3- Ian si Anak Manja

1031 Words
Dinda kembali dari wisata singkatnya karena merasa haus. Ketika kembali ke rumah joglo Dinda bisa mendengar suara laki-laki muda samar-samar. Tetapi saat Dinda masuk, hanya ada Ambar dan Heriska masih berbincang di ruang tamu. “Eh Din, udah jalan-jalannya?” tanya Ambar begitu melihat Dinda berdiri di ambang pintu. Dinda tersenyum. “Udah, tante.” Ambar mengangguk. “Minum dulu sini sayang, ada kue juga, pembantu tante baru bikin.” Dinda mengangguk sambil menghampiri Ambar. Lalu dia duduk di sebelah Mamanya sambil mengambil gelas berisikan teh hangat dan menyeruputnya. “Tadi Ian anak tante baru aja dateng dari Jakarta loh, Din,” ucap Ambar kepada Dinda. Dinda cengengesan, karena tidak tau harus bersikap bagaimana. “Oh, iya, tan? Terus anak tante sekarang di mana?” tanya Dinda basa-basi. Tapi sebenarnya Dinda tidak sepenuhnya basa-basi sih, dia juga penasaran bagaimana rupa anak tante Ambar itu. Mengingat tante Ambar yang sangat cantik, kemungkinan besar anaknya juga pasti punya wajah cantik jika dia perempuan dan ganteng jika dia laki-laki. Dan kalau dengar-dengar, anak tante Ambar ini cowok, siapa tau Dinda bisa modus kalau anak tante Ambar beneran ganteng. Hehe. “Ian lagi di kamar. Capek dia mungkin baru sampe. Anak tante itu walaupun cowok emang rada manja sama tante, apalagi semenjak SMP dia di Jakara dan tante di Aussie, jadi sampe sekarang walaupun udah SMA, dia masih kayak anak kecil kalau sama tante,” jelas Ambar panjang lebar. Dinda menyimak sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Cowok manja? Hah, Dinda sudah pesimis duluan kalau begitu. Kalau cowok itu anak manja atau anak mami, mau ganteng kayak apapun juga tentu tidak akan pernah jadi tipenya. Dinda bahkan ragu kalau anak tante Ambar itu cowok tulen. Jangan-jangan malah rada melambai. Mata Dinda lalu melirik ke arah piring berisikan brownies kukus di meja. Tangannya langsung ingin menyomot kue tersebut tetapi Heriska dengan sigap menepuk punggung tangan Dinda sebelum Dinda sempat menyentuh kue coklat itu. “Hush, cuci tangan dulu!” omel Heriska membuat Dinda bersemu, malu. Ambar terkekeh. “Enggak apa-apa Din, tuh kalo mau cuci tangan, lurus belok kanan, di dapur.” Dinda pun mengangguk dan bergegas menuju dapur yang ditunjukkan Ambar. Dinda lalu membasuh tangannya di wastafel yang terletak dekat meja makan. Meja makan itu berbataskan meja bar yang menyatu dengan kitchen set. Huh, rumah ini benar-benar idaman Dinda. “Ndaaaa, Ndaaa, s**u Ian mana, Nda?” Dinda refleks menoleh ketika mengira namanya dipanggil. Sebenarnya Dinda juga kaget sih ketika namanya dipanggil seorang cowok, apalagi dengan nada manja begitu. Padahal ‘kan Dinda tidak kenal siapapun di sini. Dan mata Dinda semakin membulat ketika melihat siapa sosok yang baru saja memasuki dapur. Sosok yang barusan memanggil-manggil—oke belum pasti sih tetapi Dinda kira memang memanggil namanya. Karena Heriska juga sering memanggil Dinda dengan panggilan ‘Nda’. Cowok yang menganakan kaus putih dan celana pendek hitam selutut itu sama terkejutnya dengan Dinda. Bahkan dia terlihat seratus kali lipat lebih terkejut daripada Dinda. “LO?!” “LO?!” Dinda mengucek matanya. Tidak percaya dia akan mendapatkan mimpi buruk di sore hari. Berharap sosok itu hanya halusinasinya saja karena dia terlalu membenci sosok tersebut. Tetapi sosok itu sama sekali tidak berubah ataupun menghilang meski Dinda berulang kali mengucek matanya. Bani. Sosok yang berdiri di hadapan Dinda. Yang sama terkejutnya dengan gadis itu juga beberapa kali menggelengkan kepalanya. Menganggap sosok Dinda di depannya hanyalah ilusi saja karena akhir-akhir ini sosok itu menjadi target bullyannya. Dan ketika keduanya sama-sama sadar kedua mata mereka tidak melakukan kesalahan, keduanya sama-sama berteriak. “NGAPAIN LO DISINI?!” Ambar dan Heriska berlarian menuju dapur begitu mendengar teriakan tersebut. “Yan? Kenapa sayang, susunya lagi di—eh, kalian udah ketemu.” Dinda dan Bani sama-sama melemparkan tatapan meminta penjelasan ke arah Ambar. “Yan, ini anaknya tante Heriska, yang tadi mama ceritain,” ucap Ambar. Bani menatap Ambar—bundanya dan Dinda bergantian. “Hah?” Ambar lalu menatap Dinda. “Nah Dinda, ini anak tante, namanya Ian.” “I—Ian?” “Baniansyah, tapi dipanggil Ian.” “HAH?” “Kok, kalian gitu sih responnya? Kalian udah saling kenal? Jangan-jangan di Jakarta kalian satu sekolah, ya?” tanya Ambar curiga dengan respon tidak biasa kedua remaja tersebut. Melihat Dinda dan Bani yang sama-sama diam sambil menatap ke arahnya dengan mata membulat membuat Ambar mengambil kesimpulan kalau tebakannya benar. “Jadi kalian emang temen satu sekolah.” “ENGGAK!” seru mereka bersamaan. Heriska yang ada berada di sana mengernyit aneh. “Kok kalian heboh banget gitu? Emang Bani sekolahnya di mana? Kalau Dinda ‘kan sekolah di SMA Angkasa.” Ambar menatap Heriska sambil terkekeh. Tuh kan. “Ris, itu sekolah punya mas Hadian. Dan Bani sekolah di situ, juga.” “Loh, berarti kalian emang temen satu sekolah, dong?” tanya Heriska kepada Bani dan Dinda. “ENGGAK!” seru kedua remaja itu bersamaan, lagi. Dinda menggeleng-gelengkan kepalanya. Kata ‘teman’ dan Bani tidak akan pernah bisa dijadikan dalam satu kalimat. Tidak akan pernah. “Kita satu sekolah, tapi kita nggak temenan.” “Heh, siapa juga yang mau anggep lo temen?” bentak Dinda tidak terima dengan kata-kata Bani yang seolah menggambarkan dirinya lah satu-satunya orang yang tidak mau menganggap Dinda teman. Gue juga ogah ye nganggep lo temen. Batin Dinda. Bani menatap Dinda acuh. “Terserah.” Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Bani melenggang pergi dari dapur menuju kamar Ambar. Meninggalkan Heriska dan Ambar yang saling bertatapan bingung. Sedangkan Dinda. Cewek itu masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Bani adalah Ian. Dan Ian adalah anak tante Ambar yang katanya sangat manja. Bagaimana bisa, ketua geng nomor satu di sekolah. Baniansyah si muka datar, cowok terngeselin yang menjadikan Dinda target sasaran bullynya selama enam bulan terakhir ini, cowok dengan kosa kata minim dan ekspresi muka nol adalah Ian. Ian anak tante Ambar yang katanya sangat manja. “Ndaaa... s**u Ian mana?” mendengar teriakan itu seketika bulu kuduk Dinda meremang. Itu adalah suara Bani. Ketua geng The Fabs. Dinda tidak salah. Bani dan Ian memang benar-benar dua orang yang sama. Baru beberapa jam yang lalu Dinda tidak jadi menyesali pilihannhya untuk ikut Mamanya datang ke Lembang meskipun terpaksa, kini Dinda harus menjilat lagi ludahnya. MAMA, DINDA MAU PULANG!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD