~ Malam di Kamar: Kehangatan yang Tak Terduga ~
Setelah perjalanan pulang dari panti, suasana kota mulai gelap. Lampu jalanan berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Rei duduk di belakang motor Elvano, masih memeluk pinggang pria itu dengan erat. Meski capek, hatinya terasa hangat dan damai.
Sesampainya di rumah, Elvano memarkir motor di garasi dan membukakan pintu untuk Rei. “Ayo, masuk dulu. Lepaskan sepatumu,” ucapnya lembut.
Rei mengangguk pelan. “Bang… tadi… aku senang banget. Aku nggak pernah merasa sebahagia ini,” ucapnya sambil tersenyum malu-malu.
Elvano tersenyum tipis. “Senang mendengarnya, Rei. Kau menikmati malam ini, dan itu yang penting.” Ia menuntun Rei ke ruang tamu, tempat ia biasa menaruh sepatu dan jaket.
Rei melepas jaketnya, lalu menatap Elvano dengan mata berbinar. “Bang… aku ingin bisa melakukan hal yang sama kayak yang kau lakukan. Membuat orang lain bahagia, dan… bisa kuat seperti kau.”
Elvano tersenyum, duduk di sofa sambil menunjuk kursi di depannya untuk Rei. “Kau sudah mulai, Rei. Melalui malam ini, kau sudah belajar arti kebahagiaan sederhana dan kepedulian pada orang lain. Itu juga kekuatan, meski bukan kekuatan fisik.”
Rei duduk, mengangguk pelan. “Aku masih banyak belajar, Bang. Kadang aku merasa… aku terlalu manja, terlalu lemah. Tapi malam ini… aku merasa bisa berubah.”
Elvano mengangguk, menatap Rei dengan lembut. “Kau sudah cukup kuat, Rei. Kau hanya butuh kesempatan dan bimbingan sedikit saja. Ingat, kekuatan sejati ada di hati. Dan kau punya hati yang baik.”
Rei menunduk, matanya berkaca-kaca. “Bang… aku… aku nggak mau kehilanganmu. Bahkan saat kau pergi kerja, aku takut kalau kau… kenapa-kenapa.”
Elvano tersenyum tipis, berjalan mendekati Rei, lalu menepuk kepala pemuda itu dengan lembut. “Aku di sini, Rei. Kau tidak sendiri. Aku juga akan selalu ada saat kau butuh. Tapi kau juga harus belajar percaya diri, percaya pada kemampuanmu sendiri.”
Rei menghela napas panjang. Ia merasakan getaran hangat dari sentuhan Elvano, dan dadanya berdebar tak karuan. “Bang… boleh aku duduk di sampingmu?”
Elvano mengangguk. “Tentu, duduklah.”
Rei duduk dekat, sedikit canggung namun merasa nyaman. Mereka duduk dalam diam beberapa saat, menikmati kehangatan satu sama lain. Elvano menatap Rei, lalu tersenyum tipis. “Kau tahu, Rei… malam ini membuatku ingat masa kecilku. Waktu aku pertama kali pulang ke panti ini, aku merasa sendirian. Tapi anak-anak di sini mengajariku arti keluarga dan kasih sayang. Aku ingin kau merasakan hal yang sama, meski hanya sebentar.”
Rei menatapnya, mata berbinar. “Bang… aku… aku nggak pernah punya keluarga kayak gini. Aku selalu merasa kesepian, bahkan di rumah mewah. Tapi malam ini… aku merasa seperti… punya tempat di dunia.”
Elvano tersenyum hangat. “Itulah arti rumah, Rei. Bukan sekadar bangunan, tapi tempat di mana hati merasa aman dan diterima. Kau juga bisa membawa perasaan itu ke mana pun kau pergi.”
Rei diam sejenak, kemudian dengan suara lirih ia berkata, “Bang… aku suka sama kau. Aku… aku nggak bisa bohong lagi. Aku suka.”
Elvano menoleh, menatap Rei dengan mata hangat. Ada kilatan ringan keterkejutan, tapi ia segera tersenyum tipis. “Wajar, Rei. Kau masih muda, dan ini rasa suka seorang adik pada kakaknya. Tapi kita harus ingat, hubungan kita sekarang masih belajar saling mengenal. Kau belum mengerti banyak hal tentang hidupku.”
Rei menunduk, sedikit canggung. “Aku tahu, Bang. Aku nggak mau memaksakan. Tapi aku… aku ingin kau tahu perasaanku.”
Elvano menghela napas, lalu menepuk pundak Rei lembut. “Aku menghargai itu, Rei. Dan jangan khawatir, aku akan selalu menjaga kau. Sekarang, istirahatlah. Kau butuh tidur setelah hari yang panjang.”
Malam itu, mereka berpindah ke kamar. Rei yang masih lelah, memeluk Elvano dari belakang saat berbaring. “Bang… jangan pergi ya. Aku takut sendiri,” ucapnya pelan.
Elvano tersenyum samar, membiarkan Rei memeluknya. “Aku di sini, Rei. Kau aman. Tidurlah.”
Rei menutup mata, rasanya hangat dan damai. Ia merasakan tangan Elvano menyentuh punggungnya, menepuk lembut, memberikan rasa aman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap tarikan napas Elvano menjadi pengingat bahwa ia tidak sendiri, dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rei merasa benar-benar aman.
Elvano sendiri terjaga beberapa saat, menatap Rei yang tertidur pulas. Ada perasaan campur aduk di hatinya: tanggung jawab, perlindungan, dan… sedikit perasaan hangat yang ia tidak mengerti sepenuhnya. Tapi satu hal jelas bagi Elvano: ia akan menjaga Rei, sekuat tenaga.
Di luar, angin malam berhembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa di udara. Lampu kamar memancarkan cahaya lembut, menambah suasana hangat dan intim. Malam itu, kedamaian hadir, membungkus kedua hati yang mulai saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Keesokan paginya, Rei bangun lebih awal. Ia menatap Elvano yang masih terlelap, wajahnya tenang dan damai. Rei tersenyum pelan, merasakan rasa suka yang tumbuh perlahan namun pasti. “Bang… aku senang punya kakak kayak kau,” gumamnya dalam hati.
Elvano membuka mata, tersenyum samar melihat Rei menatapnya. “Selamat pagi, Rei. Tidurmu nyenyak?”
“Bang… iya… tapi aku… nggak mau bangun dari sini,” jawab Rei jujur, sambil memeluk Elvano kembali.
Elvano tertawa ringan. “Kalau begitu, tidurlah sebentar lagi. Nanti kita sarapan.”
Dan pagi itu, di rumah sederhana tapi hangat itu, dua hati yang berbeda usia tapi saling mengisi mulai belajar memahami arti kebersamaan, perlindungan, dan perasaan yang tumbuh perlahan. Kenangan malam itu akan menjadi momen yang tak terlupakan, menjadi dasar dari hubungan mereka yang semakin dekat
Rei kembali tertidur, sementara El memasak membuat sarapan untuk mereka berdua..
"Rei, ayo bangun, kita sarapan,!! ucap El mengelus lembut pipi Rei
"Iya, bang tapi aku hari ini dirumah aja ya, capek bang" pinta Rei yang terlihat kecapean.
"ok, jangan paksakan diri, ayo sarapan setelah itu istirahat,"
Setelah sarapan, El berangkat ke tempat kerja. meninggalkan Rei yang kembali tertidur di sofa .
Dan tak terasa, waktu berlalu, hingga terdengar suara ketukan pintu
"Tok tok.."