BAB 4 KAU MEMANG BEDA

1127 Words
∆ Rutinitas Setiap Hari ∆ Suara deru motor terdengar memecah udara pagi yang mulai menghangat. Elvano memacu motornya menembus jalan yang mulai padat, matanya sesekali melirik jam di tangan kirinya — sudah lewat pukul tujuh lewat tiga puluh lima. Ia menggigit bibirnya pelan, berusaha menyalip kendaraan lain dengan hati-hati. “Duh, telat juga aku hari ini,” gumamnya sambil menarik napas panjang. Begitu sampai di lokasi proyek, Elvano langsung memarkirkan motornya di antara deretan motor para pekerja. Debu beterbangan, dan panas matahari pagi mulai menampar kulitnya. Ia melepaskan helm, merapikan rambutnya seadanya, lalu berlari kecil menuju area kantor sementara di sisi kiri proyek. Dari kejauhan, ia sudah melihat dua sosok yang dikenalnya dengan baik — Bang Jun, pria paruh baya berperawakan tegap yang menjadi kepala teknisi lapangan, dan Mang Edin, teknisi senior yang selalu membawa kotak peralatannya ke mana-mana. Keduanya tampak sudah siap bekerja, lengkap dengan helm proyek dan rompi keselamatan. “Tumben si bos datang telat,” celetuk Bang Jun sambil melirik jam tangannya, separuh menggoda. “Biasanya sebelum kita datang, dia udah nongkrong di depan laptop,” tambah Mang Edin tertawa kecil. Elvano mengangkat tangan sambil berjalan cepat. “Pagi, Bang Jun, Mang Edin. Maaf, kesiangan dikit. Tadi ada sesuatu di rumah.” “Pagi juga, Bos. Kita udah siap mau naik ke rooftop, tinggal nunggu instruksi,” jawab Bang Jun dengan nada santai. “Oke, aku nyusul bentar ya. Mau cek data dulu.” Elvano tersenyum dan masuk ke tenda kantor sederhana yang di dalamnya hanya ada meja, laptop, dan tumpukan map laporan. Sementara dua teknisi itu sudah melangkah menuju lift proyek, Elvano membuka laptopnya, memeriksa laporan kerja kemarin, menghitung ulang estimasi kabel dan beban daya yang harus dipasang hari ini. Tangannya bergerak cepat, sesekali mengetik catatan di Excel, matanya fokus meski peluh sudah mulai membasahi pelipis. Di layar laptop tertera nama proyek: Gedung Office Tower – Jakarta Barat (Progres 70%). Ia bekerja sebagai konsultan sekaligus pengawas lapangan untuk instalasi listrik gedung ini. Tugasnya tidak ringan, tapi Elvano sudah terbiasa. Ia menikmati setiap detil pekerjaan — dari mengukur panjang kabel, menata panel listrik, hingga memeriksa sambungan pipa konduktor yang rumit. Semua dilakukan dengan teliti, penuh tanggung jawab. Setelah beberapa jam, Elvano akhirnya duduk di dekat tangga besi, membuka helm, dan mengusap wajahnya dengan handuk kecil. “Break dulu, bos. Makan dulu,” sapa Bang Jun sambil menyalakan rokok. Elvano tersenyum. “Iya, bentar.” Ia membuka bekal makan siangnya — nasi, telur dadar, dan sambal sederhana. Tapi baru saja ia akan menyuap, pikirannya melayang ke rumah. Wajah Reiven tiba-tiba muncul di benaknya. Waktu El berangkat tadi pagi, bocah itu masih tidur pulas di sofa, selimut tersampir di bahu, rambut acak-acakan, wajahnya tenang seperti anak kecil. “Dia makan siang gak ya?” gumamnya tanpa sadar. Bang Jun menoleh. “Ngomongin siapa, Bos?” Elvano tersenyum kikuk. “Ah, gak. Cuma kepikiran orang yang lagi aku tampung di rumah. Namanya Rei.” Mang Edin ikut tertawa. “Bos kita ini emang gak pernah berubah. Dikit-dikit nolong orang. Nanti rumahnya kayak panti asuhan.” “Dia anak baik, Cuma lagi butuh tempat tinggal sementara,” jawab Elvano sambil tersenyum tipis. Bang Jun menepuk bahu Elvano. “Kalau gitu, kirim aja makanan online. Biar perutnya gak kosong, bos gak kepikiran terus.” “Bener juga,” gumam Elvano sambil membuka ponselnya. Ia segera memesan makanan lewat aplikasi — ayam goreng, nasi, dan jus jeruk — dikirim ke apartemennya untuk Reiven. Sambil menunggu pesanan konfirmasi, Elvano menatap layar ponselnya yang menampilkan alamat rumahnya. Entah kenapa, perasaan hangat muncul setiap kali ia mengingat bocah itu. Mungkin karena sejak pertama kali ditemukan di tempat sampah dalam keadaan luka dan lemah, Reiven selalu memandangnya dengan tatapan polos dan jujur — seperti seseorang yang baru pertama kali melihat kebaikan tanpa pamrih. Setelah istirahat cukup, mereka kembali bekerja sampai sore. Sinar matahari mulai redup, suara alat berat berganti dengan suara angin sore yang lembut. Elvano menyimpan semua alat, menutup laptopnya, dan bersiap pulang. -- ∆. Rumah yang Tidak Biasa ∆ Senja sudah turun ketika Elvano tiba di apartemen kecilnya. Begitu pintu dibuka, aroma harum masakan langsung menyambutnya. Ia mengerutkan dahi — ada bau bawang tumis dan wangi nasi hangat. Suasana rumah yang biasanya sepi kini terasa hidup. “Rei?” panggilnya. Dari dapur, muncul sosok remaja dengan rambut agak berantakan tapi wajah ceria, memakai kaus kebesaran milik Elvano yang nyaris menutupi paha. “Selamat datang, bang El!” serunya sambil tersenyum lebar. “Aku masak loh.” Elvano mendekat, menatap meja makan yang sudah tertata — dua piring nasi, sayur sop, dan telur dadar. “Kamu yang masak ini?” tanyanya heran. Reiven menatap bangga. “Iya dong! Walau hampir gosong sih awalnya, tapi aku berhasil.” “Wah… hebat juga kamu.” Reiven menaruh sendok di tangan Elvano. “Duduk. Aku pengen lihat ekspresi abang pas nyobain.” Elvano menuruti. Ia mencicipi satu sendok, lalu menatap Reiven. “Gimana?” tanya bocah itu, menahan napas. Elvano tersenyum. “Lumayan. Rasanya kayak... masakan anak miliarder yang lagi belajar hidup normal.” Reiven tertawa keras. “Dasar bang El!” Mereka makan bersama sambil bercerita ringan. Suasana hangat memenuhi ruangan. Sederhana, tapi bagi Reiven, ini lebih bermakna daripada makan di meja makan besar bersama para pelayan rumah. Di sini, tidak ada formalitas. Tidak ada tatapan menilai. Hanya dua orang yang saling mengisi kesepian masing-masing. Setelah makan, Reiven duduk di sofa sambil menatap Elvano yang sedang merapikan piring. “bang El…” “Hemm?” “Boleh aku pinjam HP abang sebentar?” Elvano menoleh. “Untuk apa?” “Aku mau hubungi keluargaku. Cuma buat kasih tahu kalau aku baik-baik aja. Aku gak mau mereka panik.” Elvano menatapnya sejenak, lalu menyerahkan ponselnya. “Silakan.” Reiven menekan nomor ibunya dengan tangan gemetar. Butuh beberapa detik sampai panggilan tersambung. “Mom, ini aku, Rei…” suaranya pelan. Dari ujung sana terdengar suara tangis lega. “Reiven! Di mana kamu? Kami khawatir setengah mati!” “Aku baik-baik aja, Mom. Cuma butuh waktu sendiri. Tolong jangan kirim orang buat nyari aku. Aku aman di tempat yang baik.” “Kamu sakit? Suaramu terdengar aneh.” Reiven melirik Elvano yang sedang berdiri di dekat dapur, lalu tersenyum kecil. “Enggak, Mom. Aku dijagain orang yang baik banget. Aku janji bakal pulang nanti.” Setelah panggilan berakhir, ia mengembalikan HP itu dengan senyum lega. “Terima kasih, bang El.” Elvano menatapnya lembut. “Mereka pasti sayang sama kamu, Rei.” “Entahlah… kadang aku ngerasa mereka Cuma takut kehilangan nama baik keluarga, bukan aku.” Elvano menatapnya tanpa berkata-kata. Ia tahu luka di hati bocah itu lebih dalam dari yang terlihat. Malam semakin larut. Setelah mengobrol dan bercanda bersama, Reiven tiba-tiba bersandar di bahu Elvano. “bang El, boleh gak besok aku ikut kerja ?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD