Part 2 : Jackson Antoni Rexford

1741 Words
Los Angeles, Februari 14th 2011.   Pagi hari bahkan ketika matahari baru muncul malu-malu, seorang laki-laki berusia sekitar awal tiga puluhan telah keluar dari dalam kamar mandi dengan sebuah handuk dikepalanya yang mencoba mengeringkan rambutnya yang basah. Percikan air mengalir dari dari rambut hingga menuruni bahu tegap, d**a bidang bahkan sampai pada perutnya yang terbentuk sempurna. tak hanya enam pack tapi hingga delapan pack terbentuk sempurna disana. Terlihat begitu bugar dan berenergi. Sangat amat menggoda mata. Tak hanya itu, bisep dikedua lengannya pun terbentuk sempurna, tangannya terlihat lebar dengan jemari yang begitu panjang dihiasi urat-urat yang menyembul, terlihat begitu panas dan begitu menggoda untuk disentuh.   Dia, Jackson Antoni Rexford. Seorang Putera Mahkota dari Kerajaan Bisnis keluarga Rexford yang akan mewarisi seluruh harta kekayaan keluarga Rexford dan Rexford Corp. Sebuah perusahaan dengan bidang utama bergerak dibidang design. Design properti, rumah, project pembangunan perumahan hingga project penataan kota. Hingga membuat mereka memiliki perusahaan kontruksi sendiri. Bahkan kini perusahaannya juga berkembang dibidang design perhiasan hingga menghasilkan juga perusahaan yang bergerak dibidang logam mulia.   Laki-laki itu menatap pantulan dirinya dicermin sesaat, setelah itu ia berjalan kearah walk in closet  lalu mulai mengganti pakaiannya di tempat itu dengan pakaian yang senada seraya memanggil asistennya melalui panggilan telepon.   “Apa jadawalku hari ini?”   “Mr. Rexford, anda hanya perlu menghadiri rapat laporan cabang perusahaan Rexford Jewellery. Mereka sudah terbang dari Florida ke LA malam sebelumnya, kemungkinan mereka sudah sampai di hotel tengah malam.” Jelas asisten Jackson, Robin Jacob. Seorang laki-laki yang sudah menjadi asistennya sejak ia diangkat menjadi salah satu petinggi di perusahaan.   “Lalu?”   “Hari ini kantor bekerja setengah hari.”   Kening Jackson mengerut, laki-laki yang sedang berusaha mengenakan dasi melirik ponsel sesaat. “Kenapa begitu?”   “Hari ini tanggal empat belas Februari, Mr. Rexford. Tahun lalu anda sudah berjanji akan memangkas jam kerja dihari ini menjadi setengah hari.” jelas Robin. “Jangan bilang kau lupa Jackson?”   Jackson mendesis. “Tentu saja tidak. Meskipun aku b******n, aku tak akan pernah melupakan janji.”   “Bagus, karena jika tidak kau pasti akan mendapatkan kritikan dari seluruh karyawan.” Tegas Robin.   “Robin, memang apa spesialnya hari ini? Tak ada yang spesial menurutku, sama saja seperti hari lain.” ujar Jackson seraya mengenakan sebuah jas, lalu dirapihkannya saat berharapan dengan cermin kembali. Selain asisten, Robin memang karib terbaiknya sejak mereka menempuh pendidikan atas, sehingga mereka memang sesekali bersikap tidak formal ketika membicarakan masalah pribadi.   “Bagi seseorang yang selalu kesepian sepertimu hari ini memang tidak berarti Jackson.” Sindir Robin. “Tapi bagi mereka yang memiliki pasangan, mereka akan menghabiskan waktu bersama dihari ini, yang tentu saja untuk bersenang-senang dengan pasangan.”   Jackson mendesis. “Untuk apa memiliki pasangan? Buang-buang waktu. Sudahlah.”   “Baik, sampai nanti Mr. Rexford.”   Jackson mematikan sambungan teleponnya kemudian menata rambutnya sesaat. Setelah itu ia beranjak pergi keluar dari kamarnya itu, setelah meraih ponsel yang tergeletak dimeja.   Sebagai pemimpij perusahaan Jackson memang selalu berusaha untuk memberikan contoh yang baik pada seluruh karyawannya, dengan menerapkan hidup rapih, tegas dan juga menjunjung tinggi nilai disiplin serta tanggung jawab. Sehingga terkadang ia datang paling pagi daripada karyawan-karyawannya yang lain. Hanya untuk memberikan contoh pada seluruh karyawannya yang pemalas.   “Good morning. Happy valentine day Jackson.” Sapa seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu kandung Jackson sendiri, Emely. Wanita itu bersama dengan seorang pria yang tak lain adalah ayahnya, John. Mereka kini sedang duduk menghadap televisi dengan sebuah remote di tangan kanan Emely.   “Good morning too Ma, Pa.” Balas Jackson seraya berjalan memasuki area meja makan. “Kalian sudah sarapan?”   “Belum, kami menunggumu.” Jawab Emely sebelum beranjak kearah meja makan dengan John yang berada disampingnya. Pasangan orangtua itu kemudian mendudukkan diri menghadap kearah Jackson, menatap puteranya dengan penuh selidik. “Jackson ... .”   “Kenapa Ma?” tanya Jackson seraya menikati roti bakar yang kemungkinan ibunya itu buatkan. Tiba-tiba firasatnya menjadi buruk ketika melihat gerak-gerik dari orangtuanya.   “Kenapa Pa? kenapa malah menatapku?”   “Jackson ... kapan kau akan menikah? Kau sudah tiga puluh tahun.” Ujar John. “Dulu ketika usia Papa sama sepertimu sekarang, Papa sudah memiliki dirimu yang berusia lima tahun Jackson. Mau sampai kapan kau sendiri begini?”   Dengar ... benar ‘kan firasatnya? Mereka pasti akan membicarakan ini dan ini lagi sepanjang tahun. Terlebih ketika tangal empat belas Februari.   “Pa aku sibuk. Tak ada waktu untuk berkencan.” Elak Jackson beralasan.   “Jika seperti itu serahkan semua bagianmu pada Papa lagi dan akan Papa kembalikan setelah kau menikah.”   “Mana bisa begitu?” Jackson menatap John dengan mata yang memicing.   “Agar kau fokus mencari pasangan.” Jawab John seraya menatap sang putera. “Atau mau kuaturkan blind date? Siapa yang tahu ‘kan? Kau akan cocok.”   “Tidak Pa, Jackson akan mencari pasangan Jackson sendiri, yang sesuai dengen keinginan Jackson.” Tolak Jackson yang membuat ibunya menghela nafas.   Emely menarik nafas panjang. “Jackson, bawalah pasangan yang sesuai dengan keinginanmu kehadapan kami. Siapapun, darimanapun, dengan latar belakang sosial apapun. Kami tak akan peduli, yang terpenting dia mau hidup denganmu dan kau bahagia bersamanya.”   Jackson mendesis pelan seraya tertawa masam. “Yang teroenting dia mau hidup denganku? Ma jangan bercanda, banyak wanita yang mengantri ingin hidup bersamaku.” Ujarnya, “Kau berbicara seolah tak ada yang mau denganku saja.” lanjut Jackson diakhiri dengan dengusan pelan.   “Jangan mengada-ada. Memang siapa yang akan tahan dengan sikapmu yang sangat egois, keras kepala dan mau menang sendiri? Jika memang wanita mengantri untuk hidup denganmu, kau tak akan jadi seperti laki-laki kesepian pada hari dimana orang-orang sedang memadu kasih Jackson.” Balas Emely yang membuat puteranya kembali mendengus pelan.   Jackson menarik nafas panjang di sela kunyahannya. Kemudian setelah itu ia  meneguk segelas air mineral yang tergeletak disisi kanan tangannya. “Baiklah Ma, Pa. Jackson sudah selesai. Jack akan ke kantor sekarang. Sampai nanti.” Pamitnya kemudian beranjak pergi begitu saja, tanpa mengindahkan seruan orangtuanya, yang membuat ia sangat sebal bukan kepalang.   “Papa akan kirimkan profil pasangan kencanmu Jack. Jangan lupa di cek setelah sampai di kantor.”   Terserah. Toh ia tak akan pernah datang keacara-acara seperti itu.   ***   Malam semakin larut, ketika seluruh karyawan sudah meninggalkan kantornya.hampir sepuluh jam yang lalu. Ia masih berkutat saja di kantornya, memeriksa beberapa dokumen yang sudah tertumpuk dimeja kerjanya itu.. Menyelesaikan sisa pekerjaannya demi menghindari malam ini, menghindari blind date dan juga menghindar untuk pulang kerumah.   Tak lama setelah itu ia mendengar suara dari seseorang yang mendekat. “Jack saatnya pulang. Hampir tengah malam.” Tegur Robin.   “Kau tau sendiri, aku tak ingin pulang cepat Robin.”   Robin menghembuskan nafasnya pelan. “Aku bosan, kau tau? Ini Valentine day dan kau hanya diam di kantor? Memang apa asiknya? Tentu saja bosan ‘kan?”   “Aku tau kau diminta orangtuaku agar aku pergi blind date ‘kan?” tanya Jackson curiga.   “Tidak. Tidak Jack. Bukan begitu.” Elak Robin, namun ketika melihat tatapan tajam dari Jackson, ia kemudian menghembuskan nafasnya. “Baiklah, aku akui aku memang diminta untuk membawamu blind date.” Ujar Robin pelan. “Tapi aku jujur saat mengatakan aku bosan.”   “Pergi saja sana.”   “Tidak, aku tidak akan membiarkanmu sendiri.” tolak Robin. “Bagaimana jika kita makan malam? Kau belum makan malam Jackson.”   “Malas.”    “Memang apa yang membuatmu tak malas?” Robin menghela nafas lagi. “Sudahlah, ayo pergi. Aku punya satu tempat dengan makanan yang sangat enak. Aku yakin kau akan menyukainya.”   Jackson mengangkat wajah. Lalu berbicara dengan datar. “Kalau sampai kau mengajakku untuk bertemu dengan wanita yang orangtuaku pilih, akan aku potong masa depanmu.” Ancamnya.   Robin bergidik ngeri. “Tidak, ini murni pilihanku. Aku tidak akan membuatmu bertemu wanita pilihan orangtuamu lagi.”   “Good.” Ujar Jackson seraya berdiri dari meja kerjanya. “Ayo pergi.”   ***   “Selamat datang ... silahkan duduk.” Seru seorang pelayan ketika Jackson dan Robin memasuki kedai tersebut.   “Silahkan ini menu makanan spesial yang kedai kami tawarkan. Jika sudah memilih anda bisa segera panggil saya, Sir.”   Jackson menerima buku menu dari pelayan tersebut lalu membacanya satu persatu. “Serius kau membawaku ketempat ini Robin? Kau tau ‘kan selera makanku? Aku pemilih. Selain itu, aku harus memakan makanan yang bergizi tinggi.”   Robin memutar bola mata, namun ketika baru saja ia ingin membuka suara. Suara pelayan itu kembali terdengar, membuat Robin mengalihkan pandangannya. Sementara Jackson tampak sangat acuh.   “Mohon maaf Sir, anda bisa tenang. Karena kami menggunakan bahan-bahan segar dan tentu saja mengandung gizi yang sangat tinggi.” Pelayan itu tersenyum seraya menunjuk salah satu menu. “Anda bisa pesan makanan ini, makanan spesial yang kedai kami buat untuk malam ini. Jika anda menyukai daging, disini kami menyediakan daging berkualitas tinggi yang tentu saja tidak akan pernah mengecewakan pelanggan. Jika anda menyukai sayuran, sayuran di kedai kami adalah sayuran hasil dari perkebunan boss kami sendiri, sehingga dijamin kesegarannya. Anda tak perlu meragukannya lagi.” jelasnya lagi lalu diakhiri dengan senyuman. “Silahkan pilih menu yang anda minati.”   “Aku tak minat. Tak ada yang menarik.” Ujar Jackson lagi, masih dengan tak acuh.   “Bukankah lebih baik anda mencobanya dulu? Saya jamin anda akan menyukainya, anda pasti akan ketagihan dengan menu andalan kedai kami.”   Robin menatap pelayan tersebut dan Jackson secara bergantian. Lalu tersenyum kecil menyaksikan pemandangan seru didepannya, membiarkan mereka berdebat tanpa berniat melerai.   Setelah hanya mengabaikan perempuan itu, Jackson akhirya mendongak. “Bagaimana jika ternyata aku tak suka? Apa jaminannya?” tantang Jackson.   “Anda tak perlu membayar makanan anda.”   Jackson menaikkan satu alisnya sesaat, penawaran yang cukup berani. Pikirnya. “Baik. Beri aku menu terbaik direstoran ini dan berikan menu spesialnya.”   “Kau gila.” Ucap Robin setelah perempuan itu pergi.   “Apa?”   “Tidak.” Balas Robin. “Lucu melihatmu berdebat dengan perempuan seperti tadi, seru juga.”   Jackson memutar bola matanya, membuat Robin tergelak sesaat. “Apa kau tertarik padanya? Aku melihat kalian cukup serasi.” Ujar Robin yang langsung mendapatkan tatapan mata yang begitu tajam, diam. Tidak memberikan komentar apapun lagi. Hingga, tak lama kemudian makanan yang ia pesan datang.   “Aku jamin kau suka Jack, aku rasa akan sesuai seleramu. Makanlah.”   Jackson menikmati hidangan sederhana tersebut, ketika makanan itu hinggap di indra penyecapnya. Ternyata makanan tersebut tidak sesederhana kelihatannya, cita rasa yang makanan itu berikan benar-benar layak untuk diperhitungkan, bahkan ia rasa bisa menyaingi restoran-restoran bintang lima. Tak salah memang perempuan tadi tersinggung dengan ucapannya. Karena rasanya memang sangat enak.   “Bagaimana menurutmu?” tanya Robin setelah Jackson menghabiskan makanannya.   Jackson menyeka sisa air minum dibibir dengan sapu tangan dari sakunya. “Pergilah, bayar makanannya. Beri wanita itu seratus ribu dollar.”   Mata Robin membulat. Namun Jackson segera menatapnya dengan tatapan heran. “Apa?” tanya Jackson. “Berikan sekarang.”   Robin berjalan kearah counter, tak lama kemudian perempuan itu muncul dari belakang meja. Setelahnya Jackson menatap lamat pada perempuan muda yang terus tersenyum cerah itu, dengan tangannya yang bahkan menggenggam erat uang yang baru saja Robin berikan. Jackson menarik ujung bibirnya sesaat. Apakah seratus ribu dollar sangat berarti untuknya? Bukankah itu hanya nominal kecil saja?   Pandangannya bertemu dengan pandangan yang perempuan itu berikan. Setelah itu ia beranjak pergi begitu saja.  ketika sampai di pintu keluar ia menoleh kembali pada perempuan tadi. Senyumannya terlihat sangat bahagia.   “Lucu, dia terlihat senang menerima uangnya.”   Robin menghembuskan nafas. “Siapa yang tak senang. Makan tidak sampai seribu dollar tapi menerima uang seratus ribu dollar?”   “Manis dan cukup cantik.” Gumaman Jackson tanpa sadar.   Kening Robin mengerut, lalu melirik kearah Jackson yang terlihat mengembangkan senyumannya walaupun tidak terlalu lebar.   “Manis ya?” tanya Robin setelah mereka keluar dari dalam kedai itu.   Jackson menatap tajam pada Robin yang sedang tersenyum menyeringai kearahnya. “Memang kenapa? Aku hanya berkata jujur.”        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD