikhlas. Dengan terpaksa, gadis itu menyatukan kedua tangannya dan diletakan di depan d**a seraya sedang memohon. Bibirnya dipaksakan senyum, matanya memasang puppy eyes sekali lagi. "Magenta sayang, tolong anterin Lila pulang ya, please..." pinta Lila. "Aduh lo gemesin banget si, gimana gue nggak suka sama lo coba. Yuk ah cepet naik!" "Ah, akhirnya bisa pulang juga. Mana helmnya?" "Ini. Gue pasangin ya." Lila menurut, dan membiarkan Genta untuk memasangkan helm di kepalanya. Entah berapa kalipun Lila mendapat perlakuan manis dari Genta, namun gadis itu tidak menyisakan celah sedikitpun agar Genta masuk dihatinya. Karena hati Lila seutuhnya hanya untuk seorang Navino Reagen. Gadis itu langsung menaiki motor vespa milik Genta. Ya, Magenta memang berbeda dengan yang lain. Dia sangat unik dan suka hal-hal yang klasik. "Genta, pinjemin gue jaket lo dong, cardigan gue tipis nih. Dingin tau." "Nggak mau. Kalo lo ntar kedinginan, peluk gue aja, Lila. Gue ikhlas." "Ogah! Modus lo! Dikira gue apaan ha? Gue aduin ke mama baru tau rasa lo nggak main lagi ke rumah gue!" "Ampun, jangan aduin ke tante Aster dong! Kek anak kecil lo!" "Biarin!" Hening. Magenta tak menjawab ucapan Lila yang terakhir. Dia menghirup oksigen dengan pelan, mencoba untuk sedikit lebih tenang. "Lila, lo yakin mau tetep ngejar Navi?" tanya Magenta tiba-tiba mengubah nada bicaranya menjadi sedikit lesu. "Iya jelas dong, Navi kayak magnet bagi gue!" "Yang penting, jangan sampai lo sakit hati ya, jangan sampai lo sedih, karena liat lo kek gitu rasanya gue juga terluka." "Iya, Genta." Lila tersenyum, dia tidak tahu harus apa lagi untuk mengucapkan rasa syukur atas kedatangan Magenta di hidupnya. Hanya saja, gadis itu tetap bersikeras menganggap Magenta hanyalah sebatas sahabat. Perjalanan mereka berdua menuju rumah Lila tidak memakan waktu lama, karena Genta sudah hafal sekali jalan pintas menuju rumah gadis yang dia suka. Sekitar dua puluh menit mereka sampai di depan rumah bercorak putih pucat dan berjejer banyak tanaman di depannya. Lila dan mamanya memang sangat menyukai tanaman. Tanaman bunga mawar adalah favorit Lila. "Gue pamit dulu ya, maaf nggak mampir. Titip aja salam ke camer," ujar Genta. "Genta .... " "Iya, iya, ke nyokap lo maksudnya. Ya udah, gue cabut ya," pamit Genta yang siap melajukan kembali vespanya. Lila mengangguk pelan. Dia mengembangkan senyum cantiknya. "Iya thanks ya, hati-hati!" seru Lila kepada Magenta yang baru saja menjalankan motor. Lila melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang hanya ditinggali oleh dia dan mamanya. Meskipun hanya dua orang, Lila tetap bersyukur karena rumah itu begitu terasa hangat baginya. *** Navi tetap melajukan mobil putihnya tanpa kembali ke tempat di mana dia dicegat oleh Lila. Padahal, dia sendiri tadi tidak bisa membaca kebohongan Lila dan dia lupa kalau Lila tidak bisa berbohong. Tapi Navi tetaplah seorang Navi yang cuek dan acuh. Hatinya tidak memiliki perasaan peduli kecuali kalau melihat warna biru, itu beda lagi rasanya. Setelah dia sampai di rumahnya, cowok itu langsung saja pergi ke kamar dan membaringkan tubuhnya diatas kasur. Kacamata hitamnya dilepas, diletakan diatas nakas. "Bang Napi, ayo main boya sama Moya!" ajak Mola yang tiba-tiba sudah ada di kamar Navi. Navi mengembuskan napasnya secara kasar. Dia sedang tak mau diganggu kali ini. "Mola, Abang lagi capek tadi abis dicegat ama permen karet." "Bang, liat nih baju Moya," pinta Mola. Tanpa berpikir panjang, Navi melihat baju yang dikenakan adiknya itu. Sialnya, dia bisa dikelabuhi oleh adiknya sendiri yang baru berumur 4 tahun. "Aduh Mola pinter banget si, biar Bang Navi luluh jadi pakainya biru, hem?" Mola justru menyengir tak merasa bersalah. Ada-ada saja idenya. "Ayo Bang, main boya," rengek Mola. "Huhuu iyaa, Bang Navi ganteng pasti mau kok main sama kamu. Yuk, yuk!" Navi akhirnya bangkit dari posisi baringnya dan mengikuti jejak adiknya. "Bang Navi, temen abang udah pada tau soal wayna biyu sama yang kekuatan Bang Napi?" "Kekuatan? Uu jimayu. Mola sayang, itu bukan kekuatan tapi justru musibah bagi Abang. Abang jadi nggak bisa percaya sama seseorang," ungkap Navi dengan pengucapan yang menggemaskan. "Kalo pelmen kayet siapa, Bang?" "Oh itu yang ngejar-ngejar Abang. Kan Abang gantengnya nggak ada akhlak." "Iya benel juga si." Kakak beradik itu, tak terasa sudah di halaman samping rumahnya. Mereka memilih halaman samping kiri karena disana banyak rerumputan seperti lapangan. Untuk halaman depan beralas paving, halaman belakang untuk tanaman, dan halaman samping kanan untuk kolam renang. "Wah ada Navi lagi main sama Mola. Apa gue samperin ya?" Navi mengedarkan matanya ke penjuru arah, namun tidak ada siapa-siapa kecuali dia dan adiknya. Biasanya cowok itu hanya dapat mendengar suara hati jika jaraknya pendek. Tapi ini terasa sangat aneh, dia mendengar suara Jingga, tapi cewek itu tidak kunjung dia lihat. Lantas, Navi segera mengambil smartphone disakunya dan mengirimkan sebuah pesan kepada cewek itu. Jingga Gailardia [Lo di mana?] tanya Navi pada ruang obrolan w******p itu. [Gue di rumah Nav, nih di kamar] [Lo bisa liat kan di balik jendela?] Navi memperhatikan seksama ke arah yang disebut Jingga dan memang Jingga ada di sana melambaikan tangannya kepada Navi. Navi mengira-ngira jaraknya dan cewek itu sekitar 100 meter. Ya, rumah mereka berdua itu berseberangan. Dibatasi oleh jalan kompleks yang cukup lebar. Juga rumah Navi terlalu luas sehingga jarak di mana dia berdiri sekarang dengan jarak Jingga termasuk jauh. Tapi ini dirasa janggal untuk Navi. Padahal, jarak maksimal suara hati yang bisa dia dengar hanya sampai 50 meter, tapi kali ini bisa lebih dari itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD