Bab 2. PERKENALAN

1154 Words
Sinar matahari pagi menembus celah tirai ruang tamu rumah kecil milik Elvano. Suaranya burung yang bercicit di luar jendela menyapa lembut pagi yang tenang. Di meja dapur, aroma kopi hitam bercampur dengan wangi roti panggang. Hari itu adalah hari libur — tak ada proyek yang harus ia datangi, tak ada rapat yang menunggu. Hanya pagi yang sunyi dan damai, ditemani seseorang yang masih tak ia kenal, terbaring lemah di kasur dalam kamar tidurnya. Elvano melangkah pelan, membawa segelas air putih dan handuk kecil. Tatapannya tenang, tapi dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran. Semalam, anak itu benar-benar dalam keadaan parah — tubuhnya penuh luka memar, sebagian robek di bahu dan lutut. Ia sempat berpikir membawa ke rumah sakit, tapi karena takut anak itu tak punya identitas, ia memilih merawatnya sendiri. Saat ia meletakkan handuk di meja, tubuh di kasur itu bergerak pelan. Sebuah suara serak lirih terdengar. “Uh… di mana aku…?” El menoleh cepat. Ia mendekat, meletakkan gelas air di meja kecil, lalu duduk di kursi. “Kau sudah sadar rupanya,” ucapnya lembut. “Kau di rumahku. Semalam aku menemukanku di jalan, di dekat tumpukan sampah di belakang ruko tua.” Remaja itu — kulitnya pucat, rambut acak-acakan, bibir pecah — menatap sekitar dengan pandangan bingung. Tatapannya berhenti pada sosok Elvano, seolah mencoba memahami siapa orang itu. “Aku… aku pingsan?” tanyanya pelan. El mengangguk. “Ya. Sepertinya sudah lama tidak makan juga. Tubuhmu lemah sekali. Coba minum dulu.” Ia mengambil gelas dan menyodorkannya perlahan. Remaja itu menatap air itu lama sebelum akhirnya mengambilnya dengan tangan gemetar. “Terima kasih…” Suara itu lirih, nyaris seperti gumaman, tapi membuat Elvano tersenyum tipis. “Namaku Elvano,” katanya kemudian. “Aku tinggal sendirian di sini. Kau?” Remaja itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan, “Reiven.” “Elvano dan Reiven,” El mengulang sambil mengangguk. “Nama yang bagus.” Hening sebentar. Hanya suara jam dinding yang terdengar. El lalu berdiri, berjalan ke dapur, lalu kembali membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas s**u. “Aku tidak tahu kau suka apa, tapi makanlah sedikit dulu. Aku yang buat sendiri.” Reiven menatap makanan itu dengan canggung. “Aku… aku bisa sendiri.” El tersenyum lembut. “Kau masih lemah. Biar aku bantu. Anggap saja ini sarapan pertama kita.” Ia duduk di sisi kursi dan perlahan menyendok-kan bubur. Reiven sempat menolak, pipinya memerah karena malu disuapi, tapi akhirnya ia pasrah. Sendok demi sendok masuk ke mulutnya, membuat perutnya yang kosong terasa hangat. “Begitu,” kata Elvano sambil tersenyum kecil. “Pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru.” Reiven menatap wajah di hadapannya. Lelaki itu tampan. Ada ketenangan dan ketegasan dalam sorot matanya, seperti seseorang yang terbiasa memikul tanggung jawab. Bahunya lebar, kulitnya putih kecoklatan karena sering bekerja di lapangan. Tapi yang paling mencolok bagi Reiven adalah caranya bicara — lembut tapi berwibawa. “Kenapa kau ada di sana semalam?” tanya El perlahan setelah beberapa suapan. Reiven menunduk. “Aku… aku tidak tidak ingat pasti” katanya singkat. El tidak memaksa. Ia hanya mengangguk pelan. “Tidak apa. Sekarang yang penting kau istirahat. Nanti setelah kuat, baru kau ceritakan.” Ia mengambil obat dari saku celananya — obat pereda nyeri dan antibiotik — lalu memberikannya pada Reiven. “Minum ini dulu. Luka-lukamu sudah ku bersihkan, tapi masih harus dijaga agar tidak infeksi.” Reiven meminumnya patuh, meski wajahnya meringis karena rasa pahit. “Bagus,” ujar El sambil berdiri. “Kau boleh istirahat di sini beberapa hari sampai kau sembuh. Rumah ini kecil, tapi cukup nyaman kalau kau tidak keberatan.” Reiven memandang sekeliling. Rumah itu memang sederhana, tapi hangat — dindingnya penuh pajangan kayu, ada rak berisi buku dan beberapa peralatan teknik. Tak ada kesan mewah, tapi ada suasana damai yang entah kenapa menenangkan hatinya. “Kenapa kau menolongku?” tanya Reiven tiba-tiba. El berhenti sebentar, lalu menatap remaja itu. “Karena aku tidak bisa membiarkan seseorang terluka sendirian. Dunia sudah cukup dingin tanpa harus kita ikut jadi dingin.” Jawaban itu membuat d**a Reiven terasa hangat — sekaligus aneh. Sudah lama ia tidak mendengar seseorang berbicara dengan cara sejujur itu. Siang hari, hujan turun perlahan. El duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan proyek. Suara ketikan dari laptop berpadu dengan rintik air di luar. Sementara itu, Reiven sudah bisa duduk di sofa, memegang selimut di pangkuannya. Ia menatap diam-diam ke arah El. Dari sudut itu, ia memperhatikan setiap gerak lelaki itu: bagaimana El mengernyitkan dahi saat membaca data, bagaimana tangannya mengusap dagu, atau sesekali meneguk kopi tanpa menoleh. Ada sesuatu yang membuat Reiven ingin terus menatap, seperti menemukan sosok yang selama ini dia dambakan dari hidupnya. “Sudah baikan?” tanya El tanpa menoleh. Reiven sedikit kaget. “Uh… iya, lumayan.” El menoleh sekilas dan tersenyum kecil. “Kalau bosan, di rak sana ada beberapa buku dan majalah. Kau bisa baca.” Reiven hanya mengangguk. Ia bangkit perlahan dan berjalan pelan menuju rak buku. Ada beberapa novel dan buku teknik, sebagian tebal dengan sampul yang sudah pudar. Ia mengambil satu buku tipis berjudul Langit yang Tak Pernah Tidur. Ia membacanya sambil sesekali melirik ke arah El. Saat senja datang, El menutup laptopnya dan menatap jam dinding. “Sudah sore. Mau makan malam bersama?” Reiven mengangguk pelan. El tersenyum, lalu berjalan ke dapur. Ia menyiapkan nasi goreng sederhana, lalu menyajikannya di meja makan kecil. “Tidak sehebat restoran, tapi setidaknya bisa dimakan,” ujarnya sambil tertawa kecil. Reiven tersenyum tipis. “Bau harumnya enak.” Mereka makan dalam diam. Hanya sesekali El bertanya ringan — tentang makanan, atau sekadar menanyakan apakah Reiven masih merasa pusing. Suasananya hangat, tapi tidak canggung. Dua orang asing, tanpa sadar mulai saling terbuka dalam keheningan sederhana. Setelah makan, El membereskan meja. Reiven berusaha membantu, tapi El menahan tangannya. “Sudah, kau istirahat saja. Luka di bahumu belum sembuh benar.” Reiven memaksakan senyum, lalu kembali ke sofa. Dari tempatnya duduk, ia melihat El mencuci piring, tubuhnya tegap dengan lengan yang berotot samar. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan — rasa kagum, rasa nyaman, dan entah kenapa sedikit debar di d**a. Saat malam tiba, El menyalakan lampu meja kecil dan duduk di kursi dekat jendela. Hujan sudah reda, tapi udara masih lembab. Ia menatap keluar jendela sambil memegang cangkir teh. Reiven menatapnya lagi dari sofa, kali ini tanpa berusaha menyembunyikan pandangannya. “Terima kasih,” katanya pelan. El menoleh. “Untuk apa?” “Untuk semuanya… karena sudah menolongku.” El tersenyum tipis. “Sudah kukatakan, tidak perlu terima kasih. Kau aman di sini. Anggap saja rumah sendiri.” Reiven hanya mengangguk, tapi dalam hatinya, kata-kata itu berputar lama — ‘Kau aman di sini.’ Sudah lama sekali ia tak merasa aman di mana pun. Malam itu, ketika Elvano mematikan lampu dan masuk ke kamarnya, Reiven masih terjaga. Ia menatap langit-langit dan mendengarkan langkah El di kamar sebelah. Ada ketenangan yang menenangkan, tapi juga membuatnya takut — takut kehilangan rasa ini bila pagi datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD