BAB 5 AKU IKUT KERJA

1263 Words
Fajar baru saja menyentuh jendela kecil rumah kontrakan sederhana itu. Suara burung gereja di luar terdengar bersahut-sahutan, sementara aroma nasi yang baru matang memenuhi ruang tengah. Elvano sudah bangun sejak pukul lima pagi—seperti biasa. Ia sedang menata meja makan, menyiapkan dua piring, dua gelas, dan semangkuk sayur bening dengan telur dadar hangat. Rei masih meringkuk di kasur, rambut acak-acakan menutupi separuh wajah. Dalam tidurnya, ia tampak damai—tidak seperti remaja 17 tahun yang baru beberapa hari lalu ditemukan tergeletak di tempat sampah. “bang El bangun pagi banget…” gumam Rei pelan sambil mengucek mata, lalu tersenyum kecil melihat sosok El yang sibuk di dapur. “Pagi, bocah manja,” sapa El tanpa menoleh, suaranya hangat. “Ayo bangun, sarapan dulu. Habis itu kamu mau ikut aku kerja, kan?” Rei duduk pelan, menarik selimut yang setengah melorot. “Beneran boleh ikut? Aku nggak mau nyusahin…” “Ya, asal kamu nggak rewel dan kuat panas,” jawab El santai, menyendok nasi ke piring. “Kerjaan di proyek itu keras, bukan kayak di rumah kaca orang kaya.” Rei mengangkat alis, sedikit tersinggung tapi tersenyum juga. “Aku tahu, aku mau belajar… siapa tahu bisa bantu.” "Bagus. Tapi jangan sampai malah aku yang repot jagain kamu,” balas El dengan nada bercanda. “Bang El selalu bangun sepagi ini?” tanya Rei pelan. “Udah kebiasaan. Kalau hidup sendiri, semua harus dikerjain sendiri. Nggak ada yang bakal bangunin, nggak ada yang bakal nyiapin sarapan.” “Rasanya kesepian nggak, Bang?” El terdiam sejenak. Ia menatap piringnya, lalu tersenyum kecil. “Kadang iya. Tapi kesepian itu yang bikin aku kuat.” Setelah sarapan, El mengeluarkan dua helm dari gantungan di dinding. “Yuk, siap-siap. Kita naik motor.” "Wah, ini motor klasik ya, Bang?” "Motor pekerja keras,” jawab El sambil menepuk jok. “Udah nemenin aku lima tahun.” Rei duduk di belakang, memegang jaket El Saat motor melaju, angin pagi menerpa wajahnya. Pemandangan kota perlahan terbuka: jalanan padat, “Bang, macetnya parah banget ya…” katanya di sela suara bising lalu lintas. Elvano tertawa. “Itu biasa. Kota besar, isinya orang buru-buru semua. Tapi di balik hiruk pikuk ini, ada banyak orang yang kerja keras buat bertahan.” Rei memperhatikan sekeliling. Tukang ojek, pedagang kaki lima, kuli bangunan, semua tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri. “Aku baru sadar, Bang… ternyata dunia nggak sesempurna yang aku kira.” “Emang. Dunia itu keras, tapi kalau kamu mau lihat dengan hati, di situ juga banyak kebaikan kecil yang nggak kelihatan,” balas El lembut. Perjalanan sekitar tiga puluh menit itu terasa singkat. Mereka tiba di area proyek gedung bertingkat yang sedang dibangun. Bau semen, suara las, dan teriakan mandor bercampur menjadi satu suasana yang asing bagi Rei. “Selamat pagi, Bos El!” sapa Bang Jun dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Pagi, Bang Jun! Ini Rei, temenku. Dia Cuma mau lihat-lihat aja,” balas El. Rei menunduk sopan. “Pagi, Bang Jun.” “Wah, ganteng banget nih bocah. Kirain artis mau shooting,” canda Mang Edin sambil tertawa. Rei Cuma tersipu, sedangkan El ikut tertawa kecil. El segera mulai bekerja: memeriksa panel listrik, memanjat tangga besi, memasang kabel, dan memeriksa jalur pipa. Semua dilakukan dengan tenang dan presisi. Rei hanya bisa kagum. Ia tak menyangka pria itu, yang selalu tampak lembut di rumah, bisa berubah jadi sosok yang begitu fokus dan tangguh saat bekerja. Kadang Rei membantu hal-hal kecil: mengambil obeng, menyeka keringat El dengan handuk kecil, atau membawakan botol air. Meski terlihat sederhana, baginya semua itu pengalaman baru. “Panas banget ya, Bang,” katanya sambil mengipas wajah dengan tangan. “El tersenyum sambil minum. “Belum seberapa. Ini baru jam sepuluh. Nanti jam dua belas kamu bakal tahu arti panas yang sebenarnya.” Saat jam makan siang tiba, semua pekerja duduk di bawah tenda biru sederhana. Mereka membuka bekal masing-masing. El membagi nasi bungkus untuk Rei. “Ini, makan dulu.” Rei menerima dengan hati bergetar. “Bang… aku nggak pernah makan kayak gini. Di bungkus kertas minyak gini…” “El menatapnya lembut. “Sekarang kamu udah pernah. Kadang yang sederhana justru paling nikmat, apalagi kalau dimakan bareng orang yang tulus.” Rei menatap El lama. Ada sesuatu di dalam diri pria itu yang membuatnya tenang. Ia bukan hanya menolongnya, tapi juga mengajarkan makna baru tentang hidup. Setelah istirahat, pekerjaan kembali dilanjutkan. Matahari makin terik. Rei mulai kelelahan, wajahnya memerah, keringat menetes deras. Tapi ia berusaha menahan diri, tak mau terlihat lemah di depan El. Saat sore menjelang, pekerjaan akhirnya selesai. El melihat Rei yang duduk di lantai semen, menunduk kelelahan. “Gimana rasanya kerja di lapangan?” tanya El sambil tersenyum. “Berat banget…” Rei menjawab jujur, suaranya lirih. “Aku baru sadar, Bang, betapa mudahnya hidupku dulu. Semua serba ada, tapi aku nggak pernah benar-benar ngerasain perjuangan.” El menepuk bahunya pelan. “Nggak apa-apa. Setiap orang punya titik mulai. Yang penting kamu mau belajar.” Mereka pulang menjelang senja. Sebelum ke rumah, El memmbelokkan motornya ke sebuah toko pakaian, dia berniat meemmbelokan pakaian untuk Rei, "Abang mau beli baju?" tanya Rei penasaran "iya, ayo masuk" jawab El "Rei kamu pilih ukuran Yaang cocok buat mu ya," kata El menunjuk etalase pakaian remaja. "Abang mau beliin aku baju baru?, ga usah bang aku pake punya Abang aja" Rei malu menerima itu "badanmu kecil Rei kurang pantes pake baju kelonggaran," jawab El dengan tersenyum "ok bang maksain ya" Setelah memilih dan mendapatkan satu stel kaos dan celana, dirasa cukup Rei menyerahkan itu ke El, "bang aku pilih ini aja ya" ucap Rei "ok kita ke kasir," ajak El, yang juga membawa satu set pakaian, dan ternyata itu untuk Rei. Setelah berbelanja mereka melanjutkan pulang kerumah Sesampainya di rumah, Rei langsung rebahan di sofa sambil mengeluh kecil. “Bang, badanku pegal semua…” El tertawa kecil. “Besok juga biasa. Tapi kamu hebat, nggak ngeluh sepanjang hari.” “Karena aku nggak mau kelihatan lemah di depan Bang El,” jawab Rei jujur. Malamnya, setelah mandi dan makan malam bersama, mereka duduk di ruang tamu kecil dengan lampu redup. Angin malam bertiup lembut melalui jendela. Rei terlihat gelisah, menatap El yang sedang memperbaiki kabel charger. “Bang…” panggilnya lirih. “Hemm?” El menoleh. “Kalau aku bilang aku suka sama Bang El… itu salah nggak?” El terdiam. Satu detik, dua detik, lalu ia tersenyum kecil. “Rasa suka itu nggak salah, Rei. Tapi mungkin yang kamu rasain itu rasa kagum. Kamu ngerasa aman sama aku, kan?” Rei menunduk, menggenggam ujung bajunya. “Mungkin… tapi rasanya beda. Aku nggak tahu kenapa, aku Cuma pengen deket terus.” El menarik napas pelan, lalu mendekat dan menepuk kepala Rei. “Kamu masih muda. Kadang perasaan bisa datang karena hangatnya perhatian. Aku nggak marah, tapi jangan buru-buru ngasih makna buat sesuatu yang kamu belum ngerti.” Rei menatap mata El, bening dan jujur. “Bang El emang beda…” katanya pelan. “Beda gimana?” “Beda dari semua orang yang pernah aku kenal. Bang El nggak punya apa-apa, tapi bisa bikin aku ngerasa cukup.” El tersenyum, kali ini lebih hangat. “Makasih, Rei. Tapi kamu juga punya hal yang berharga — hati yang mau berubah.” Hening mengisi ruangan. Suara jangkrik terdengar samar dari luar. Rei akhirnya bersandar di bahu El, dan pria itu membiarkannya. Tak ada kata-kata lagi malam itu. Hanya dua jiwa yang diam-diam belajar saling memahami: satu dari dunia kemewahan yang kehilangan arah, dan satu dari kerasnya hidup yang mengajarkan arti sederhana dari kasih dan ketulusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD