Part 1 : Gloria Reesha Giovanni

1677 Words
Los Angeles, Februari 14th 2011  Malam semakin larut namun tak membuat orang-orang segera untuk memasuki hunian. Keadaan pusat kota semakin malam justru terlihat semakin ramai, semakin penuh oleh orang-orang yang mencari hiburan dan mencari kesanangan untuk melepaskan penat. Jalan raya penuh, pusat perbelanjaan juga tak kalah penuhnya. Apalagi tempat hiburan malam. Satu persatu ketika semakin malam semakin dipenuhi banyak orang yang ingin bersenang-senang. Namun ditempat lain, disebuah kedai makanan pinggir jalan. Seorang perempuan terus menebar senyuman dan menyambut orang-orang yang memasuki kedai. Bibir itu seolah tak lelah untuk merekah, suara ceria itu seolah tak lelah untuk selalu menyapa. Perempuan itu dengan pakaian khas pelayan berjalan dengan cepat kesana kemari dengan kedua tangan memegang nampan, membawakan satu persatu pesanan untuk para pelanggan.   “Happy Valentine Day. Silahkan dinikmati.” Ucap perempuan itu seraya menyunggingkan senyuman cantiknya. Setelah itu ia kemudian berjalan kembali keara counter.   “Selamat datang ... silahkan duduk.” Sapa perempuan itu lagi ketika pintu kedai berbunyi. Setelahnya ia mendekati pelanggan tersebut.   “Silahkan ini menu makanan spesial yang kedai kami tawarkan. Jika sudah memilih anda bisa segera panggil saya, Sir.” Ujarnya, kemudian berbalik. Ketika ia hendak beranjak langkahnya terhenti saat mendengar pelanggan tersebut mengatakan hal yang membuatnya sakit hati.   “Serius kau membawaku ketempat ini Robin? Kau tau ‘kan selera makanku? Aku pemilih. Selain itu aku harus memakan makanan yang bergizi tinggi.”   Perempuan itu, Gloria Reesha Giovanni. Seorang perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang sedang bekerja paruh waktu demi bisa menyelesaikan urusan administrasi semester terakhir kuliahnya, agar ia bisa segera mendapatkan ijazah lalu bekerja ditempat yang lebih baik lagi. Demi memenuhi kebutuhannya dan mengubah hidupnya yang dirasa masih begitu banyak kekurangan.   Perempuan itu menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya kembali, lalu tersenyum lebar sebelum berbalik menghadap seorang laki-laki yang baru saja ia berikan buku menu.   “Mohon maaf Sir, anda bisa tenang. Karena kami menggunakan bahan-bahan segar dan tentu saja mengandung gizi yang sangat tinggi.” Gloria tersenyum seraya menunjuk salah satu menu. “Anda bisa pesan makanan ini, makanan spesial yang kedai kami buat untuk malam ini. Jika anda menyukai daging, disini kami menyediakan daging berkualitas tinggi yang tentu saja tidak akan pernah mengecewakan pelanggan. Jika anda menyukai sayuran, sayuran di kedai kami adalah sayuran hasil dari perkebunan boss kami sendiri, sehingga dijamin kesegarannya. Anda tak perlu meragukannya lagi.” jelas Gloria diakhiri dengan senyuman menahan rasa kesal. “Silahkan pilih menu yang anda minati.”   “Aku tak minat. Tak ada yang menarik.” Ujar laki-laki itu, tak acuh.   Gloria menahan amarahnya yang hampir meledak. Tenang ... tenang Glory ... pembeli adalah raja. Ia kembali mengembangkan senyumannya.   “Bukankah lebih baik anda mencobanya dulu? Saya jamin anda akan menyukainya, anda pasti akan ketagihan dengan menu andalan kedai kami.”   Laki-laki itu kini menatap Gloria dengan tatapan tajam. “Bagaimana jika ternyata aku tak suka? Apa jaminannya?”   Mata Gloria mengerjap sesaat. Jaminan? Gloria meringis dalam hatinya. Bodoh! Seharusnya kau tidak mengatakan itu Glory! Kau cari mati.  Sesalnya dalam hati.   Gloria membasahi bibirnya perlahan. “Anda tak perlu membayar makanan anda.” Balas Gloria.   “Baik. Beri aku menu terbaik direstoran ini dan berikan menu spesialnya.”   Gloria meringis kembali dalam hatinya. Matilah. Padahal ia sedang sangat membutuhkan uang. Tapi jika seperti ini uangnya pasti akan habis hanya untuk membayar makan orang asing ini. Tamatlah sudah riwayatnya. Ia tak akan bisa melakukan wisuda tahun ini jika tanpa uang dari bayaran dari part-time yang sedang ia jalani ini.   Gloria terus menerus menyesali keputusannya yang telah gegabah mengatakan hal itu, memberi jaminan pada orang asing yang sebenarnya setelah dipikirkan lagi, tak masalah juga jika laki-laki itu tak jadi makan. Bukan urusannya, bukan juga kepentingannya dan sebenarnya juga tak akan merugikannya. Tapi sekarang ... ia justru merugikan diri sendiri, karena jika dia benar-benar tidak membayar ialah yang harus secara sukarela mengeluarkan uang. Karena tak ada ketentuan seperti itu dari kedai yang ia jaga. Sepanjang ia menunggu pelanggan lain, ia hanya duduk dibalik counter ia terus meringis menyesali semua kebodohannya. Ia tau, sebenarnya ia selalu bertindak sebelum berpikir. Tapi bagaimana bisa ia masih seperti itu saat dalam waktu yang sangat mendesak? Bagaimana bisa? Kemana akal sehatnya?   “Bodoh! Bodoh!” desis Gloria tajam seraya membentur-benturkan keningnya pada meja counter.   Tok tok!   Ketukan didepannya membuat Gloria mendongakkan kepala. Salah satu dari laki-laki yang ia tegur berdiri disampingnya. Bukan, bukan laki-laki yang berketa menyebalkan itu. Tapi laki-laki lain yang jika ia tak salah dengar bernama Robin.   “Ah! Ya ... ada yang bisa saya bantu?” Gloria berdiri seraya memaksakan untuk tersenyum lebar.   Laki-laki itu tidak mengatakan apapun, ia hanya mengeluarkan pecahan uang sebesar seratus ribu dollar dari tangannya. Senyuman Gloria mengembang sempurna. Bukankah ini berarti ia tak perlu membayar tagihan laki-laki itu? Gloria kali ini benar-benar tersenyum lebar, lalu menerima uang tersebut.   “Sebentar, saya ambil kembaliannya terlebih dahulu.”   “Tak perlu. Sisanya bonus untukmu.” Jawab laki-laki itu dengan cepat sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Gloria yang terpaku ditempatnya. Pandangan Gloria beralih kearah tempat duduk sebelumnya, disana ia melihat laki-laki itu menatapnya datar sebelum dia berdiri dan akhirnya pergi meninggalkan kedai itu.   Pandangannya teralih, menatap uang ditangannya lagi. Demi Tuhan! Makanan yang mereka makan bahkan tidak sampai seribu dollar. Tapi dia memberinya seratus ribu dollar? Yang artinya, sembilan puluh ribu dollar adalah miliknya?   Senyuman Gloria mengembang, akhirnya ... sekarang ia bisa wisuda tepat waktu. Jika seperti ini ia bahkan bisa membayar sisa utang pembayaran flat huniannya hingga bisa memperpanjang kontrak flat-nya itu selama setahun penuh. Ternyata ... kecerobohannya kali ini membuahkan hasil yang bagus. Ia tak menyesal, ia bahkan tak akan pernah menyesali kecerobohannya jika berakhir beruntung seperti ini.   ***   Gloria melangkahkan kakinya memasuki flat sederhana yang berada di pinggiran kota. Ketika ia masuk, ia melihat ada sosok paman-nya duduk di ruang tamu. Ia kemudian tersenyum lebar.  “Paman!” serunya. “Kapan datang? Beruntung sekali paman datang sekarang. Lihat aku membawa banyak makanan.” Ujar Gloria seraya memperlihatkan makanan ditangannya.   Pria itu, paman Gloria. Greg Itonus. Adik dari Ibunya. Satu-satunya anggota keluarganya yang selamat dari kebakaran gedung flat hunian mereka tiga tahun silam. “Uangmu banyak sampai beli makanan mewah begini?” tanya Greg seraya mendudukkan diri dihadapannya.   Senyuman Gloria mengembang. “Tak banyak Paman, hanya saja ada uang berlebih. Kebetulan pemilik kedai juga memberi diskon. Jadi yasudah ... aku beli saja.” ujarnya seraya tersenyum. “Tadinya aku memang akan menghubungi Paman. Tapi insting paman pada makanan sepertinya sangat peka.” Ujar Gloria seraya tertawa pelan.   Greg tertawa pelan. “Benar ... sepertinya instingku terhadap makanan memang sangat kuat Gloria. Sampai-sampai aku datang tepat waktu.”   Gloria menyiapkan piring, lalu menuangkan makanan yang ia bawa. “Makanlah Paman ... .”   “Glory.” Panggil Greg disela kunyahannya. “Apa kau ada uang simpanan? Paman membutuhkan uang untuk membuka usaha. Karena Paman pikir lebih baik membuka usaha sendiri daripada harus bekerja pada orang lain dengan penuh tekanan.”   Gloria mengangguk setuju dengan gagasan yang diutarakan oleh Greg. Memang benar, tak ada pekerjaan yang lebih baik daripada memiliki usaha sendiri. Karena dengan begitu ia bisa mengelolanya sendiri tanpa ada tekanan dari atasan. Perempuan itu menarik nafas panjang. “Glory ada sedikit uang Paman, tapi tak banyak. Karena Glory juga harus membayar sisa utang sewa flat dan juga membayar untuk wisuda. Apakah lima puluh ribu dollar cukup paman?”   Senyuman Greg merekah ketika mendengar nominal yang Gloria katakan. Setelanya ia mengangguk. “Cukup Glory, jika ditambahkan dengan uang yang Paman miliki yangnya akan sangat cukup.”   Gloria ikut tersenyum lebar. “Syukurlah.” Setelah itu ia mengambil uang dari dompetnya. Uang lima puluh ribu dollar yang seharusnya ia jadikan simpanan masa depannya. Tapi ... tak apa. Pamannya, keluarga satu-satunya. Jika ia tidak membantu, nanti ketika ia membutuhkan bantuan. Pada siapa ia akan meminta bantuan juga?   “Semoga usaha paman berhasil.” Ujarnya seraya tersenyum begitu lebar.     Los Angeles, Februari 9th 2012.   Gloria melepaskan kedua sepatu hak tinggi yang sudah membingkai kakinya selama lebih dari dua belas jam. Kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Melepas penat dan juga lelah yang menguasainya.   “Aku sangat lelah.” Gumam Gloria. Seharusnya ia menerima tawaran untuk bekerja dari pamannya dulu ketika pamannya mulai membangun usaha. Setidaknya ketika ia melakukan itu ia pasti akan termasuk petinggi perusahaan. Apalagi dari kabar yang ia dengar beberapa bulan lalu, usaha pamannya sedang melonjak naik hingga banyak sekali tawaran untuk bekerja sama.   Tapi sudahlah ... nasi sudah menjadi bubur, kini saatnya ia menikmatinya saja. Menikmati pekerjaan yang ia pilih sejak dulu, meskipun terasa begitu lelah tapi ia menerima upah yang lebih baik daripada sekedar part-time di kedai.   Tok tok tok!   Kening Gloria mengerut, heran. Karena sebenarnya tak pernah ada yang bertamu padanya selain pemilik flat dan Pamannya. Tapi setelah pendirian usahanya, Pamannya tidak pernah datang lagi. Ketika ia bertanya mengapa, dia selalu mengatakan bahwa dia sangat sibuk dengan pekerjaannya.   Ketika pintu flat-nya dibuka. Ternyata ... pamannya yang benar-benar datang.   “Paman!” seru Gloria dengan senyuman cerahnya. “Paman apakabar? Paman sehat?”   Greg tersenyum tipis. “Paman datang ingin mengajakmu makan malam bersama. Apakah kau sibuk Glory?”   “Tidak! Tentu saja tidak! Masuk dulu Paman, Glory akan berganti pakaian.” Ujar Glory seraya membukakan pintu lebih lebar. Namun pria itu menahannya.   “Tak perlu Glory, pakai pakaian ini saja. Cukup pakai saja sepatumu.”   Kening Gloria mengerut saat mendengar penuturan Greg, tapi ia tak mengambil pusing. Ia kemudian mengambil sebuah sepatu converse lalu ia kenakan untuk membingkai kaki jenjangnya.   “Cepat Glory.” Ucap Greg. “Tak ada waktu lagi.”   Kening Gloria mengerut. Tak ada waktu lagi? Memangnya ada hal mendesak apa sampai tak ada waktu lagi?   “Glory.” Panggil Greg lagi.   “Ah! Iya paman.” Gloria segera beranjak setelah meraih sebuah sling bag dan juga ponselnya.   “Paman ... bagaimana kabarmu?” tanya Gloria ketika mereka memasuki mobil milik pamannya. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”   Greg mengulas senyumannya. “Paman sangat sibuk Glory, sampai tak sempat untuk pergi kemanapun.”   Gloria mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Ya ... ia tidak mengharapkan jawaban lain. karena memang pasti karena sibuklah pamannya tak datang.   ***   “Paman apakah tidak terlalu mewah?” tanya Gloria ketika mereka berjalan bersama memasuki sebuah restoran bintang lima. Restoran yang sangat mewah, restoran dengan harga fantastis hingga satu menu makanannya saja, sepertinya sama dengan jatah makannya dalam enam bulan kedepan. “Paman.”   “Tidak Gloria. Tenang saja.” ujar Greg seraya mengedarkan pandangannya, menyapu isi restoran tersebut.   Gloria melihat Greg tersenyum lebar ketika matanya menangkap eksistensi seorang pria yang duduk disudut kanan restoran tersebut.   “Maaf membuatmu menunggu lama.” ujar sang paman.   “Baru saja aku berniat untuk pergi.” Balas pria itu, membuat Greg terkekeh pelan.   “Jadi ini?” tanya pria itu.   Gloria menatap pamannya kemudian menatap pria dihadapannya itu lalu tersenyum canggung. Siapakah pria ini? Kenapa peringainya tampak aneh?   “Benar. Ini Gloria keponakanku.”   Pria itu menyeringai. “Cukup bagus.”   Apa katanya? Cukup bagus? Gloria menatap pria dihadapannya itu yang secara terus-menerus menatap kearahnya dengan tatapan penuh selidik. Seakan sedang memindainya, dan menelanjanginya.   Gloria meneguk ludahnya kasar. Kenapa firasatnya tiba-tiba menjadi buruk?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD