Pelarian Ariana

2156 Words
"Ayah khawatir jika k!akak pergi jauh, itu akan membuat kakak sulit untuk kembali lagi ke sini. Apalagi kakak sudah meminta sponsor sama Om Ilyas untuk bekerja di rumah sakit di sana. Kalau cuma mau ambil spesialis, di sini juga bisa tanpa harus ke Jakarta Kak..." ucap Pak Yanuar dengan nada membujuk tapi terselip juga rasa khawatir, dia sedang bicara empat mata dengan putri sulungnya, Ariana. "Aku mau mencoba pengalaman baru di Jakarta Yah," jawab Ana, sambil menunduk. Bohong! "Kakak bukan cari pengalaman baru, tapi kakak menghindar dari Reyhan kan?" Tidak sepenuhnya benar, harusnya lebih spesifik lagi, yaitu Reyhan dan wanita ular itu. Pertanyaan ayahnya barusan membuat d**a Ana berdegup tidak normal, matanya mengerjap menutupi gugupnya atas tuduhan yang disampaikan ayahnya secara gamblang. Memang rasa sakit hatinya belum hilang, bahkan bisa saja tidak akan pernah hilang, yang namanya luka pasti berbekas kan? Kalau luka di luar, bisa saja dia menjalani bedah plastik supaya terlihat sempurna lagi, kalau bekas luka dihati bagaimana? Tapi ini bukan perkara dia belum move one dari laki - laki b*****t penyebab luka hatinya yang masih membekas sampai sekarang ini, tapi dia sungguh membenci sosok pria yang disebut ayahnya tadi, bisa nggak sih kalau makhluk itu dianggap tidak ada saja? Lagi pula ini sudah dua tahun berlalu, lagi pula dia juga sudah menikah dengan perempuan yang mungkin cita - citanya dari bayi adalah merebut tunangan sahabat. Sahabat? Ciih! Ariana tidak akan pernah mengakui bahwa dia pernah punya sahabat seperti itu, tidak akan! "Yah, udah dong jangan sebut - sebut yang sudah lewat, Aku cuma mau mengejar ilmu supaya bisa jadi dokter spesialis yang terbaik, Aku cuma mau bikin Ayah dan Ibu bangga sudah mempunyai anak seorang Ariana, juga kakak yang memberi contoh yang baik buat Mihra dan Indha dengan sekolah yang tinggi di tempat yang terbaik." Sebenarnya contoh yang baik seperti apa sih yang akan Ana berikan kepada mereka, kabur ke Jakarta dengan dalih mencari ilmu di tempat yang terbaik maksudnya? Oh Come on Ariana .... USU kurang bagus apa pendidikan kedokterannya? Orang pintar memang kadang susah mencari alasan yang indah. "Selama ini aku juga sudah membuat Ayah dan Ibu malu dengan pilihanku yang salah dulu, pada akhirnya kalian jadi pembicaraan semua saudara, maaf Yah." Ana tertunduk, dia sedih sekaligus malu kalau mengingat pertunangan yang dihadiri banyak keluarga itu harus kandas gara - gara perselingkuhan, mirip wanita dicerai suami yang diambil pelakor rasa patah hatinya. Untung bu Deswita tidak ikut dalam pembicaraan ini, karena biasanya setelahnya Bu Des, begitu panggilan ibunya, pasti akan menangis, menyesali nasib anak perempuan paling besar keluarga ini yang bernasib kurang baik dibandingkan dua adik - adiknya untuk urusan percintaan. Dua adik kembarnya Mihranda dan Maulindha yang berjarak lima tahun dibawahnya memang selalu menjadikannya patokan dalam menempuh pendidikan, masuk di TK, SD, SMP, SMA yang sama, mereka akan selalu di cap anak pintar seperti kakak mereka yang meninggalkan jejak sebagai ketua Osis, Paskibra, pemenang Olimpiade matematika tingkat Propinsi, siswa Akselarasi, aktif berorganisasi, cantik, santun dan sering menjadi penerima tamu dari sekolah asing yang mengunjungi sekolah mereka, dia sudah biasa mewakili siswa yang lain karena kemampuan bahasa inggris dan public speaking-nya yang sangat baik. Kisah cintanya dengan Rayhan pun sempat dijadikan contoh kisah romansa yang sempurna buat kedua adiknya itu, sesama mahasiswa kedokteran tahun terakhir yang menjalin hubungan percintaan yang sangat serius dan sempat tunangan saat akan berakhirnya masa co-ass dengan harapan setelah Internship mereka akan menikah. Ternyata kesempurnaan memang hanya milik Allah, mungkin kalau mereka sampai menikah, terlalu sempurna hidup Ariana, selalu terdepan dan tidak pernah masuk fase kehancuran seperti saat Rayhan ketahuan selingkuh dan tertangkap basah sedang berciuman dengan Yuli di ruang praktek dokter saat Internship. Ana hancur! Mihra dan Indha sempat diminta Ana untuk stop menjadikannya contoh lagi, tapi adik - adiknya itu justru menjadikan kisah kakak mereka sebagai pelajaran bahwa laki - laki baik bisa saja berubah menjadi penjahat ketika ada godaan datang, godaan yang datang bahkan dari circle wanita itu sendiri yang bertopeng 'sahabat', ah sadis! "Dok ... mau dipesankan makanan?" suara Suster Dian mengusik lamunan Ana yang baru saja membawanya ke masa lalu. "Eh ... nanti aja deh, saya juga mau ke cafetaria tapi setelah sholat dzuhur aja," jawab Ana lalu mengalihkan lagi pandangannya ke ponsel, dr. Susi temannya di Medan baru saja mengirimkan foto kegiatan reuni kecil angkatan mereka di rumah dr. Parlin Situmorang, SpJ yang memang luasnya seperti lapangan bola di pinggiran kota Medan. Ana tentu saja diundang dan diharapkan kedatangannya, tapi dia tak akan pernah menghadiri acara itu lagi selama pasangan selingkuh itu hadir, Tidak akan pernah! Firasat seorang ibu itu jarang sekali meleset, ibunya menelpon disaat yang tepat, saat Ana baru saja meletakkan ponsel setelah menghapus foto kiriman Susi tadi karena ada foto manusia tidak pantas ada di gallery ponsel mahalnya dan dia sedang menyiapkan diri untuk keluar ruangan, 'My Ibu' begitu namanya disimpan Ana dalam kontak di ponselnya tampak muncul disertai getaran karena ponsel Ana masih dalam mode getar dan silent saat dia praktek tadi. "Halo bu .." "Kaak ... kakak lagi ngapain, sudah selesai praktek kan?" Ana tersenyum karena mendengar suara ibunya yang terdengar ceria, berarti ibunya sehat - sehat saja. "Sudah bu, baru lima belas menit yang lalu." "Sudah sholat kakak?" "Belum bu, ini baru mau sholat, abis itu makan siang, visit pasien trus pulang." "Ibu baru selesai masak Arsik ikan mas, tiba - tiba teringatnya ibu sama kakak ... biasanya kalo kakak makan ikan ini, pasti ibu yang pisahkan duri - duri halusnya soalnya kakak nggak pintar makan ikannya, ingatkan pernah ketulangan waktu SD dulu?" Ana tertawa, jelas saja dia ingat, sempat trauma makan ikan mas, tapi ibu nya menawarkan solusi dengan membantunya menyisihkan duri - duri halusnya sehingga Ana bisa menikmati lagi makan Arsik ikan mas, masakan favoritnya. "Ingat bu, aku masih suka takut ketulangan makan ikan mas, kecuali ibu yang nyiapin." "Makanya ... kakak pulang aja, nggak usah jauh - jauh kali dari ibu .." Nah kan, mulai lagi. Sudah delapan tahun dia di Jakarta, tidak bosan - bosannya ibu membujuknya untuk kembali pulang. "Ya nanti kan lebaran aku pulang bu. Eh Indha gimana, sudah jadi periksa dia?" menanyakan keadaan adiknya yang sudah telat haid adalah pengalihan yang bagus, sebenarnya dia sudah menelpon dan mengecek keadaan adiknya langsung tadi pagi, kalaupun dia bertanya lagi sekarang hanya basa basi saja, maksudnya supaya ibu jangan membahas soal pulang ke Medan lagi. "Dapat jadwal sore nanti, sekalian nungguin Brian pulang kerja," jawab bu Des. "Owh gitu. " "Kak, ibu mau ke tempat Muimui, rasanya, kangen kali." "Ya udah pergi aja ... Singapore kan dekat dari Medan, yang penting ayah izinkan. Trus praktek ibu cemana?" "Ya paling ibu berangkat sabtu pagi trus Senin siang pulang. Bukan praktek yang ibu pikirkan, tapi ayah ... harus ibu ajak supaya dia nggak telponin setiap detik nyuruh ibu pulang." Ana tertawa, ayahnya memang parah bucinnya. Pak Dekan itu sampai menyuruh istrinya praktek dokter umumnya di rumah saja supaya istrinya tidak kemana - mana, dan ibunya itu termasuk wanita yang banyak bersyukur, setidaknya dia masih diizinkan kerja oleh suaminya walau tetap di rumah, dia hanya perlu mengganti daster dan memakai Snelli tanpa harus menembus macetnya kota Medan. "Ayah sibuk nggak Senin? Atau Mihra suruh pulang sebentar. Mark katanya minggu depan mau perjalanan bisnis ke Vietnam tiga hari." "Mihra bilang sama kakak?" "Iya, kemarin aku video call sama dia sambil lihat Muimui." "Nanti ibu tanya deh," suara ibunya bersemangat. Mihra menikah dengan Mark Siregar, kakak kelasnya dulu. Ketika mereka menikah, Mark sudah bekerja di Singapore, jadi setelah menikah dia langsung memboyong Mihra ke sana, dan melahirkan di sana. Anak mereka Ryan Muzzaini kerap dipanggil Muimui karena wajahnya yang tampan tampak lucu kalau habis dijemur pagi, ada semu merahnya dan menambah keimutannya, makanya panggilannya juga imut, Muimui. "Pasien ibu banyak pagi ini?" "Lumayan kak, sepuluh orang." "Alhamdulillah, pantas ibu sempat masak ikan Arsik." "Iya, ayah juga mau pulang buat makan siang, balik ke kampus lagi jam dua nanti, ada meeting sama pak rektor katanya." "Ngapain bolak balik sih, ibu suruh Rudi aja ambil ke rumah terus antar ke kampus kalo ayah mau makan masakan ibu." Rudi itu supir ayahnya. "Ckk ... ikan mas itu hanya alasan ayah untuk pulang biar ketemu ibu kali kaak..." Ana tertawa, memang boleh ya sudah tua sebucin itu? *** "An ..." Ana menoleh dengan panggilan itu. Di rumah sakit ini, cuma Arkana yang memanggil dengan nama kecilnya. Dulu, waktu masa co-ass-nya baru dimulai, tentu saja mereka memakai panggilan formal. 'Dok'... lalu ketika makin akrab, berubah sedikit jadi 'mbak'. Tapi sejak enam bulan terakhir, mereka semakin dekat. Tentu saja panggilan menyesuaikan, hanya memanggil nama kecil, An, lalu Ana memanggil Arkana tetap dengan Kana saja, tidak pernah berubah. Mereka ini tidak pacaran, hanya merasa nyaman dengan hubungan tanpa status ini. Dibilang teman biasa kok ya rasanya tidak tepat juga, perhatian dan intensitas pertemuan mereka di luar kerjaan itu mengalahkan teman, bahkan sahabat. Setiap weekend pasti mereka jalan berdua, kadang ke Bogor hanya karena ingin makan sup buntut enak, kadang cuma sampai Cimanggis saja karena ingin makan ikan Patin bambu. O ya, yang jauhan sedikit juga sudah pernah,. Waktu itu mereka ke Bandung tapi tidak menginap karena ada konser Tulus di sana. Konser mulai jam dua siang sampai hampir tengah malam, itu mereka jabanin berangkat jam delapan pagi dan pulangnya jam sebelas malam dari Bandung. Tidak ada capeknya, mereka malah happy seperti dua remaja yang sedang mendapatkan kebebasan. "Baru makan?" Kana menarik kursi di depan Ana lalu duduk sambil melipat tangannya di atas meja, mirip sikap Upin Ipin dan teman-teman sewaktu cikgu masuk kelas. "Iya, tadi mau ke sini abis sholat, nggak tahunya ada pasien yang masuk tadi pagi sudah siap partus, pembukaan hampir lengkap, jadi aku ke sana dulu. Pas selesai dan karena tanggung sudah di lantai atas, sekalian aja aku visit dulu, makanya aku baru makan," jawab Ana lalu menyuapkan nasi dan satu potong kecil daging di atasnya. Sekarang sudah jam tiga sore, wajar kalau Kana bertanya-tanya melihat Ana baru makan. "Kamu udah makan?" Ana balik bertanya. "Udah dari tadi, ini lagi mau buat laporan abis ikut operasi dokter Timoty tadi pagi," jawab Kana sambil melambaikan tangannya pada pelayan, dia mau pesan minuman dingin."Mau nambah minum nggak?" tanya Kana yang melihat gelas tinggi Ana sudah tinggal setengah. "Nggak usah, makasih," jawab Ana lalu melanjutkan makannya yang tinggal sedikit.Tidak banyak orang lalu lalang, bukan jamnya makan siang, jadi hanya ada beberapa pasien mungkin sedang mengantri Poli atau penjaga pasien yang sedang dirawat dan baru sempat makan siang. Jadi, Cafetaria ini bisa dikategorikan sedang sepi. Kana hanya memperhatikan Ana yang sedang menghabiskan makanannya, hingga akhirnya terdistraksi saat jus pesanannya datang. "Mau nungguin aku nggak pulangnya?" tanya Kana lalu menyedot jus kedondong pesanannya dengan ekstra es. Ana mengusap bibir pinknya dengan tisu yang dia ambil dari kotak tisu yang ada di sebelah kanannya."Aku bawa mobil." "Di tinggal aja di sini." "Ya nggak bisa, nanti malam kalau ada pasien yang mau partus, aku naik taksi gitu?" "Ya udah pake mobil kamu aja, nanti mobil aku biar dibawa Dean pulang." "Ya bisa kalau begitu. Memangnya ada rencana kemana?" "Nggak kemana - mana, nongkrong aja di apartemen kamu, aku mau nyobain mesin kopi itu lagi," jawab Kana. Minggu lalu Kana membeli mesin kopi dan diletakkan di apartemen Ana, katanya tempat cocok buat ngopi ya di unit apartemen Ana. beberapa hari yang lalu dia coba memakainya, tapi sayangnya belum sempurna, makanya dia penasaran mau mencoba lagi, kalau gagal lagi, sepertinya dia perlu les Barista. "Bawa mobil masing-masing aja kalo gitu, kamu juga jadi enak pulangnya nanti. Aku pulang duluan aja." "Katanya mau nungguin?" "Tadi aku pikir kamu mau ngajak kemana gitu, kalau cuma ke apartemen, ya nggak usah bareng juga kali, kamu nyusul aja." Kana menggeleng, "Aku lebih senang kalo ditungguin dan pulang bareng, kan ada temannya ngobrol di mobil." Memang dasar Kana, mentang-mentang mbak-mbak dokter ini mudah luluh, di manfaatkan kesempatan ini seluas-luasnya. "Oke .. oke, aku tungguin di ruangan ku." "Nah kan enak." "Enak apaan?" "Enak deal-deal-annya," cengir kemenangan Kana pamerkan dan membuat Ana menggelengkan kepala. "Kok kamu tahu aku di sini?" tanya Ana yang kebiasaan sering meninggalkan ponselnya di dalam tas setelah menolong pasien yang melahirkan. "Tadi aku ke ruang bersalin, katanya kamu pamit makan." Pasti Kana bertemu suster Indri, karena tadi Ana cuma pamit sama Indri. "Minggu depan, kamu bisa temenin aku nggak?" " Mau kemana?" tanya Ana. "Basket di Serpong." "Jauh ya.." Ana menanggapi sambil tertawa. "Nggak tahu tuh anak - anak, ngajaknya ke sana, dekat Ikea katanya." "Nggak deh, nanti aku cengo' sendirian ... nggak kenal sama siapa - siapa." "Eh Heloooow, yang ngajak kan aku ... apa kita perlu kenalan dulu?" Ana tertawa. "Ya nggak gitu juga, kamu pergi sendiri aja deh ... aku mau leyeh - leyeh aja di apartemen, panggil tukang pijit kayaknya enak juga." Bukannya Ana tidak suka acara basket, dia dulu sering jadi tim teriak dan hore - hore, kalo sekarang dia menemani Kana, lebih mirip ibu - ibu nganterin anaknya basket nggak sih ketimbang member cheerleader? "Nggak jadi deh." putus Kana. Lah, dia ngambeg?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD