Part 3

1268 Words
Gendis duduk memangku tas bermerknya, jarinya meremas tali tas itu. Amarahnya sudah tak terukur, kekecewaannya begitu besar. Di sampingnya duduk seorang lelaki yang  ia kenal sejak dua tahun lalu. Lelaki yang dua bulan lalu meminangnya di hadapan para tamu disebuah hotel berbintang itu terus menjelaskan hal-hal yang menyakiti hatinya. "Kamu harus percaya sama aku, Ndis." Sekali lagi lelaki itu mengatakan hal yang sama. "Syad, aku mau percaya sama kamu, tapi gimana aku bisa percaya kalau aku dapat foto-foto ini," ucap Gendis  sambil melemparkan beberapa foto dari tasnya ke atas meja. Irsyad diam memperhatikan lembaran foto itu dengan wajah tak percaya. Apa-apaan ini, pikirnya. Foto-foto itu menampilkan dirinya yang sedang berciuman dengan seorang  gadis, berhimpitan di tembok yang Irsyad tahu merupakan lorong hotel tempat pertunangannya digelar beberapa bulan yang lalu. "Kamu dapat darimana foto ini!" bentak Irsyad sambil merobek salah satu foto itu yang menampilkan dirinya sedang memegang salah satu bagian sensitif perempuan itu. "Ada yang kirim ini ke rumah, kalau Mama lihat bisa kumat penyakit jantungnya," ucap Gendis dengan mata berkilat penuh rasa kesal. "Jadi kamu masih mau mengelak, Syad?" lanjutnya. "Iya aku yang ada di foto itu, tapi belum tentu anak yang dia kandung itu anakku, Gendis." Irsyad meremas rambutnya sendiri, terlihat ia semakin frustasi. "Aku tahu Runa, Syad! Dia gadis baik-baik..." "Gadis baik-baik enggak  mungkin kerja di bar, Ndis!" sela Irsyad membuat Gendis memutar bola matanya. "Dia bekerja di sana untuk memenuhi kebutuhannya, uang kuliahnya juga ia bayar dari kerja di bar!" bentak Gendis yang tak terima temannya di cap buruk oleh Irsyad. "Kamu pikir gaji bekerja di bar besar, Ndis? Bisa untuk membayar uang kuliah jaman sekarang yang nominalnya besar? Kamu pikir dong, Ndis! Dia pasti juga terima job sampingan disana," ucap Irsyad dengan emosi hingga urat-urat dilehernya terlihat jelas.  Plakkk Tamparan kembali mendarat di pipi Irsyad. Hari ini dalam kurun waktu kurang dari dua jam pipinya sudah mendapat delapan tamparan. Sekali lagi dia bisa mendapatkan tiga piring cantik. "Jangan mengelak lagi, Syad! Cukup sudah kamu menghina Runa, dia ibu dari anak kamu," ucap Gendis membela Runa. "Kenapa sih kamu itu malah bela dia, kamu harusnya bela aku! Aku ini tunangan kamu, Ndis!" bentak Irsyad. Gendis berdecih. "Tunangan kamu bilang," bentak Gendis sambil melepas cincin pertunangan mereka berdua. "Aku yang akan jelasin semua ke orang tuaku, kamu enggak perlu khawatir," ucap Gendis sambil memberikan cincin ke telapak tangan Irsyad. "Gendis, maksud kamu apa?" tanya Irsyad, wajahnya kaget menerima cincin itu apalagi saat Gendis sudah berbalik badan hendak meninggalkannya. "Irsyad,” teriakkan dari dalam membuat langkah Gendis berhenti. Begitu juga Irsyad yang akan mengejar Gendis. "Mas... Bapak Mas tolongin, Mas." Warti yang menjadi asisten rumah tangga di kediaman Tama Rahendra sejak lama tergopoh-gopoh berlari menuju Irsyad. "Papa kenapa, Bu?" tanya Irsyad panik. "Irsyad," teriakan itu terdengar lagi, Irsyad langsung berlari saat mendengar Mamanya berteriak. Gendis yang mengikuti dari belakang tak kalah paniknya dengan Irsyad. "Papa kenapa, Bu?" tanya Gendis pada Bu Warti yang berjalan beriringan dengannya. "Jatuh, Mbak! Di kamar mandi kepleset sepertinya, kepalanya berdarah tadi saya lihat," jawab Bu Warti, gurat khawatir juga terlihat di wajah wanita paruh baya .   "Bang, gimana ini?" tanya Petra pada Salman, Abangnya. "Ya kita bawa ke rumah sakit," jawab Salman sambil mengendarai mobilnya. Laju mobil terhenti saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah, menghambat perjalanan mereka, Petra yang memangku kepala Runa memaksa Salman menerobos lampu merah karena ia sudah tidak tahan melihat bercak darah menembus sprei yang di pakai untuk membelit tubuh Runa. "Abang enggak mau mengeluarkan uang cuma buat bayar tilang. Sabar, sebentar lagi juga lampunya hijau," ucap Salman, sesungguhnya ia juga tidak sabar menunggu pergantian lampu lalu lintas itu. "Gue pusing, Bang," rengek Petra yang wajahnya sudah pucat pasi sama seperti Runa. "Jangan pingsan, Pet! Jangan nambah-nambahin kerjaan gue!" bentak Salman. Petra berusaha menahan rasa takutnya, gadis yang takut darah itu kini menarik napas panjang secara teratur untuk menenangkan diri sendiri. Tapi bukannya tenang, kini Petra malah menangis sesenggukan. Salman yang sudah melihat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau dengan cepat menginjak rem dan meningkatkan kecepatan mobilnya. "Pet, dengerin Abang! Jangan pingsan sekarang, nanti aja kalau udah sampai rumah sakit terserah lo mau pingsan atau mau tidur di UGD juga boleh!" bentak Salman. Tak ada sahutan, dengan kecepatan tinggi Salman tak mungkin mengalihkan pandangannya, ia harus fokus agar mereka tidak masuk UGD berjamaah. "Lo denger gue enggak, Pet!" bentak Salman sekali lagi. Ia sengaja berkata dengan suara lantang agar Petra tetap terjaga. "Iya gue dengar, Bang!" bentak Petra lebih lantang. Senyum Salman terbit saat yakin adiknya baik-baik saja. Buktinya gadis itu masih memiliki tenaga untuk meneriaki kakaknya. Sampai di rumah sakit, seorang security menghampiri mobil Salman yang terparkir tepat di depan UGD. "Bisa bangun enggak pak pasiennya," tanya security yang diketahui namanya Ardi dari tulisan di seragamnya  "Boro-boro, Pak! Minta tempat tidur, Pak," jawab Salman yang meminta bed untuk pasien. Runa sudah berpindah tempat, tubuhnya yang lemas dan wajah. pucatnya membuat Petra dan Salman cemas. Mereka mengikuti perawat yang membawa masuk Runa masuk ke dalam UGD.   "Runa?" Gumam Gendis saat melihat seorang wanita di atas bed yang didorong oleh petugas kesehatan. Gendis mengikuti kemana gadis itu di bawa, ia bertanya pada seorang gadis yang terlihat cemas dan terus memainkan jemarinya sendiri. "Maaf, boleh saya tahu nama Mbak yang tadi?" tanya Gendis pada Petra. Petra terlihat binggung melihat Gendis yang tak ia kenali. "Mbak, siapa?"tanyanya curiga. "Eng... wajahnya mirip teman saya... namanya Runa," jawab Gendis. "Mbak, kenal Runa? yang di dalam itu Runa." jawab Petra antusias, Salman yang berada di sampingnya sampai membekap mulut Petra. "Berisik," omelnya dengan mata melotot. "Dia kenapa?" tanya Gendis berbisik panik "Enggg… enggak tahu, Mbak," jawab Petra. Ia takut salah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Runa. Ia memilih tidak ikut campur dan pura-pura tidak tahu, karena sebenarnya ia juga tak tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Dokter keluar dari balik tirai tempat Runa di periksa, ia menuju meja perawat, Gendis langsung mengejar sang dokter untuk menanyakan keadaan Runa. "Anda keluarganya?" tanya dokter tersebut. "Iya, Dok. Apa yang terjadi dengan adik saya?" tanya Gendis dengan wajah penuh ingin tahu. "Ibu Runa mengalami perdarahan untung segera dibawa ke rumah sakit, kehamilannya masih bisa di pertahankan tapi saya sarankan untuk di rawat agar bisa kami pantau, karena khawatir terjadi perdarahan kembali," jelas sang Dokter. Gendis yang mendengar sangat terkejut, ia sudah menduga ada hal buruk terjadi. Perdarahan? Tadi perempuan itu baik-baik saja. Kenapa bisa perdarahan? Ia kelelahan atau jangan-jangan… Gendis segera berlari ke tempat Runa berbaring tanpa mengucapkan terima kasih pada dokter yang sudah menjelaskan, sang dokter hanya menggelengkan kepala mendapat perlakuan tak sopan Gendis. "Runa," panggil Gendis setelah berdiri di samping tempat tidur Runa. Runa masih berada di UGD, Salman sedang mengurus rawat inap Runa, sedangkan Petra ia pergi entah kemana. "Gendis?" Runa bingung dengan kehadiran Gendis. Darimana dia tahu aku ada disini? Runa mencoba bangun dari tidurnya, ia merubah posisinya, kini perempuan itu duduk bersandar untuk menghargai keberadaan Gendis. Plak. "Kenapa kamu lakuin perbuatan itu," teriak Gendis. "Mama sudah bilang, Runa, kamu jangan jadi orang bodoh! Kamu apain kandungan kamu, hah! Kamu apain anak Irsyad, Runa!" Gendis terus berteriak dan membuat kegaduhan. "Eh... Mbak sabar, Mbak… nyebut, Mbak," Salman datang dengan wajah terkejut melihat wanita dengan linangan airmata yang terus mengguncang tubuh Runa. Sedangkan Runa hanya pasrah, airmatanya tak kalah deras dengan Gendis. Salman berinisiatif untuk menjauhkan Gendis dari Runa, namun sayangnya tenaga wanita itu benar-benar kuat. Salman bukannya lemah, buat apa dia nge-gym tiga hari sekali kalau tidak bisa mengatasi hal kecil seperti ini, tapi ini wanita. Ia takut salah dan menyentuh bagian-bagian sensitif "Kamu harus pertahanin bayi kamu, Runa! Tolong demi Irsyad! Jangan sia-siakan pengorbananku Runa!" bentak Gendis. bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD