Missing Raka

1489 Words
Tanpa Calista maupun Ben sadari, sejak tadi ada seseorang yang terus memperhatikan dari kejauhan. Pria itu mengepal erat tangannya. Napasnya memburu. Hati pria itu juga terasa sakit tatkala melihat gadis yang dia sayangi berpelukan dengan pria yang sangat dia percaya. Segera saja dia merogoh saku celana. Meraih ponsel untuk menghubungi seseorang. “Gue ke sana sekarang dan … gue terima tawaran kalian.” Kemudian, pria itu pun berbalik. Langkahnya gontai saat keluar GLM. Bukan hanya itu saja, hati pria itu juga remuk redam. ***** Kesibukan yang tidak ada hentinya di restaurant membuat Calista melupakan Raka, berikut janjinya pada Ben untuk membelikan bahan makanan di apartemen pria itu. Hingga satu minggu berlalu, gadis itu menemukan keanehan saat tengah berbelanja di supermarket. Dengan dua kantong besar belanjaan, Calista berjalan pelan menuju apartemen Ben. Gadis itu terus berpikir keras mengenai kejanggalan yang dia rasakan. Sampai akhirnya, wajah Raka yang muncul di kepalanya berhasil menjawab pertanyaan di kepalanya. “Ben,” teriak Calista setelah berhasil memasukkan kode pintu apartemen Ben. Menyadari tidak ada jawaban apapun dari dalam, pria itu jelas masih berada di rumah sakit. Perlahan, diletakkannya belanjaan di kabinet. Kemudian, meraih ponsel untuk menelepon sahabatnya itu. “Aku di apartemenmu. Cepat pulang!” perintah Calista saat mendengar suara Ben di ujung sana. Lalu, memutuskan panggilan begitu saja. Calista sedang tidak ingin berbasa-basi. Mendadak bayangan Raka memenuhi kepala gadis itu. Tidak biasanya Raka seperti ini, menghilang tanpa kabar. Lebih anehnya lagi, sama sekali tidak ada kehidupan di media sosial pria itu. Sembari menata belanjaan di dapur. Bolak-balik antara kulkas dan juga kabinet, Calista berusaha keras menghubungi Raka. Meneleponnya berkali-kali, tapi tidak pernah dijawab. Pesan singkat pun malah menunjukkan ponsel Raka tidak aktif sekarang. Pusing. Niat gadis itu untuk memasakkan makan malam untuk Ben pun sepertinya batal sudah. Bunyi seseorang memasukan kode pintu, sontak menarik perhatian Calista. Gadis itu mendongak. Terlihat Ben berjalan pelan memasuki unit. Wajah pria itu terlihat lelah. Kemeja putih yang dia kenakan pun tampak kusut. Dasi yang biasa dia gunakan tidak lagi terpasang di sana. “Hi, Angel,” panggil Ben seraya melempar tas kerjanya begitu saja. “Ben,” balas Calista. Dia sedikit memaksa senyum kali ini. “Kau … mau makan malam apa?” Ben mengernyit, terlihat berpikir. “Bagaimana kalau nasi goreng jawa ala Calista? Sudah lama kau tidak memasakan itu untukku.” Tanpa membantah, Calista mengangguk setuju. Ben baru saja sampai, jadi dia tidak ingin membahas Raka. Setidaknya sahabatnya itu butuh beberapa saat untuk beristirahat dan berbenah, barulah membahas mengenai Raka. Sementara Calista sibuk menyiapkan makan malam, Ben masuk ke kamar. Setengah jam berlalu, saat dia hendak menghidangkan makan malam di piring, Ben telah kembali bersamanya. Pria itu sudah duduk di stoll bar sembari berpangku tangan. Tatapan pria itu tertuju lurus pada Calista. “Ben, jangan melamun,” tegur Calista sembari menuangkan seluruh nasi goreng ke atas piring. Pria itu meringis. “Hanya sedang membayangkan, jika saat ini kau adalah istriku. Aku akan selalu makan enak setiap hari dan tidak akan membeli lagi makanan dari luar.” Wajah Calista bersemu merah. Meskipun bukan sekali dua kali Ben berkata seperti ini, nyatanya dia belum terbiasa. “Apaan sih, Ben!” Ben terkekeh pelan. Calista dengan segera menghidangkan makanan di meja bar. Gadis itu segera mengambil tempat tepat di sisi Ben. Baru saja gadis itu hendak menyuapkan makanan ke mulut, tiba-tiba Ben kembali bersuara, “Kau … sudah menghubungi dia?” Calista mendesah panjang. Rasa laparnya mendadak hilang. “Dia menghilang. Aku sudah coba untuk meneleponnya sejak tadi, tapi tidak bisa. Pesan pun tidak terkirim.” “Wow!” Ben tampak terkejut. “Kukira hanya aku yang merasa Raka … menghilang.” “Raka … benar-benar menghilang?” Ben mengangguk. “Angel, sudah hampir seminggu ini kami tidak bertemu. Beberapa operasi yang harus dia tangani pun dilimpahkan ke orang lain. Aku bertanya-tanya pada dokter yang menggantikannya, mereka tidak tahu ke mana Raka pergi. Kukira kau mengetahuinya, karena Calista, seorang Raka selalu jujur kepadamu.” Ekspresi Calista seketika berubah. Dia mulai mengkhawatirkan sahabat yang dia cintai itu. “Angel, are you okay?” Calista menggeleng pelan. “Not really, Ben.” Tubuh Ben perlahan berputar menghadap Calista. Keduanya kini duduk saling berhadapan. Perlahan, pria itu menggenggam tangan Calista. “Hey, Raka sudah besar. Dia akan baik-baik saja.” “Ben.” Tiba-tiba suara Calista terdengar parau. “Aku merasa ada yang tidak beres. Raka tidak pernah seperti ini. Perasaanku juga merasakan hal buruk akan terjadi, Ben.” Segera saja Ben menarik Calista ke dalam pelukannya. Diusapnya punggung gadis itu dengan lembut. Selain pelukan sang kakak, pelukan Ben adalah pelukan terbaik dan juga menenangkan. “Semua akan baik-baik saja, Angel. Percaya padaku, okay?” Lagi-lagi Calista hanya bisa mengangguk. Di dunia ini, Ben adalah salah satu orang yang bisa dia percayai dan dia andalkan. Maka, kali ini dia pun mempercayai pria itu sepenuh hati. ***** “Angel,” tegur Ben saat menemukan Calista tengah melamun sembari memperhatikan jalanan. Perlahan, gadis itu menoleh. Kernyitan pada alisnya sebagai jawaban. Ben mendesah panjang, sembari meliriknya bergantian dengan jalanan di depannya, “Are you okay?” “Ya ….” Ben termenung mendengar jawaban Calista. Gadis itu terdengar tidak yakin, apalagi dirinya. Pria itu pelan-pelan menaikan kecepatan mobil. Mereka harus segera sampai apartemen Raka untuk menemui pria itu atau setidaknya jawaban mengenai keberadaannya. Hampir satu jam, akhirnya mobil memasuki kawasan apartement elit yang berada di tengah kota. Dihentikannya mobil di depan valet parkir. Kemudian, menggiring Calista memasuki apartemen. “Tenanglah, Angel,” bisik Ben sembari menggenggam kuat tangan Calista. Tidak ada jawaban apa pun dari gadis itu. Dalam diam mereka beriringan menuju unit Raka. Sesampainya di sana pun, unit tertutup rapat. Bel apartemen yang Ben bunyikan, sama sekali tidak mendapatkan respon apa pun dari si pemilik. Calista menggeleng. Gadis itu terlihat semakin putus asa. “Percuma, dia tidak ada di sini.” Sayang, Ben tidak menyerah. Pria itu terus membunyikan bel apartemen sekalipun tahu tidak ada jawaban. Hingga, dia teringat sesuatu. “Angel, kau kan tahu password apartemen Raka.” “Ben, itu tidak sopan!” “Hey.” Ben menarik Calista agar menatapnya. “Kau kan selalu masuk ke apartemenku tanpa izin, kenapa kalau ke apartemen Raka kau harus izin? Angel, kita harus masuk dan mencari tahu jawabannya.” Dalam satu tarikan napas, akhirnya Calista mengangguk patuh. Gadis itu dengan cepat memasukan password apartemen Raka. Saat melihat kodenya, seketika Ben berdecak kencang. “Yang benar saja! Bagaimana password kami sama-sama menggunakan tanggal lahirmu?” Calista mengangkat bahu sembari membuka pelan pintu unit, “Entahlah. Kalau kau Ben, mungkin karena kau menyukaiku. Kalau Raka, mungkin karena hanya ulang tahunku yang dia ingat. Tidak ada yang bisa memahami logika seorang Caraka, bukan?” Ben mengangguk setuju. Begitu pintu terbuka, mereka segera berjalan cepat menuju kamar Raka. Namun, saat pintu kamar itu tertutup rapat. Seketika Ben merasa sangat kesal. Pria itu bahkan memukul keras pintu tersebut. “Sial! Dia bahkan menutup rapat kamar ini! Ke mana perginya manusia itu!” Sementara Ben marah-marah, Calista bergeming di tempatnya. Dia menatap sendu pintu. Kepala gadis itu pun bertanya-tanya, ke mana perginya sang sahabat yang sangat dia cintai itu? ***** Sudah hampir dua minggu Raka menghilang. Semua pesan yang Calista kirim tidak pernah dibalas. Bahkan, panggilan pun selalu berakhir dengan jawaban operator. Harusnya, dia bisa saja bertanya pada keluarga Raka yang notabennya adalah para direksi rumah sakit tempat pria itu bekerja. Namun, mereka juga menghilang seperti pria itu. Kini, gadis itu hilang arah. Bingung ke mana lagi mencari sahabatnya itu. Dia menatap nyalang langit-langit kamar. Kepalanya penuh dengan pertanyaan mengenai Raka. Seumur hidup mengenal Raka, baru pertama kali ini Raka menghilang. Perlahan, diraihnya ponsel di nakas. Jam menunjukkan pukul 1 malam. Badan gadis itu pegal-pegal, mengingat restauran ramai sepanjang hari. Sayangnya, hal itu tidak membuat Calista mengantuk. Otak gadis itu pun tidak bisa berhenti bekerja sekarang. Sekali lagi dia mencoba menelepon Raka. Sekali lagi pula, panggilan berakhir tanpa jawaban. Hingga, ponsel itu kembali bergetan. Hanya saja nama Ben lah yang ada di layar, bukan Raka. “Hi,” sapa Calista. Ada sedikit perasaan kecewa karena penelepon bukan orang yang dia harapkan. “Belum tidur?” Calista menggeleng pelan. Dia mendesah panjang saat menyadari bahwa Ben tidak bersamanya, “Belum. Nggak ngantuk.” “Kau masih memikirkannya, Angel?” “Iya, Ben. Aku selalu memikirkannya.” Tiba-tiba saja mata gadis itu berkaca-kaca. “Angel, Raka itu sudah dewasa. Tidak perlu dipikirkan, dia pasti baik-baik saja.” Bukannya menjawab, Calista tiba-tiba saja terisak pelan, “Dua minggu, Ben. Dua minggu. Raka … nggak gini.” “Angel, jangan menangis.” Sayangnya, isakan Calista malah semakin kencang. “Kau di apartemenmu, kan? Aku berangkat sekarang. I’ll be there in 20 minutes.” Ben segera menutup panggilannya begitu saja. Namun, itu tidak menghentikan tangis Calista. Gadis itu terus terisak kencang. Ada yang sakit di hatinya. Dia kehilangan arah saat tidak menemukan Raka. Perasaan dia pun tidak tenang. Seperti merasa, akan ada hal buruk terjadi padanya, cepat atau lambat. Menakutkan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD