2-Liburan Yang Dipaksakan

1544 Words
Dinda mengerang tertahan saat mendengar perdebatan antara kakak perempuan dan ibunya di ruang keluarga. Bukan, bukan karena mereka berdebat, Dinda sudah terlalu biasa mendengar mereka berdebat karena keduanya memiliki sifat yang sama-sama tidak mau mengalah. Dinda kesal karena topik yang sedang diperdebatkan kakak dan ibunya itu pasti akan memyeret rencana liburannya ke rumah nenek. Iya, pasti.   "Kamu tuh ya, kalo dibilangin sama orang tua nurut kenapa Ta? Sekali aja ikutin apa kata Mama!" bentak Heriska kepada anak keduanya.   Dita, kakak perempuan Dinda tampak tidak gentar sedikitpun, "bukannya aku gak mau nurut Ma, tapi selama ini tuh aku udah selalu bantuin Mama! Mama gak adil dong kenapa aku doang yang dipaksa ikut? Kenapa Dinda sama Bang Deni, enggak?" tanya Dita dengan suara yang juga meninggi.   Dinda menggelengkan kepala. Kakaknya itu memang agak kurang ajar, Dinda akui itu, karena hanya kakaknya itu yang berani membentak Mama balik. Sedangkan Dinda dan abang laki-lakinya, Deni, selalu diam jika sedang diomeli. Karena mereka tau, semakin Heriska dilawan, semakin Heriska marah.   "Terserah kamu deh! Jadi anak susah banget diatur! Sana pergi! Giliran diajak temen-temen aja bela-belain sampe bentak orang tua, giliran sama orang tua diajak malah marah-marah!” Mendengar kalimat frustasi Heriska, Dinda tau dia lagi-lagi yang harus mengalah kepada kakaknya. Sebentar lagi Dinda jamin Heriska akan memanggil— “Dinda, kamu ikut Mama ke Lembang! Biarin kakak kamu itu pergi semau dia!” Sudah Dinda duga. *** Dinda rasanya ingin menangis. Padahal dia sudah berencana untuk berlibur di rumah neneknya selama liburan semester ini. Dia sudah terlalu merindukan Bandung, tempatnya lahir dan tumbuh. Tetapi dalam sekejap, semua rencananya hancur berantakan. Terima kasih kepada Andita, kakaknya tersayang. Dinda menatap kosong ke arah jalanan yang dilaluinya. Aksi diamnya tentu saja diketahui Heriska, tetapi Heriska tidak berkata apa-apa, dia tau aksi diam Dinda akan berhenti cepat atau lambat. Mobil honda jazz yang dikendarai Heriska sudah masuk ke jalan raya Lembang. Sepanjang jalan sudah tampak berbagai hotel di kiri kanan. Dinda berdecak, sudah cukup lama dia tidak ke Lembang. Terakhir yang dia ingat belum sebanyak ini hotel dan penginapan yang ada. “Sedih deh liatnya, sekarang lahan perkebunan udah tersisih sama hotel dan penginapan,” ucap Heriska. Sepertinya beliau juga sepemikiran dengan Dinda. Dinda mengangguk setuju. Tetapi dia masih belum mau menanggapi ibunya itu. Dia masih ingin menunjukkan kalau dia terpaksa ikut. “Tapi kamu tenang aja, rumah sahabat Mama ini ada kebunnya luas banget. Kamu pasti suka deh di sana.” Dinda memutar matanya. Dia lebih suka tinggal di rumah Nenek. Makan masakan nenek, tidur dalam pelukan nenek, mendengar cerita nenek. Ah, Dinda kangen sama nenek. “Nanti, abis dari rumah sahabat Mama, kamu langsung Mama anterin ke rumah nenek. Kita cuma nginep di rumah sahabat Mama ini lima hari kok, Din.” Mendengar penuturan ibunya, Dinda mau tidak mau menatap ke arah wanita yang sudah melahirkannya tersebut. “Bener, Ma?” tanyanya. Heriska tersenyum mendapati anak bungsunya itu sudah mau berbicara dengannya. “Iya, bener. Makanya, kamu jangan cemberut terus. Lagian ini tuh sahabat Mama dari SD tau, gak? Mama udah hampir sepuluh tahun gak ketemu sama dia. Makanya pas Mama tau dia ada di Lembang dan ngundang Mama buat dateng, Mama excited banget.” “Emang dia tinggal di mana sebelumnya?” “Australia.Dan selama dia di sana, kami bener-bener lost contact.” Dinda mengangguk mengerti. Pantas saja Mamanya itu sangat excited soal perjalanannya ke Lembang saat ini. Bahkan tadinya, kalau Dinda menolak ikut, Heriska tetap nekat untuk pergi sendiri. Dan tentu saja Dinda tidak setega itu untuk membiarkan Mamanya berkendara sendirian. Dia terlalu menyayangi Mamanya. Perjalanan mereka berakhir tiga puluh menit kemudian di depan sebuah rumah yang tertutup pagar tembok putih tinggi. Yang terlihat hanya pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati saja. Sepertinya dari gerbang ke bangunan rumah jaraknya cukup jauh. Bahkan dari luar, bangunan rumahnya sama sekali tidak terlihat. Heriska membunyikan klakson tiga kali dan seorang laki-laki—yang sepertinya pekerja di rumah itu tergopoh-gopoh membukakan gerbang. Sepertinya sang pemilik rumah sudah memberi tau pekerjanya jika mereka akan kedatangan tamu karena laki-laki itu langsung membukakan gerbang dengan lebar agar mobil Heriska bisa masuk. Dinda berdecak kagum ketika mobil mereka memasuki halaman rumah. Di sebelah kiri Dinda terlihat halaman yang dilapisi rumput hijau yang terpangkas rapi. Di tengah-tengahnya ada sebuah gazebo dari kayu yang nampak kokoh tapi nyaman. Di sekelilingnya terdapat berbagai tanaman hias yang mempercantik taman tersebut. Berlanjut terus, mobil Heriska kini diparkir di sebelah sebuah bangunan rumah yang berbahan material kayu atau bisa disebut rumah joglo. Rumah itu terlihat sangat artistik, tradisional tapi sangat nyaman. Dinda kembali berdecak kagum. Melihat wajah anaknya yang tengah terpana membuat Heriska terkekeh. “Tuh kan, kamu seneng ‘kan?” tanya Heriska jahil sambil mematikan mesin mobil. Dinda buru-buru mengubah raut wajah noraknya. Lalu dia langsung beranjak keluar dari mobil. Dan Dinda ingin berteriak girang saat udara segar pegunungan Lembang menyentuh kulitnya begitu Dinda menginjakan kaki keluar dari mobil. Udara yang dirindukannya! “Walaupun disini banyak hotel, tapi udaranya masih kayak dulu. Ya berkurang sih gak sedingin dulu, tapi masih dingin.” Dinda mengangguk setuju. Padahal sekarang jam menunjukkan pukul tiga sore. Kalau di Jakarta jam segitu sudah pasti sedang panas-panasnya. Seorang wanita yang berbalut dress selutut ditambah sweater rajut nampak menyambut mereka di teras rumah joglo. Wanita itu terlihat sangat anggun dan cantik. “Riska!” sapanya antusias. Dinda melihat Mamanya tidak kalah antusias, bahkan Mamanya kini sedang berlari kecil untuk memeluk wanita anggun yang Dinda duga adalah pemilik rumah. “Ya ampun! Aku kangen banget sama kamu!” seru wanita itu sambil membalas pelukan Heriska. Dinda terkekeh. Ibu-ibu bisa kangen-kangenan kayak anak remaja juga ternyata. “Sama, Mbar! Kamu tuh yang tiba-tiba mutus kontak sama aku.” “Ya Allah, Ris, nanti aku ceritain deh semuanya. Semuanya.” Dinda bisa melihat keduanya berbincang untuk melepaskan rasa rindu masing-masing sampai tidak menyadari keberadaan Dinda yang masih berdiri canggung di jalan setapak yang terbuat dari batu. “Eh, iya, ini anak aku yang paling kecil. Kamu inget gak?” tanya Heriska pada Ambar. Ambar mengalihkan tatapannya ke arah Dinda. Dahinya mengernyit untuk mengingat sosok Dinda. “Ya ampun! Dinda ‘kan ya kalo gak salah?” tanya Ambar yang langsung diangguki Heriska. Rupanya Ambar masih mengingat anaknya. “Dinda, sini sayang! Terakhir tante liat kamu, kamu baru mau masuk SD!” ucap Ambar sambil merentangkan tangannya seolah menyuruh Dinda masuk ke dalam pelukannya. Dan karena Dinda tidak tau harus apa, maka dia mendekati sahabat Mamanya itu dan memeluknya ragu-ragu. “Sekarang udah kelas satu SMA ya?” tanya Ambar setelah melepas pelukannya pada Dinda. Dinda tersenyum canggung. “Kelas sebelas, tante.” Ambar tampak terkejut. “Loh? Oh iya ya berarti sama dong sama anak tante.” “Loh? Anak kamu perasaan seumurnya sama Dita, deh.” “Iya anak aku ‘kan telat masuk SD setahun. Jadi sekarang dia masih kelas sebelas, sama kayak Dinda.” Dinda hanya mendengarkan obrolan Heriska dan Ambar dalam diam. “Yaampun aku tuh gimana sih gak sopan banget sama tamu. Yuk, yuk, masuk!” ajak Ambar karena sadar mereka masih berdiri di teras. Heriska tertawa sambil merangkul Ambar dan bersama-sama masuk ke dalam rumah joglo tersebut. Ohiya, rumah itu memang dinding dan atapnya terbuat dari kayu, tetapi lantainya terbuat dari marmer. Katanya sih supaya tidak sulit membersihkannya. Entahlah. Tetapi yang jelas lantai marmer itu membuat kehangatan dan kesejukan rumah itu terasa balance, karena perpaduan antara kayu dan marmer, mungkin. Dinda juga nggak terlalu mengerti. Yang pasti rumah itu sangat nyaman dan Dinda yakin dia akan sangat betah di sana. Rumah joglo itu memang terlihat tradisional karena materialnya yang dari kayu, tetapi semua fasilitas dan prabot yang ada di dalamnya merupakan yang terbaru. Ada sebuah home theater di sudut ruangan dekat ruang tamu yang dikelilingi sofa empuk untuk nonton tv, membuat Dinda tidak perlu khawatir jika dia ingin nonton film atau apapun. Hah, melihatnya saja Dinda sudah menjamin tempat itu sangat nyaman. “Dinda kalau pengen liat-liat boleh, keliling aja. Di belakang ada dua rumah lagi. Yang satu itu paviliun untuk para pekerja di sini dan satunya lagi itu rumah yang biasa tante sediain untuk tamu. Soalnya di rumah joglo ini hanya ada satu kamar. Jadi anak tante sama sepupu-sepupunya biasanya nginep di rumah  yang untuk tamu.” Dinda mengangguk-angguk. Ambar lalu memanggil seorang pekerja rumah tangga dan memintanya menyiapkan minuman hangat untuk Heriska dan Dinda. “Kalian tapi nanti nginep di sini aja ya. Di kamar aku,” ucap Ambar membuat Dinda dan Heriska mengernyit bersamaan. “Loh, emang mas Hadian kemana?” tanya Heriska. Hadian itu adalah nama suami Ambar. Ambar tersenyum kecil. “Dia di Aussie.” Heriska nampak terkejut tetapi hanya sebentar lalu mereka pun membahas hal lain yang kalau Dinda simak sih kebanyakan nostalgia. Dinda pun memutuskan untuk pergi berkeliling jalan-jalan. “Ma, tante, Dinda mau liat-liat dulu, ya?” izinnya. Ambar dan Heriska pun mengangguk sebelum kembali berbincang lagi. Dinda akhirnya memilih mengitari rumah tersebut. Benar kata Ambar, ada dua rumah di belakang rumah joglo tersebut. Satu rumah kecil yang Dinda duga adalah paviliun dan satu rumah berbentuk leter L yang sudah pasti rumah untuk tamu. Dinda hanya melihat sekilas ke rumah-rumah tersebut dan memilih mengitari kebun belakang. Gila, bahkan di belakang ada kebun yang cukup luas. Sepertinya berbagai macam tanaman tersedia di sana. Dan, ah, stroberi. Buah khas Lembang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD