The Truth About Raka

1533 Words
Suara pintu yang terbuka, berhasil menghentikan sejenak tangis gadis itu. Tanpa perlu bersusah payah, Calista tahu siapa yang datang, Ben. Pria itu sudah berjanji menemuinya, maka pria itu akan selalu menepati janji itu. “Hi,” sapa Ben. Perlahan pria itu menduduki ranjang di sampai Calista. Menatap nanar gadis itu yang terlihat begitu menyedihkan. Berbaring dalam piayama merah satinnya. Kedua tangan menutup mata. Sementara air mata itu terus meleleh di pipi gadis itu. “Angel,” panggilnya. Salah satu tangan Ben berusaha menghapus air mata gadis. “Jangan menangis.” Calista menghapus air matanya dengan paksa. Pelan-pelan dia mendudukan diri di tempat tidur. Refleks, Ben segera menarik tangan sahabatnya itu ke dalam pelukannya. Sembari terus mengusap lembut punggung Calista, Ben juga terus berusaha menenangkan gadis itu. “Aku berusaha untuk tidak menangis, Ben. Hanya saja aku merasa … dia akan pergi jauh. Dia aneh. Raka tidak pernah seperti ini sebelumnya,” isakannya semakin kencang. “Kau tidak sendirian, Angel. Jika Raka pergi dari hidupmu, maka aku akan selalu di sini bersamamu,” bisik Ben. Pria itu terus menerus merapalkan keyakinan bahwa dia akan selalu di sisi Calista selama apapun yang bisa dia berikan. Hal itu ternyata sedikit demi sedikit menenangkan gadis itu. Menit demi menit menangis di dalam pelukan Ben, air mata Calista berhenti. Dia sudah mulai lelah menangis dan akhirnya jatuh terlelap. Satu-satunya yang dia ingat sebelum benar-benar hilang kesadaran adalah, ciuman di keningnya berikut pernyataan cinta Ben padanya. ***** Tiga hari yang membosankan. Belanja juga tidak lagi menyenangkan. Gadis itu hanya menatap kosong belanjaannya. Raka masih tidak ada kabar. Mendadak, dia merindukan pria itu. Terkadang saat berbelanja seperti ini, Raka lah yang menemaninya. Pria itu, sekalipun terlihat bosan dan terus menggerutu, tapi tidak pernah meninggalkan Calista sendirian. Baru saja dia hendak membuka pintu apartemennya, dering ponsel langsung menghentikan niat gadis itu. Nama Ben yang ada di layar berhasil menarik perhatian Calista. Tanpa ingin membuat pria itu menunggu, dia segera mengangkat panggilan. “Ben,” sapa Calista. “Kami tunggu di tempat biasa. Raka … di sini.” Panggilan pun segera terputus begitu saja. Sesaat gadis itu termenung dengan jantung berdebar. Setelah hampir tiga minggu, Raka kembali. Dengan kasar, Calista melempar kantong belanjaannya ke dalam unit apartemen. Gadis itu bergegas kembali menuju basement. Dia harus pergi sekarang. Dia harus bertemu Raka. Menanyakan segala yang ada di kepala gadis itu dan mungkin, menyatakan cinta. ***** Begitu mobil memasuki GLM Hotel and resto, Calista segera memarkir mobil tersebut sembarangan. Melempar kunci pada petugas valet begitu saja, sebelum akhirnya berlari menuju tempat restauran berada. Untung saja dia mengenakkan gaun selutut toscanya, setidaknya pakaian ini tidak menghambat gerakannya siang ini. Saat memasuki Restauran, Miss Andien—atasan Calista, langsung mencegat gadis itu. Kening wanita itu mengernyit bingung. “Calista, sedang apa kau di sini? Ini hari liburmu.” “Mereka di mana, Miss?” tanya Calista yang langsung dipahami miss Andien. Bosnya itu mengangguk paham. Tangan wanita itu langsung menunjuk ke arah lorong kecil, tempat ruang VIP berada. “VIP nomor 12. Mereka di sana.” Calista mengumamkan terima kasih, barulah berlari menuju ke tempat yang bosnya tunjuk. Ruang VIP terdiri dari 20 ruangan kecil berkapasitas empat hingga lima orang. Kedap suara dengan pelayanan khusus menggunakan pemesanan via interkom. Esklusif, bahkan hanya member khusus hotel ini lah yang bisa memiliki akses memasuki ruang VIP ini. Karena hanya orang-orang khusus saja yang mau merogoh dompet cukup dalam hanya untuk membeli member di sini. Sesaat Calista berdiri di depan pintu. Mendadak dia gugup. Perasaannya pun berkecamuk. Namun, segera dia kuatkan mental. Perlahan, dia membuka pintu. Dua orang yang sangat berarti di dalam hidup Calista tengah duduk berhadapan. Hanya saja, suasana tegang tampak menyelimuti ruangan ini. Ben terlihat menatap tajam pria di hadapannya. Tangan pria itu bahkan bersedekap. Sikapnya pun terlihat kaku. Hal yang berbeda malah ditunjukkan oleh pria lainnya. Raka membalas tatapan Ben tanpa ekspresi. Tangan Raka pun dengan santainya memainkan bolpoint di tangannya. Untuk sesaat Calista termenung memperhatikan sahabat yang dia rindukan itu. Rasanya tiga minggu tidak mendapatkan kabar dan tidak melihat Raka, sesuatu seperti hilang dari hidupnya. “Raka ….” Raka menoleh, begitu pula dengan Ben. Namun, Ben lah yang bersuara lebih dulu. Nada pria itu terdengar sangat marah. “Duduklah, Angel. Mari kita mendengar penjelasan Tuan Caraka Arsjad ini.” Dengan patuh Calista menduduki kursi di samping Ben. Gadis itu tetap menatap Raka dengan cara yang sama, penuh rindu. “Ka … kau ke mana saja? Apa semua baik-baik saja? Kita semua mengkhawatirkanmu.” Raka mengangguk pelan. Pria itu menghela napas dalam. “I’m sorry.” Alis Calista mengerntit, pembukaan yang terdengar tidak menyenangkan. “Kenapa, Ka?” “Beberapa minggu ini aku pulang ke rumah orangtuaku untuk … menikah. Maaf baru mengatkan sekarang pada kalian. Jujur, aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, terlebih pada kalian, sahabatku. Hanya saja semua serba terburu-buru di sana. Orangtua istriku kecelakaan dan meninggal di tempat. Kami terpaksa … menikah saat itu juga.” Napas Calista seketika terhenti. Tanpa bisa dicegah setetes demi setetes air mata gadis itu meleleh. “Kau … mencintainya, Ka?” “Apakah itu penting?” tanya Raka dengan nada dingin. “Kalau kau tidak mencintainya, jangan menikahinya!” teriak Calista. “Apa kau gila? Menikah tanpa cinta? Kau … harus hidup dengan wanita yang sama seumur hidupmu. Aku kecewa padamu!” Tiba-tiba saja Calista beranjak dari duduknya. Air mata terus mengalir. Dia bukan hanya kecewa, tapi juga patah hati. Kalau seperti ini ceritanya, kata cinta yang dia pendam tidak pernah terucapkan. Bahkan, tidak pernah ada kesempatan untuknya bersatu dengan orang yang merebut hatinya sejak kecil. Calista terus berlari. Para sahabatnya pun mengejar sembari berteriak, tapi tidak digubrisnya. Miss Andien pun juga ikut memanggil, sayang, tidak menghentikan langkah Calista. Satu-satunya tempat yang ingin dia tuju adalah lantai 24 hotel ini. Tempat di mana ada seseorang yang tidak pernah mengecewakannya dan selalu mengusahakan kebahagiaan Calista. Bunyi dentingan lift berhasil menyentak gadis itu. Langkannya semakin pasti menuju ke tempat itu. Sekalipun seseorang wanita menghadap di depan pintu. “Maaf Miss Muller, Mr Muller sedang ada tamu siang ini.” Sayangnya, siang ini Calista tidak peduli. Gadis itu mendorong pelan tubuh orang yang menghadangnya. Masih dengan air mata yang meleleh, dia membuka pintu ruangan hingga terdengar benturan keras. Dua orang pria yang ada di dalam sontak memberikan perhatian pada sumber suara. “KAKAK!” teriak Calista. Calista segera menubruk tubuh Cedric, kakaknya. Menaiki pangkuan pria itu tanpa peduli bahwa gadis itu sudah terlalu besar dan juga dewasa melakukannya. Meringkuk seperti kucing di dalam dekapan sang kakak. “Calista.” Suara Cedric melembut. Diusapnya puncak kepala sang adik. “Apa yang terjadi?” “Raka … married,” ucapnya terbata. Lagi-lagi isakan Calista semakin keras. Berita yang Calista ucapkan ternyata berhasil mengejutkan Cedric. “Kakak kan sudah bilang, Raka bukan yang terbaik. Masih ada pria yang jauh lebih baik daripada sahabatmu itu.” “Tapi … aku mencintainya, kak.” “Tapi … dia tidak mencintaimu, Calista.” Kata-kata Cedric seperti pukulan telak. Raka memang selalu memandangnya seperti sahabat baiknya atau adik kecil yang tidak pernah dia miliki. Sekalipun dia menyadari itu, hati Calista selalu menolak. Gadis itu hanya berharap dan berdoa. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkannya. “Mat, kalau kau sibuk, kau bisa kembali nanti. Calista butuh perhatianku.” Cerdic berbicara pada seorang di hadapannya. “Tidak perlu, Ced. Aku sedang senggang sekarang. Adikmu membutuhkanmu, aku memakluminya.” Sebuah ketukan lagi-lagi menarik perhatian dua pria itu. Ben tiba-tiba saja memasuki ruangan. Tatapan pria itu terlihat senduh saat menatap Calista yang terus menangis tanpa henti. Perlahan dia menguraikan pelukan Calista seraya menatap dalam mata adiknya itu. “Cantik, semua akan baik-baik saja. Hapus air matamu. Sekarang kau pergi ke salah satu pusat perbelanjaan favoritmu. Belanja sepuasnya di sana. Kata orang, berbelanja barang-barang kesukaan akan membuat seorang wanita yang bersedih berubah menjadi bahagia. So, go shopping now!” Calista mengangguk pelan. Dia pun menurut untuk menuruni pangkuan Cedric. “Ben, jaga Calista.” Ben mengangguk cepat. Dirangkulnya bahu Calista. “Siap, kakak ipar!” ***** Perhatian Ben lagi-lagi terpaku pada sosok Calista di sampingnya. Gadis itu memang tidak lagi menangis, tapi tatapannya kosong menembus jalanan panjang di luar sana. Rasanya, melihat gadis itu bersedih, dia jadi ikut bersedih. Tidak ada satu patah kata yang keluar dari mulutnya. Dia benar-benar sedih dan patah hati. “Angel, bagaimana kalau kita ke pusat perbelanjaan favoritmu? Yang punya eskalator tertinggi di sini? Bagaimana kalau kita juga menonton setelahnya? Katanya ada film komedi bagus yang sedang tayang.” Calista hanya menjawab dengan anggukan pelan. Dengan sengaja Ben meraih tangan Calista untuk dia genggam erat. Pria itu menghela napas panjang, “Calista, kau tidak sendiri. Aku di sini.” Sekali lagi Calista mengangguk sembari menggumamkan terima kasih. Sesampainya di pusat perbelanjaan, Ben berkali-kali menggiring Calista memasuki satu persatu toko yang ada. Awalnya, gadis itu tidak berminat, tapi hobi tetaplah hobi, karena pada akhirnya gadis itu kalap sendiri saat berbelanja. Setidaknya, senyum tipis Calista tersungging, maka semua akan baik-baik saja. Begitu mereka mengantri di bioskop sembari berpegangan tangan, tanpa mereka sadar seseorang tengah menatap dari kejauhan. Pria itu merasa semakin pengecut sekarang. Buktinya, ini sudah kali kedua dia membuntuti Calista dan Ben. Sekali saja sakit hati, tapi dia malah melakukannya sekali lagi. Hidupnya kini mulai berantakan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD