~ Makan Malam di Tempat Kenangan ~
Sore itu, matahari baru saja mulai merunduk di balik gedung-gedung tinggi kota. Jalanan sedikit lengang, hanya terdengar suara kendaraan yang melintas pelan. Elvano menutup laptopnya dengan rapi setelah memastikan semua data proyek hari itu sudah tersimpan dengan aman. Ia menoleh ke Rei, yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil membaca buku tentang kelistrikan.
“Ayo, Rei, kita keluar sebentar. Aku mau ajak kamu ke tempat spesial,” ucap Elvano sambil tersenyum samar.
“Tempat apa, Bang? Mau ke mana kita?” tanya Rei heran, menatap El dengan mata berbinar.
Elvano tersenyum dan hanya mengangkat bahu. “Sebuah tempat penuh memori untukku. Kau akan lihat sendiri nanti.”
Mereka berdua segera bersiap. Rei mengenakan jaket biru tua dan celana panjang sederhana, sementara Elvano memilih jaket kulit tipis dan celana jeans. Pukul lima sore, motor mereka melaju pelan menyusuri jalanan kota. Angin dingin sore itu membuat rambut Rei berkibar, wajahnya memerah karena dingin, tapi matanya bersinar penuh antusiasme.
“Bang, kita mau makan donut?” Rei bertanya heran ketika melihat motor mereka berhenti di depan sebuah toko kue yang kecil tapi rapi. Lampu neon toko memantulkan cahaya lembut ke trotoar yang basah karena hujan ringan sebelumnya.
“Iya, tapi bukan kita berdua saja,” jawab Elvano sambil tersenyum tipis. Ia berjalan ke dalam toko, berbicara sebentar dengan pemilik toko, lalu membayar pesanan yang sudah ia pesan sebelumnya tanpa sepengetahuan Rei.
Tak lama, seorang pegawai wanita keluar membawa sepuluh kotak besar donut. “Ini, Mas, pesanan Anda sudah siap,” katanya ramah.
“Terima kasih, Mbak,” jawab Elvano sambil tersenyum hangat. “Tolong taruh di motor, ya.”
Rei mengangkat satu kotak dengan kaget. “Bang, aku bisa pegang ini? Tapi kita mau ke mana?”
Elvano menepuk pundak Rei. “Ke tempat yang penuh kenangan bagiku. Kau akan mengerti nanti.”
Sebelum memacu motor, Elvano menelpon seseorang. “Halo, Bu? Pesanan nasi saya sudah diantar ke lokasi?”
“Sudah, Mas El, baru saja diantarkan,” jawab suara lembut dari seberang telepon.
“Baik, Bu. Makasih ya,” balas Elvano ramah. Ia menaruh ponsel kembali, lalu mengajak Rei naik ke motor. “Ayo, Rei. Mereka sudah menunggu.”
“‘Mereka’? Siapa?” tanya Rei penasaran.
“Nanti kau lihat sendiri,” jawab Elvano sambil tersenyum misterius.
Motor melaju perlahan, menyusuri gang yang cukup besar. Tak lama, mereka tiba di depan sebuah gedung dua lantai yang tampak pudar dan kusam dari luar. Papan nama terpampang jelas: “ASRAMA PANTI ASUHAN KASIH BUNDA.”
Elvano tersenyum lembut. “Inilah tempatku dari bayi sampai SMA dibesarkan.” Suaranya pelan, penuh nostalgia. Rei menatap gedung itu dengan kagum, tak menyangka sosok yang selama ini ia kenal sederhana, ternyata memiliki latar belakang yang penuh kehangatan dan kasih sayang.
Begitu mereka masuk, seorang wanita paruh baya muncul dari pintu, wajahnya hangat dan penuh perhatian. “El, bagaimana kabarmu, nak? Ibu rindu sekali. Kau sehat, kan?” Suara Bu Dewi sedikit bergetar, air mata menetes pelan di pelupuk matanya.
“Sehat, Bu. Berkat doa Ibu,” jawab Elvano sambil memeluknya erat.
“Ini Rei, Bu. Rei, kenalkan, ini Ibu Dewi,” kata Elvano sambil memperkenalkan Rei.
Ibu Dewi tersenyum, menatap Rei dengan lembut. “Nak Rei, manis sekali. Ayo masuk, semua sudah menunggu di dalam, El paket nasi yang kamu kirimkan sudah kami terima, ayo kita makan bersama".
Rei mengedarkan pandangan, melihat sekitar 30 anak-anak sedang bermain di aula. Matanya membesar, kagum melihat keramaian dan kehangatan yang terpancar dari wajah mereka. “Bang… mereka semua… akrab banget sama kamu,” ucap Rei lirih.
“Ya, mereka seperti adik-adikku sendiri. Setiap kali pulang ke sini, rasanya seperti kembali ke rumah,” jawab Elvano sambil tersenyum.
Anak-anak yang melihat kedatangan Elvano langsung berlari menghampirinya. “Bang El, selamat datang kembali!” seru seorang anak laki-laki.
“Kak El, aku kangen kakak!” teriak seorang gadis kecil.
“Kak El, terima kasih untuk buku buku nya kemarin!” tambah anak lain sambil tersenyum lebar.
"Kak El, terima kasih buat sepatu sama baju nya ya"
Rei menatap adegan itu dengan perasaan campur aduk. Kagum, terharu, dan sedikit iri. Ia baru menyadari bahwa Elvano bukan hanya seorang pria tampan dan mandiri, tapi juga sosok yang hangat dan penuh kasih sayang terhadap orang lain.
Elvano tersenyum melihat Rei yang terpaku. “Kau akan terbiasa dengan suasana hangat seperti ini, Rei. Tapi jangan khawatir, kau juga punya tempat di sini, meski hanya sebentar.”
Mereka segera membuka kotak-kotak donut yang sudah dibawa Elvano. Aroma manis dan wangi cokelat, krim, dan gula bubuk langsung menyebar ke seluruh ruangan. Anak-anak berkerumun, tertawa, dan memilih donut favorit mereka. Suasana penuh canda dan tawa memenuhi aula panti.
“Bang… ini tempat pertama kali aku makan di tempat kayak gini,” ucap Rei jujur, matanya berbinar.
Elvano tersenyum lembut. “Gimana rasanya?”
“Enak banget… kayak ada rasa hidupnya,” jawab Rei sambil tersenyum lebar.
Sambil makan, anak-anak mulai bercerita tentang kegiatan mereka di panti: belajar, bermain, dan kegiatan mingguan. Rei mendengarkan dengan kagum, beberapa kali tersenyum sendiri. Elvano sesekali menatap Rei, memperhatikan reaksi pemuda itu saat melihat keceriaan anak-anak. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan, membuat dadanya sedikit berdebar.
“Rei, coba sini sebentar,” kata Elvano sambil menunjuk pada satu kotak donut. “Ini spesial buatmu.”
Rei terkejut, tapi menerima kotak itu dengan tangan gemetar. “Bang… ini… untuk aku?”
“Ya, anggap saja hadiah kecil dari kakakmu,” jawab Elvano sambil tersenyum tipis.
Mereka duduk di bangku kecil di pojok aula, makan donut sambil mengobrol tentang masa lalu Elvano di panti. El bercerita tentang kenakalan kecilnya, guru-guru yang ia hormati, dan teman-teman yang selalu mendukungnya. Rei mendengarkan dengan seksama, merasa semakin dekat dengan sosok El.
“Bang, kenapa kau selalu terlihat kuat dan ceria? Bahkan saat orang lain sedih, kau bisa menenangkan mereka,” tanya Rei tiba-tiba.
Elvano tersenyum, menatap ke arah anak-anak yang tertawa riang. “Karena aku belajar dari mereka, Rei. Mereka mengajarkanku arti kebahagiaan sederhana, arti berbagi, dan pentingnya peduli pada orang lain. Itu yang membuatku kuat.”
Rei menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku… aku ingin bisa sekuat itu suatu hari nanti, Bang. Aku… aku nggak ingin orang lain merasa sendiri karena aku.”
Elvano meletakkan tangannya di bahu Rei, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kau akan bisa, Rei. Kau sudah mulai belajar sekarang. Ingat, kekuatan itu bukan Cuma fisik. Hati yang peduli juga kekuatan yang sesungguhnya.”