Upacara dan Sebuah Buku

1028 Words
    "Upacara selesai, masing-masing pemimpin pasukan membubarkan barisannya." Suara yang diucapkan oleh protokol itu membuat siswa-siswi SMA Nusantara bernapas lega. Setelah hampir satu jam melaksanakan upacara bendera di lapangan sembari disinari matahari yang entah mengapa selalu terik pas hari senin. Keringat bercucuran di sana-sini. Ada juga yang bau badannya sudah mulai tercium tak sedap mirip bawang busuk. Tak lupa, kaki pun pegal-pegal.     Upacara hari senin memang salah satu kegiatan untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Upacara juga merupakan bentuk penghormatan bagi pahlawan-pahlawan perebut kemerdekaan. Baik yang gugur di medan perang, maupun yang selamat dan hidup sampai detik ini. Tujuan dari upacara memang mulia. Tapi masalahnya, siapa, sih yang suka upacara? Rata-rata pelajar jaman sekarang ogah-ogahan untuk melaksanakan upacara seminggu sekali ini. Bukan apa, teriknya matahari serta panjangnya amanat pembina kadang membuat peserta upacara capek. Begitu juga para siswa SMA Nusantara, kepala sekolah mereka akan beramanat panjang sekali. Jika dihitung, mungkin akan sama panjangnya dengan sebuah novel.     Siswa-siswi SMA Nusantara sudah hampir melangkah untuk kembali ke kelas dengan perasaan lega. Namun tiba-tiba ... sebuah suara keramat kembali terdengar.     "Acara tambahan. Seluruh siswa dimohon untuk tidak kembali ke kelas."     Bermacam-macam reaksi yang mereka ekspresikan. Ada yang biasa saja, ada yang mendecih sebal, dan bahkan ada yang mengumpat sang protokol di dalam hati. Namun mayoritas ... mengumpat. Pasalnya, acara tambahan setidaknya akan memakan waktu 15 menit. Lumayan untuk menyiksa kaki.     "Selamat untuk Tim Olahraga SMA Nusantara dalam lomba Olimpiade Olahraga Nasional."     "Almira Maudia, X MIA 1, medali emas cabang olahraga renang putri. Deyunda Rusmantoro, X MIA 3, medali perak cabang olahraga renang putra. Karin Agatha, XI IIS 3, medali emas cabang olahraga lari marathon. Jean Fahrully, XII MIA 5, medali perunggu cabang olahraga lari sprint ...."     Suara protokol yang menyebutkan murid berprestasi terdengar mirip dengungan lebah. Terutama di telinga gadis berambut hitam kelam bernama lengkap Aaleasha Cleonna. Ia ingin cepat-cepat masuk kelas dan mendinginkan badannya yang rasanya sudah terbakar itu.     "Duh, lama banget, sih," keluh perempuan di sebelahnya.     Aalea turut mendengus. Ia sudah lelah. Dan ia tak suka mendengar orang yang suka mengeluh. Biarpun itu teman dekatnya sendiri.     "Ngeluh mulu lo!" ujar Aalea sewot. Gadis di sampingnya itu hanya tertawa kecil.     Peserta upacara sibuk berbicara masing-masing. Sampai sebuah nama disebutkan.     "Arjuna Dirga Cakrawala, XI MIA 1, cabang olahraga panahan putra."     Seketika siswi-siswi bertepuk tangan. Ada juga yang berteriak kegirangan menyebutkan nama 'Arjuna'. Situasi cukup histeris. Yang jelas, di mata Aalea, mereka mirip cacing kremi.     Murid-murid berprestasi yang disebutkan namanya pun maju ke depan. Namun perhatian--hampir dari satu sekolah--tertuju pada Arjuna. Bukan situasi yang luar biasa, setidaknya sebulan sekali Arjuna pasti dipanggil ke depan saat upacara karena prestasinya. Pemuda itu berbakat hampir di segala bidang. Mulai dari akademik sampai non akademik. Belum lagi wajahnya yang suami-able dan sifat baiknya. Sempurna. Itulah cap yang diberikan oleh penghuni SMA Nusantara padanya.     Biar kudeskripsikan sedikit mengenai fisik Arjuna. Sesuai namanya, wajah Arjuna tampan. Kelewat tampan. Hidungnya mancung, alisnya tebal, bulu matanya lentik, jawline-nya yang tajam, kulitnya kuning langsat, rambutnya messy alami, dan kumisnya yang tumbuh tipis-tipis di atas bibirnya.     Berbeda dengan murid lain yang mengagumi Arjuna, Aalea memasang reaksi berbeda. Tampangnya datar, sedatar aspal jalanan. Sejujurnya, Aalea tak menyukai Arjuna. Bahkan sangat membencinya. Tentu Aalea punya alasan di balik ketidak sukaannya itu.     "Njir, Arjuna ganteng banget!" ujar gadis ber-name tag Jaslyn Wiradrana yang berdiri tepat di samping Aalea.     Aalea sudah muak mendengar pujian semacam itu keluar dari mulut Jaslyn untuk Arjuna. Muak. Sangat muak. Apalagi mereka sebangku dan Jaslyn setidaknya akan memuji Arjuna delapan kali dalam sehari.     Setelah berfoto-foto dengan medali dan kepala sekolah, murid-murid berprestasi kembali ke barisannya. Dan ... akhirnya ... upacara resmi berakhir. Syukurlah. Pikir Aalea.     Barisan upacara bubar. Aalea langsung menggandeng lengan Jaslyn. Mereka segera melangkah menuju kelas. Tidak ada namanya 'jalan lambat' untuk saat ini. Karena apa? Karena jam pelajaran pertama adalah Pak Danuㅡguru fisika ter-killer sepanjang masa.     "Aalea!"     Sontak langkah Aalea terhenti ketika namanya diserukan. Begitu juga Jaslyn, ia ikut berhenti. Aalea tak tau betul suara siapa itu. Ia memutuskan untuk membalik badannya dan melihat siapa yang memanggilnya. Di ujung lorong yang mulai sepi ini ... seorang laki-laki berdiri. Seragam putihnya agak basah karena keringat. Bibirnya itu menyunggingkan senyuman manis yang selama ini dieluh-eluhkan oleh penghuni SMA Nusantara. Dia ... Arjuna.     Arjuna berlari kecil ke arah Aalea. Sementara Aalea masih datar dan malah bertanya sekaligus memaki dalam hatinya. s****n. Mau apa, sih?     Kaki panjang Arjuna berhenti tepat di depan Aalea. Ia menyodorkan buku bersampul kuning dengan bentuk persegi panjang. Buku yang Aalea incar dari perpustakaan akhir-akhir ini.     "Nama lo Aalea. Gue bener, kan?" tanya Arjuna masih dengan senyuman menawan miliknya. Aalea diam. Ia terlalu malas bahkan untuk sekedar menjawab 'iya'. Sedangkan Jaslyn--yang masih berdiri tepat di samping Aalea--kakinya melemas dan dahinya mengucurkan keringat dingin. Bagaimana tidak? Pangeran sekolah yang biasanya ia puji dan lihat dari jauh kini ada di hadapannya! Ini pertama kalinya Jaslyn melihat Arjuna dengan jarak dekat. Ternyata Arjuna lebih tampan dari penilaiannya selama ini. Sudah pasti membuat Jaslyn makin klepek-klepek. Mirip ikan yang kehabisan air.     "Ini buku yang mau lo pinjem. Pas hari sabtu gue nyariin lo. Tapi lo udah pulang. Jadi gue baru sempet ngasih ke lo hari ini. Sorry, ya?" tutur Arjuna lembut.     Aalea masih memasang wajah datarnya. Sejujurnya, ia sangat membutuhkan buku yang disodorkan Arjuna itu. Tapi sepercik gengsi dalam batinnya menolak keras.     "Enggak. Gue udah nggak butuh," sinis Aalea. Perempuan itu langsung membalikkan badannya dan berjalan menuju kelas. Meninggalkan Jaslyn yang masih sibuk mengagumi ketampanan Arjuna.     Jaslyn tersadar. Aalea setidaknya sudah berjalan delapan meter jauhnya. Jaslyn melambaikan tangan pada Arjuna. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Setidaknya begitu pemikiran Jaslyn. Setelah itu Jaslyn berlari. Menyamakan langkahnya dengan Aalea, teman dekatnya yang menurutnya aneh itu.     "Kenapa, sih, lo gak nerima bukunya? Arjuna jauh-jauh dari lapangan ngejar lo sampe keringetan gitu cuma buat ngasi buku dan lo tolak!" cercah Jaslyn. "Parah!" Aalea memutar matanya sarkastik. Tak menjawab ucapan Jaslyn.     "Kok lo bisa kenal sama Arjuna, sih? Kalian kenal dimana? Pelatihan olimpiade, ya?" tanya Jaslyn.     Bagi Aalea, sekarang Jaslyn sudah menjelma mirip radio rusak. Jaslyn sendiri sebal karena kata-katanya tidak direspon satu pun.     "Ih Aalea! Jawab dong!" gerutunya kesal.     Aalea menghembuskan napasnya berat, "Denger baik-baik ya, Jaslyn. Gue gak kenal sama Arjuna-Arjuna itu. Kemarin gak sengaja ketemu di perpus."     "Terus, kenapa lo gak nerima bukunya? Kenapa, sih, lo kelihatan gak suka gitu sama dia?" tanya Jaslyn. Lagi.     Aalea bungkam beberapa saat. Dia memilih terus melangkahkan kakinya dan tak lama buka suara.     "Kalo lo jadi gue, lo juga gak bakal suka sama yang namanya Arjuna!" tegas Aalea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD