Part 2

1024 Words
Aruna menyusuri lorong kos-kosannya dengan tubuh menggigil. Hujan deras yang turun sore ini seperti membantunya menyamarkan luka di hati. Airmata yang terus mengalir sepanjang jalan tertutupi oleh derasnya hujan. Hujan juga seolah berusaha meluruhkan semua dosa yang ada pada dirinya, serta membersihkan tubuh kotornya. Aruna berdiri di depan pintu kamarnya, tangannya bergetar mencari kunci di dalam tote bagnya. "Mana, sih? omelnya saat tak menemukan kunci kamarnya.  "Argh.” Ia menjatuhkan diri di depan pintu kamarnya. Mengeluarkan semua isi tasnya ke lantai. "Simpan kunci aja enggak benar! Pantas jaga diri sendiri kamu enggak becus, dasar bodoh." Ia memaki dirinya sendiri sambil terisak dan mencari kunci di antara barang-barangnya yang berserakkan. "Runa, cari apa?" tanya Petra -penghuni kosan di sebelah kamar Aruna yang kebetulan lewat.  "Diam!" bentak Runa.   Ia buru-buru menghapus lelehan air di pipinya. Petra yang juga sedang membuka pintu kamarnya terkejut. Tak biasanya gadis ramah itu menjadi kasar begini. Ia memandang kondisi Runa dan barang-barang yang berserakan di lantai.  "Dimana sih kuncinya," gumam Runa yang terus meraba semua benda di lantai. "Run, coba cek pot bungamu," ucap Petra lalu ia melangkah masuk ke dalam kamar kosnya. Runa menatap kepergian Petra. Ia lalu memalingkan wajahnya ke deretan pot yang berada pada rak di samping pintu masuk kamarnya. Di atas rak terdapat tiga pot yang berjejer, Runa mengangkat pot pertama dan menemukan kunci kamarnya disana, ditempat biasa ia meletakkannya   Suara air yang mengalir dari kran tersamarkan oleh suara hujan serta petir yang menyambar. Runa dengan membabi buta mengguyurkan air dari gayung ke tubuhnya. Berulang kali, terus menerus hingga tangannya sendiri lelah. Untuk kesekian kalinya selama seminggu ini ia melakukan hal yang sama setiap membersihkan tubuh. Runa benar-benar merasa menjadi wanita kotor, dua bulan ini ia hidup dengan rasa bersalah dan amarah. Hidupnya yang sulit kini semakin sulit. Di tambah dengan kenyataan seminggu yang lalu saat matanya melihat dua garis tertera pada stick sialan itu, jantungnya seakan terlepas dan jatuh ke lantai. Bagi orang lain yang memiliki pasangan sah melihat dua garis merah di benda itu merupakan sebuah anugerah, tapi baginya yang belum bersuami, itu adalah musibah. Ia kembali teringat pagi itu, saat ia melihat pakaiannya berserakan dan disebelahnya tidur seorang lelaki yang ia kenali sebagai tunangan temannya. Ia benar-benar kaget, apalagi saat lengan itu menarik tubuhnya yang hanya tertutup selimut ke d**a bidang yang polosnya. Pagi itu ia memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana ia bisa berada di kamar itu dan sampai sekarang ia tak menemukan jawabannya. Ia masih mengingat dengan jelas saat dirinya pura-pura tertidur ketika pemilik lengan itu terbangun. Sepertinya lelaki itu juga terkejut dengan kondisi tersebut, teriakkan penuh amarah terdengar begitu keras, namun Runa berusaha untuk tetap memejamkan matanya, sampai akhirnya suara tangisan terdengar dan bisikkan lembut permohonan maaf itu terucap tepat ditelinganya. Mendengar apa yang diucapkan si lelaki itu air mata Runa mengalir, entah lelaki itu melihat atau tidak, tapi Runa masih erat menutup matanya.  Mengingatnya membuat Runa marah, ia melempar gayung di genggamannya, gayung yang beradu dengan lantai itu menimbulkan suara berisik di tambah dengan suara jerit tangis yang memilukan, penuh kemarahan dan keputusasaan. Ia meraba perutnya sendiri, mengelusnya pelan lalu meremasnya dengan sekuat tenaga.  “Gugurkan saja” Dua kata yang ia ingat dan mungkin bisa menjadi penyelesain untuk masalahnya. Saran yang terucap dari ayah anak yang di kandungnya. Remasan di perutnya semakin keras, ia akan menuruti kemauan lelaki itu. "Akh," jerit Runa, tangannya kini terkepal memukul-mukul perutnya semakin lama semakin kencang ia meninju perutnya sendiri. "Diam, Runa! Kamu sama bodohnya dengan lelaki ini! Kamu boleh kasih keperawanan kamu sama lelaki ini tapi jangan kamu jual otak kamu! Runa memperlambat tinjuan di perutnya, suara Dini membahana di telinganya. Suara isak tangisnya semakin kencang. Perasaan bersalah muncul di hatinya. "Bodoh! Kenapa aku mendengarkan ucapan setan seperti Irsyad? Dasar lelaki b******k!!" teriak Runa. Ia menunduk, berlutut dilantai dan betapa terkejutnya ia saat melihat tetesan darah di lantai kamar mandinya. "Mama... Mama maafin Runa, Ma." Runa terus bermonolog, jemarinya meraba kemaluanya. Darah itu berasal dari sana. "Runa," teriakkan dari luar terdengar di telinga Runa. Ia masih diam memperhatikan darah di jemarinya. "Run... Runa, kamu di dalam?" suara Petra memanggil  Runa samnil mengetuk pintu kamar Runa.  Gadis penghuni kosan disebelah Runa itu masuk ke kamar Runa karena beberapa kali mendengar jeritan pemilik kamar, pintu kosan yang tidak terkunci membuatnya khawatir  sesuatu tengah terjadi menimpa tetangganya itu. "Kamu enggak apa-apa, Run?" tanya Petra sambil mengetuk pintu berkali-kali. Yang ia dengar jelas hanya suara air, tapi samar-samar terdengar isakan tangis juga dari dalam. "Maafin Runa, Ma. Arrgg... Mama sakit, Ma!" pekik Runa dan membuat Petra kaget.  "Abang! di dobrak aja deh!" pekik Petra pada lelaki yang bersamanya. "Kalau lagi telanjang gimana, Pet?" jawab lelaki itu, wajahnya terlihat panik sekaligus bingung. "Abang dobraknya sambil tutup mata, buruan nanti anak orang kenapa-kenapa di dalam gimana?" perintah Petra.  Ia lalu menyingkir saat lelaki yang dipanggilnya Abang itu mendobrak pintu. Dalam dua kali dobrakan, pintu terbuka menampilkan Runa yang duduk bersimpuh dengan tubuh telanjang sambil menatap ujung jemarinya yang berdarah serta salah satu tangannya yang memegangi perut. "Abang, tutup matanya!" teriak Petra. Ia lalu berlari menyambar sprei yang terpasang di kasur Runa dan masuk ke dalam kamar mandi. Lelaki yang sudah merapatkan kelopak matanya itu semakin erat menutup mata. "Kamu kenapa, Run?" tanya Petra, wajahnya panik sambil menyelimuti tubuh Runa dengan sprei. "Petra! Aku..aku... Darah, Pet," ucap Runa disela isakannya. Petra mengikuti arah pandang Runa dan wajahnya pucat saat melihat darah di jemari Runa."A-a-abang, tolong... tolongin." Petra tergagap, tangannya gemetar saat melihat darah yang bercecer di lantai. "Udah boleh buka mata, Pet?" tanya lelaki itu memastikan. "Udah! Buruan, Bang!" bentak Petra. Lelaki yang di panggil Petra masuk perlahan-lahan. Melihat tubuh Runa yang tertutup sprei ia masuk dan mendekati Petra. "Kenapa ini?" tanyanya. "Tolongin bayi aku," ucap Runa dengan airmata berlinangan. "Hah?!" Petra memekik kaget sedangkan satu-satunya lelaki di sana langsung membopong tubuh Runa. "Petra ambil kunci mobil di tas Abang, cepat!" perintah lelaki yang sudah berjalan ke luar kamar. Petra yang masih berjongkok di kamar mandi hanya diam sambil memegangi kepalanya. "Petra!" teriak si lelaki.  "I-iya," jawab Petra. "Ambil kunci mobil!" "Iya... iya." Petra berdiri dan segera menuju kamarnya. Si lelaki yang membawa tubuh Runa sudah setengah berlari menuruni tangga.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD