1- Hadiah di Akhir Semester

1277 Words
Enam bulan sudah berlalu sejak Dinda menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di SMA Angkasa. Dan itu berarti sudah selama enam bulan juga Dinda menjadi korban pembullyan yang dilakukan geng The Fabs. Tidak ada yang sesial nasib Dinda memang. Semua yang pernah berurusan dengan The Fabs tidak ada yang sampai seperti Dinda, dibully hampir selama satu semester lamanya. Hanya Dinda. Dan semua orang tau, jika ini bukan lagi atas nama The Fabs melainkan dendam pribadi Bani terhadap Dinda. Tetapi meskipun begitu, bukan berarti Dinda tidak memiliki teman di SMA Angkasa. Dinda punya, tetapi mereka tidak bisa membantu. Karena tidak ada yang mau berurusan dengan The Fabs. Bahkan Bani sendiri yang pernah mengancam jika ada yang mencoba-coba untuk melindungi Dinda, maka dia yang akan menjadi pengganti Dinda. Diberi ‘hadiah’ selama dia bersekolah di SMA Angkasa. Memang sih tipe bullying yang dilakukan The Fabs terhadap Dinda tidak parah-parah banget. Ya paling hanya sekedar mengempesi ban motor Dinda hingga cewek itu harus mendorong motornya sampai tukang tambal ban terdekat kira-kira lima ratus meter jauhnya. Beberapa kali juga Dinda harus menemukan sepatunya sudah berpindah entah ke mana setiap dia selesai shalat zuhur. Bahkan pernah sekali ketika pagi-pagi Dinda baru datang ke kelas, meja tulisnya sudah lenyap entah kemana. Awalnya Dinda tentu frustasi dan ingin merengek saja kepada Ayahnya untuk pindah sekolah, tetapi Dinda berfikir siapa tau Bani dan gengnya akan bosan dengan sendirinya jika Dinda tidak mengacuhkan gangguan dari mereka. Maka Dinda mencoba bertahan dengan cara pura-pura tidak peduli. Tetapi yang ada Bani semakin gencar memberinya ‘hadiah’ mengejutkan. Ah dan soal kenapa Dinda tidak bisa melawan adalah karena sekolah itu ternyata milik yayasan keluarga Bani! Ulang. Sekolah tempat Dinda menuntut ilmu sekaligus mendapatkan pembullyan adalah milik orang yang membully Dinda! Hidup Dinda sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk sial sejak dia pindah ke Jakarta. Tetapi setidaknya Dinda hari ini bisa bernafas sedikit lega karena hari ini adalah hari terakhir di semester ini. Hari ini bahkan hanya pembagian rapor saja, itu berarti Dinda tidak harus berurusan dengan The Fabs karena akan ada banyak orang tua yang datang ke sekolah dan The Fabs tentu tidak seberani itu untuk menunjukkan taring mereka saat orang tua mereka di sekolah. Ha! “Ma, udah liat-liat rapornya nanti aja di rumah, yuk kita sekarang pulang!” ajak Dinda kepada Heriska—mamanya—yang sedang membaca nilai-nilai Dinda. “Ih, iya kamu tuh sabar dong jangan narik-narik Mama,” ucap Heriska kesal karena Dinda menarik-narik bajunya. Masalahnya Dinda ingin cepat-cepat pergi dan tidak bertemu dengan Bani ataupun The Fabs. Ya meskipun Dinda sendiri yang yakin jika The Fabs tidak akan mengerjainya hari ini, tetap saja Dinda waspada. Rasa waspada itu tumbuh sendirinya seiring waktunya yang setiap hari dikejutkan oleh ‘hadiah’ The Fabs. “Din, lo dipanggil sama penjaga perpustakaan, katanya belum balikin novel,” ucap Audy yang datang dari arah perpustakaan. Sepertinya teman sekelas Dinda itu baru saja dari perpustakaan. Dinda menepuk jidatnya. “Ohiya, lupa. Thanks, Dy!” ucap Dinda kepada temannya itu yang langsung dibalas Audy anggukan dan cewek itu pergi entah kemana. “Ma, aku ke perpus dulu, Mama nunggu di mobil aja,” kata Dinda yang langsung ditatap sinis oleh Heriska. “Tuh tadi kamu ngajak buru-buru sampe narik-narik. Yaudah sana cepetan, abis ini mama ‘kan harus ke sekolahnya kakak kamu.” Dinda mengangguk sambil cengengesan. “Iyaa!” Dinda lalu bergegas berlari menuju perpustakaan. Dinda lalu menyempatkan diri memperhatikan sekitar ketika sudah sampai di depan pintu perpustakaan. Dia khawatir ketika harus melepaskan sepatunya itu, bagaimana kalau tiba-tiba dia dikerjai lagi oleh The Fabs? “Gak apa-apa kali, ya? Orang cuma sebentar ini...” akhirnya Dinda pun melepas sepatu adidasnya itu dan meletakkannya di rak sepatu. Perpustakaan di sekolah Dinda memang mengharuskan pengunjungnya melepas alas kaki karena di dalamnya menggunakan karpet dan tempat baca dan meja komputer di dalamnya juga disetting lesehan. Dinda menyelesaikan urusan administrasi dengan pegawa perpustakaan dengan cepat. Setelah tanda tangan di buku absen, Dinda buru-buru keluar dari perpustakaan. Dan Dinda nyaris menangis saat melihat sepatunya sudah raib entah kemana. Tuh kan! Sepertinya memang sudah tidak ada tempat yang aman lagi bagi Dinda. Bahkan dia ke dalam perpustakaan tidak sampai sepuluh menit! Dinda mengedarkan tatapannya untuk mencari keberadaan sepatu atau salah satu geng The Fabs yang sudah dia hafal tetapi nihil. Di sekitar perpus sangatlah sepi. Dinda pun akhirnya berjalan di koridor hanya dengan beralaskan kaos kaki dan dalam hati berdoa semoga nasib sepatunya baik-baik saja. Masalahnya Dinda baru saja membeli sepatu itu online dengan hasil tabungannya sendiri. “Lo nyari ini?” Dinda lantas menoleh ke arah sumber suara. Suara yang sudah dihafalnya. Suara Bani. Bahkan suaranya saja terdengar annoying di telinga Dinda. Dinda menatap ke arah Bani. “Mana sepat—sepatu gue!!!” jerit Dinda ketika melihat sepatunya tergantung di atas pintu sebuah kelas sambil meneteskan air. “Lagi gue jemur, basah.” ucap Bani datar. Dinda melotot. BASAHNYA JUGA PASTI ULAH LO KAN KAMPRET?! Dinda sudah bersiap untuk melompat meraih sepatunya sampai akhirnya Bani yang tiba-tiba berjinjit untuk melepaskan sendiri sepatu itu dari sana. “Hadiah terakhir. Selamat liburan, Dinda,” katanya begitu dekat dengan wajah Dinda membuat jantung Dinda berdegup. Berdegup karena amarah tentu saja bukan karena jatuh cinta. Dan begitulah Dinda mengakhiri semester pertamanya di SMA Angkasa. Terima kasih kepada Bani. *** Mama: Dinda mama ke sekolah kakak kamu ya, abis kamu lama, kamu pulang naik angkot aja. Dinda rasanya ingin menangis saja. Kenapa Ibunya harus meninggalkan dia disaat Bani mengerjainya. Kenapa, kenapa, kenapa! Dinda menatap miris sepatunya yang basah. Tidak mungkin dia naik angkutan umum dengan keadaan seperti itu. Satu-satunya cara ya naik ojek. Dinda lalu membuka aplikasi ojek online di ponselnya menunggu sampai pesanannya diambil driver. “Woy!” Dinda yang sedang menunggu ojeknya datang refleks menoleh. Meskipun dia juga tidak tau ‘woy’ itu ditujukan kepada siapa, hanya saja rasa kepo membuatnya menoleh. Dinda dengan sigap menangkap sesuatu yang dilemparkan si peneriak tersebut. Sandal adidas. Dinda menatap sandal di tangannya dan orang yang melemparkan sandal tersebut secara bergantian. “Ini apaan?” tanya Dinda bingung pada cowok yang melemparkan benda tersebut. Cowok itu menatap Dinda cuek. “Menurut lo?” tanyanya seolah Dinda adalah orang paling bego sedunia karena tidak tau yang ditangannya itu adalah sepasang sendal. Dinda memutar matanya. “Gue tau ini sendal, maksud gue, ini buat apaan?” tanyanya bingung. Cowok itu mengedikkan bahunya cuek ke arah kaki Dinda yang tidak beralaskan apapun membuat Dinda ikut menatap ke arah kakinya sendiri. Ketika Dinda sudah membuka mulut untuk kembali bicara, cowok itu sudah berlalu kembali ke dalam gedung sekolah meninggalkan Dinda dengan kernyitan di dahinya. Mungkin Dinda tidak akan seheran dan sebingung ini jika yang memberikannya sendal tadi bukanlah Petra. Iya, Petra, salah satu anak buah Bani. Cowok berhoodie abu-abu yang ada di tkp saat hari dimana Dinda mendapatkan ‘hadiah’ pertamanya dari Bani dan The Fabs. Memang, sejak kejadian dimana Bani mendeklarasikan akan memberi Dinda ‘hadiah’ setiap hari dan Petra menolak tidak setuju, Petra terlihat hanya diam saja setiap kali Bani atau anggota The Fabs yang lain tengah mengerjai Dinda. Dinda pikir Petra mungkin malas mengurusi Dinda karena dirasa hal itu tidak ada untungnya sama sekali baginya. Tetapi sekarang, cowok itu membantu Dinda. Ya meskipun cowok itu tidak memberi bantuan kepada Dinda dengan membela gadis itu dari Bani, tetapi jelas, cowok itu membantunya. Dinda mengedikkan bahunya. “Ah bodo deh, seenggaknya gue gak malu-maluin di jalan,” ucap Dinda pada diri sendiri sambil kemudian memakai sendal pemberian Petra tersebut bertepatan dengan ojek pesanannya yang kemudian datang. Dinda pun menaiki motor tersebut setelah memakai sendal pemberian Petra. Dan tanpa Dinda ketahui, sepasang mata tengah mengintainya sampai motor yang ditumpangi Dinda menghilang dari pandangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD