1. You Broke My Heart

1499 Words
Di sebuah komplek pemakaman mewah, tampak seorang remaja pria terduduk diam dengan mata berkaca-kaca. Tangannya terulur, terus mengusap nisan abu-abu bertuliskan nama Andrew John Geraldo. Walau perasaan sedih menyergap bahkan menusuk hati bagai sembilu, ia sekuat mungkin menahan tangis. Terus saja memanjatkan doa agar mendiang sang ayah yang baru saja dimakamkan bisa pergi dengan tenang menghadap sang pencipta. "Sudahlah, Arsene. Jangan bersedih. Mama yakin, Papa pasti sudah berbahagia di surga." Wanita cantik bernama Gracia Geraldo itu tampak tegar. Walaupun pipinya masih basah bekas terguyur air mata, ia berusaha terlihat tegar di depan putra semata wayangnya. Tentu tidak mudah. Lebih-lebih ia harus kehilangan suami yang begitu ia cintai dalam sebuah kecelakaan mobil beberapa waktu silam. Pria yang pagi harinya memberikan senyum sumringah seraya meminta izin untuk berangkat kerja, harus pulang ke rumah dengan keadaan tidak bernyawa. "Ada Mama yang akan terus menjagamu, Nak. Mama janji akan terus mendampingimu sampai menua nanti." Gracia terus berusaha menguatkan hati sang anak agar tidak terus larut dalam kesedihan. Ia tahu benar putranya tersebut memang begitu dekat dengan sang suami. Lebih-lebih Andrew memang sosok ayah yang begitu Arsene kagumi selama ini. Namun, janji tinggal janji. Tepat tiga bulan setelah Andrew menghadap sang pencipta, giliran Gracia yang menyusul pergi meninggalkan Arsene untuk selama-lamanya. Wanita cantik itu di sinyalir terkena serangan jantung saat mengikuti sebuah rapat penting di kantornya. Bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati seorang Arsene yang saat itu belum genap berumur 20 tahun harus kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu berdekatan. Di usianya yang masih muda, ia dipaksa untuk bertahan hidup demi menghadapi kerasnya dunia. "Arsene, jangan menangis. Kau tidak sendiri di dunia ini. Masih ada Uncle Oliver yang akan menjaga serta merawatmu. Uncle janji tidak akan pernah sekali pun meninggalkanmu." Arsene yang tadinya tertunduk, langsung mendongak. Dengan raut sedih pemuda itu menggelengkan kepalanya pelan. Kalau dulu saat kematian Andrew ia berhasil menahan diri agar tidak meneteskan air mata, kali ini ia tidak sanggup lagi. Kristal bening itu nyatanya sudah mengalir begitu deras membahasi kedua pipinya. Persetan orang-orang mau menganggapnya cengeng atau bagaimana. "Jangan berjanji apa-apa padaku, Uncle. Cukup Papa dan Mama saja yang pergi meninggalkanku. Aku tidak ingin semua orang yang aku sayang satu per satu pergi begitu saja dari hidupku." "Tidak." Oliver balas menggeleng lalu mengulurkan tangan kanannya menepuk pundak Arsene berkali-kali. Menguatkan hati pria itu agar tidak terus larut dalam kesedihan. "Uncle janji tidak akan mati sebelum membuatmu sukses. Uncle sudah bertekad untuk membantumu meraih dunia ke dalam genggamanmu. Membuat Exon Corporations yang sudah susah payah selama ini Andrew besarkan kembali berjaya dan berkembang pesat. Lebih-lebih kau juga harus membalas orang yang sudah berbuat jahat kepada keluargamu." Tangan Arsene langsung terkepal keras. Ucapan Oliver barusan berhasil membangkitkan emosinya. Benar apa yang pamannya itu sampaikan. Ia tidak boleh terus larut dalam kesedihan. Ia harus segera bangkit. Karena setelah ini, ada tugas berat yang sudah menanti. Dari depan Nisan kedua orang tuanya, Arsene berjanji dalam hati akan menjadi pribadi yang sukses dan tidak tertandingi. Begitu semua bisa didapatkan, ia akan membuat perhitungan kepada siapa saja yang sudah menghancurkan keluarganya seperti sekarang. "Cepat atau lambat, aku harus membalas semua perbuatan mereka, Paman. Akan ku buat keluarga Adelaide sama menderitanya dengan apa yang saat ini tengah ku rasakan." Oliver menyeringai. Sudut bibirnya terangkat tinggi. "Tentu saja, Nak. Kau memang pantas melakukan itu. Bahkan setelah kecelakaan maut yang menewaskan ayahmu, sampai detik ini Raymond tidak sedikit pun menunjukkan batang hidungnya untuk sekedar meminta maaf. Mungkin saja ia sekeluarga sudah pergi ke luar negeri." Pria itu kemudian menepuk pundak Arsene dengan lembut, lantas setelahnya kembali menyemangati. "Mulai detik ini, Uncle janji akan selalu di sampingmu. Uncle juga akan mengubahmu menjadi pria yang benar-benar tangguh di dalam dunia bisnis maupun keseharian." Setelahnya, Oliver bangkit lebih dulu. Detik kemudian mengulurkan tangan, meminta agar Arsene turut bangkit dari duduknya. Keduanya lantas memutuskan pergi meninggalkan kompleks pemakaman. Menuju rumah Arsene untuk bersiap memulai segala rencana yang sudah disusun sedemikian rupa. *** Beberapa tahun kemudian. . Dear Arsene, Putraku Tersayang. Jika kau membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tidak lagi berada di sampingmu. . Jangan bersedih. Jangan pernah sedikit pun merasa sendiri. Ingat! Ada Uncle Oliver di sampingmu. Dia yang akan membimbingmu untuk mewujudkan satu per satu cita-citamu. Mama percaya, Uncle Oliver mampu menjaga serta menjadikanmu sosok yang tangguh, tidak terkalahkan, bahkan begitu besar di dunia bisnis nantinya. . Dan ketika semua itu terwujud, satu pesan Mama, Jangan lupakan orang yang sudah menghancurkan keluarga kita. Kau harus ingat kalau Raymond bertanggung jawab penuh atas kematian Papa. Begitu kau memiliki segalanya, Mama mohon, hancurkan pria itu sampai tidak bersisa. Mama yakin, kau mampu melakukan semuanya. . Di sini, Mama akan selalu mengawasi dan memperhatikanmu. . Love Mama. . Arsene menatap nanar kertas putih yang ada di tangan kanannya. Dadanya kembali terasa sesak jika mengingat satu per satu peristiwa kematian kedua orang tuanya. Bertahun-tahun sudah berlalu, tapi tetap saja perasaan sedih itu tidak bisa hilang begitu saja. Terkadang, di kegelapan malam, Arsene masih saja menangisi kepergian ayah dan ibunya. Bahkan sempat terpikir ingin mati agar dapat menyusuli mereka berdua. "Jangan gila, Arsene. Jangan pernah sia-siakan nyawamu untuk tindakan konyol seperti ini. Kau tidak boleh menyerah, apalagi sampai berniat untuk bunuh diri. Pria itu tidak cengeng! Kalau kau mati, siapa yang akan membalaskan dendam orang tuamu?" Oliver tampak berseru dengan kecewa. Ia tahu kalau pria yang selama ini dirawatnya itu tengah menyimpan kepedihan yang dalam. Tapi, tidak sedikit pun terlintas dipikirannya kalau Arsene sampai nekat berusaha untuk mengakhiri hidup. "Ingat Arsene, kau harus menjadi sosok yang tangguh dan bisa bangkit ketika menghadapi segala masalah yang muncul. Bukan pria cengeng apalagi lemah seperti sekarang. Uncle berani bertaruh, kau tidak akan berhasil jika terus larut dalam ketepurukan seperti ini!" Sungguh, kalau Oliver tidak berada di sampingnya dan terus berusaha menguatkan, Arsene mungkin sudah lama gila. Mana tahan dirinya yang terbilang masih sangat muda harus menerima nasib tragis secara bertubi-tubi. Di saat orang-orang di umur sepertinya menikmati waktu dengan bermain, berbeda 180 derajat dengan dirinya. Ia harus belajar dengan tekun. Memaksimalkan diri agar bisa segera lulus kuliah dan menguasai basic dalam dunia bisnis secara bersamaan. Semua ia lakukan agar bisa membuktikan pada dunia kalau dirinya mampu meraih apa yang sudah diincar dari jauh-jauh hari. "Arsene, apa kau ada di dalam?" Terdengar suara ketukan pintu disertai panggilan. Detik kemudian masuk sesosok wanita muda mengenakan pakaian casual. Melangkah maju, mendekati posisi di mana Arsene tengah duduk. "Ada apa, Kimora?" tanya Arsene tanpa menoleh sedikit pun. Tatapan matanya masih terkunci pada lembaran surat yang ada di tangan kanannya. "Papa memanggilmu. Beliau meminta kita untuk makan malam bersama. Aku harap kau tidak menolaknya." Arsene mengangguk. Tanpa banyak berpikir ia langsung bengkit. Kemudian mengekori langkah wanita tadi menuju ruang makan. Di sana, sudah ada Oliver yang tengah duduk menunggu keduanya. Pria itu langsung mempersilakan Arsene agar segera mengambil posisi tepat di depannya. "Duduklah. Miriam sudah memasakkan steak terderloin kesukaanmu. Uncle tahu sejak tadi siang kau belum menyantap makanan sedikit pun. Sebenarnya, apa yang sedang kau pikirkan?" selidik Oliver. Ia bertanya sembari menyodorkan orange juice ke arah pria yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu. Bertahun-tahun merawat Arsene, Oliver sampai hapal apa saja yang menjadi kegemaran hingga segala sesuatu yang anak sahabatnya itu tidak suka. "Aku hanya sedang merindukan Mama dan Papa, Uncle. Sejak beberapa hari yang lalu, aku sering memimpikan mereka berdua," jawab Arsene dengan wajah tertunduk. Raut sendu kentara sekali terukir di wajah tampannya. "It's, Ok, Nak," sahut Oliver. Bagaimana kalau besok pagi kita berkunjung ke makam orang tuamu terlebih dahulu?" "Besok pagi?" ulang Arsene. Mendengar kalimat Oliver, ia langsung mendongak. Menatap dalam wajah sang paman yang begitu tulus. "Apakah itu memungkinkan?" Oliver tersenyum kemudian mengangguk. "Tentu saja. Uncle pikir, pasti ada banyak yang ingin kau ceritakan pada mereka. Lebih-lebih soal pencapaianmu baru-baru ini. Uncle juga yakin, Andrew dan Gracia pasti sangat bangga putra mereka kini bisa bangkit dan menggapai satu per satu cita-citanya." "Paman benar. Aku juga harus menceritakan pada mereka, kalau aku sudah tidak sabar membalas semua perbuatan Raymond." Oliver tersenyum. Ia begitu senang melihat kobaran semangat di wajah pria yang sudah bertahun-tahun dididiknya itu. Segala daya upaya yang sudah Oliver lakukan akhirnya membuahkan hasil yang maksimal. Terlihat dari satu per satu pencapaian yang Arsene dapat baru-baru ini. "Kau juga harus menceritakan kepada Andrew dan Gracia soal rencana pertunanganmu dengan Kimora." Arsene langsung mengangguk. Tidak sedikit pun melayangkan protes ketika Oliver baru-baru ini merencanakan pertunangan antara dirinya dengan putri sematang wayang pamannya tersebut. Ia pikir, mungkin saja menikahi Kimora bisa membayar segala hutang budi yang selama ini Oliver berikan. Arsene bukanlah siapa-siapa kalau pamannya itu yang tidak membantu. Lagi pula, Kimora juga wanita yang baik, pintar, mandiri, serta sopan. Tidak ada yang salah jika dirinya menikahi wanita tersebut. Untuk urusan cinta bisa dibicarakan belakangan. Arsene yakin, lambat laun perasaan cinta pasti akan tubuh dengan sendirinya saat mereka resmi bersama. "Tentu saja. Aku akan menceritakan semuanya pada mendiang Papa dan Mama. Aku juga yakin, mereka pasti akan menyetujui keputusanku ini." Arsene kemudian menoleh ke arah Kimora yang duduk di sebelahnya. Melempar senyum tulus lantas kemudian memilih untuk menyantap makanan yang sudah dihidangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD