2. Permulaannya Dari Sini

2105 Words
-Jakarta- (10 tahun kemudian) *POV AUTHOR* Tidak terasa waktu bergulir begitu saja. Sepuluh tahun telah berlalu sejak Marcell pindah ke Jakarta. Selama kurun waktu yang tidak sebentar itu, tidak pernah terjalin komunikasi dalam bentuk apa pun antara Marcell dengan Renata. Marcell seolah hilang ditelan bumi. Namanya sudah tak lagi disebut di lingkar pertemanan Renata. Tidak ada satupun teman-teman SMP mereka berdua yang pernah membicarakan soal Marcell lagi. Begitupun Fallen yang notabene adalah sahabat karib Marcell. Setelah tamat SMP Renata sendiri juga pindah kota seperti biasanya. Jadi dia juga tidak pernah lagi mendengar atau mencari tahu soal apa pun yang berhubungan dengan Marcell. Renata menganggap bahwa Marcell hanya teman biasa yang akan terlupakan begitu saja jika tidak ada komunikasi apa pun dengan dirinya. Dan di sinilah kini Marcel berada. Di lantai 34 sebuah gedung pencakar langit yang terletak di pusat kota ibukota negara ini. Sudah dua tahun ini Marcell resmi menjabat sebagai CEO PT. Anggara Karya, sebuah perusahaan kontraktor paling diperhitungkan di tanah air. Selama kurun waktu 20 tahun tak bisa dihitung lagi banyaknya pengalaman proyek yang dilakukan oleh perusahan tersebut dan kontribusinya terhadap suksesnya proyek pembangunan insfrastruktur di tanah air. Nama PT. Anggara Karya sudah sangat dominan sekali dan exis di dunia konstruksi tanah air. "Pak Marcell ini berkas-berkas yang Anda minta dan juga beberapa calon pelamar yang sudah melamar di perusahaan. Ada lima calon pelamar yang menurut HRD sesuai dengan kriteria. Tinggal Anda yang memutuskan siapa diantara mereka yang potensial dan layak menempati posisi creative design interior yang baru." "Letakkan saja di meja!" Marcell hanya menjawab singkat penjelasan panjang sekretarisnya dengan. Raut wajahnya terkesan datar dan dingin.Tidak ada seulas senyum pun tergambar di wajah tampan bak dewa Yunani itu. "Kalau tidak ada yang bapak perlukan lagi saya permisi dulu." Tanpa membutuhkan jawaban atasannya, Lani, sekretaris utamanya tadi bergegas meninggalkan ruangan pimpinannya. Sepeninggal sekretarisnya, Marcell bergumam sendiri menatap skyline Jakarta pagi itu dari balik kaca besar yang berada di ruangannya. "Di mana kamu Rena? Sudah hampir 2 tahun sejak kembali ke Indonesia aku berusaha mencarimu. Tapi saat ini, aku hampir frustasi karena tidak bisa menemukanmu di seluruh penjuru negeri ini? Ke mana lagi aku harus mencari kamu?" Tangan Marcell mengepal kuat hingga menyembulkan urat-urat di punggung tangannya. Sadar dia mulai sulit mengontrol emosiya jika menyangkut soal Renata, Marcell menuju meja dan memeriksa berkas-berkas yang diserahkan oleh Lani beberapa menit yang lalu. Sesekali Marcell berdecak keras karena para pelamar yang kata Lani tadi merupakan hasil seleksi ketat dari HRD, ternyata tidak ada yang sesuai dengan spesifikasi untuk bisnis baru yang akan dibangun oleh Marcell. Sejak kembali ke Indonesia Marcell memang tertarik untuk melebarkan sayap bisnis peninggalan mendiang Papanya merambah ke bisnis properti yang saat ini memang sangat digemari oleh masyarakat dari semua kalangan. Selama ini proyek yang dikerjakan oleh PT. Anggara Karya memang hanya berkutat pada proyek-proyek besar seperti kerja sama dengan pemerintah dalam membangun infrastruktur, pembangunan gedung-gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan yang jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Hampir saja Marcell putus asa dan memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca biodata para pelamar. Sampai akhirnya kegiatannya itu sampai juga pada map file berwarna merah muda. Dibacanya curicullum vitae seorang pelamar tersebut hingga beberapa kali. Meyakinkan dirinya sendiri kalau dia tidak salah baca dan apa yang tertera di kertas putih tersebut adalah benar adanya. "Renata Aulia Gunawan, usia 23 tahun. Apa ini CV milik Rena? Perempuan yang selama ini aku cari?" Sekali lagi Marcell membaca deretan nama itu. Kali ini dengan bersuara pelan. Dibukanya lembaran demi lembaran dan sampai juga pada kolom foto berukuran postcard. "Aku tidak yakin ini kamu Rena. Ach..., waktu sepuluh tahun pasti sudah banyak memberi perubahan padamu tentunya." Marcell mengusap foto tersebut, foto seorang perempuan cantik berambut hitam lurus sebahu, dengan senyum tipis di bibirnya yang dioles lipstik berwarna peach, matanya kecil cenderung sipit juga warna manik mata yang cukup unik abu-abu gelap. "Jadi selama ini kamu berada tidak jauh dariku, jarak kita hanya tidak lebih dari dua jam perjalanan. Tapi mengapa aku begitu sulit menemukanmu, Rena?" Mata Marcell berbinar-binar, wajah yang biasanya dingin berubah menjadi ramah. Dia bergegas menuju ruangan sekretarisnya sambil membawa map file berisi data-data milik Renata. "Lani serahkan ini pada HRD. Saya memutuskan untuk menerima pelamar ini. Oiya, perintahkan saja dia langsung segera bekerja karena kita tidak punya cukup banyak waktu," ujar Marcell antusias. "Satu lagi, siapkan ruangan khusus untuknya di lantai ini saja," tandas Marcell penuh semangat. Marcell meninggalkan Lani dengan memberikan senyum sekilas pada sekretarisnya itu. Memberikan dua perintah sekaligus, kalimat terpanjang yang pernah Marcell ucapkan di luar forum rapat dan menghampiri ruangan sekretaris adalah tiga hal yang tak pernah dilakukan oleh Marcell selama menjabat menjadi CEO perusahaan peninggalan papanya itu. Dan hari ini Marcell melakukan tiga hal tersebut dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit. Bagi Lani tentu hal tersebut adalah sebuah kemajuan besar bagi bos dingin dan kaku tersebut. "What??? Pak Marcell senyum ke gue? Dan tunggu-tunggu dia menyerahkan sendiri map ini ke meja gue, biasanya kan nelfon dan nyuruh gue masuk ruangannya. Wiewww..., ada angin segar apa neh? Disenyumin pak Marcell kok jadi adem ya hati ini?" celoteh Lani. Segera dibukanya map yang diserahkan oleh Marcell tadi. Ditekannya tombol pesawat telepon sesuai deretan angka yang tertera di curriculum vitae. Setelah nada sambung ke 3 terdengar sahutan dari seberang telepon. "Selamat pagi, apa benar saya berbicara dengan Nona Renata Aulia Gunawan? Kami dari PT. Anggara Karya Corporate memberi kabar bahwa lamaran kerja Anda telah kami terima dan Anda dinyatakan diterima bekerja di perusahaan kami. Kami tunggu kehadiran Anda tanggal 1 Juni di kantor kami untuk mendapatkan bimbingan dan arahan supaya bisa segera memulai pekerjaan. Untuk informasi selengkapnya sesaat lagi Anda akan tersambung ke bagian HRD. Terima kasih dan selamat pagi." Lani menutup sambungan teleponnya, dan dia dikejutkan oleh seseorang yang sedang berdiri bersendikep di hadapannya. "Tuan Anggara ada, Lan? Saya mau bertemu dengannya." "Sebentar nona Shelin, saya telfon Pak Marcell dulu." "Oh, tidak perlu, saya akan langsung masuk saja kalau memang dia sedang berada di ruangannya." Perempuan yang disapa Nona Shelin tadi melenggang santai masuk ke ruangan Marcell. "Tapi nona-" Perempuan tadi tidak menggubris perkataan Lani. Akhirnya Lani hanya bisa menghela napas panjang. Lani khawatir setengah mati, mood baik bosnya akan hancur jika berhadapan dengan perempuan angkuh seperti Shelina tersebut. "Selamat pagi Anggara sayang. Kita sarapan bareng yuk." "Ada perlu apa kamu menemuiku?" tanya Marcell dingin. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku jadi sedih mendengarnya." "Lebih baik kamu keluar sekarang juga! Aku sedang tidak ingin melihat wajah kamu. Banyak hal yang ingin aku kerjakan. Jangan sampai kondisi hatiku menjadi buruk gara-gara kamu." Marcell masih tetap menatap suasana pagi menjelang siang Kota Jakarta dari balik kaca besar di ruangannya. Tanpa sedikit pun menoleh pada Shelina yang berdiri di dekat meja kerjanya. Shelina menatap sebuah foto berukuran besar. Lalu diambilnya foto itu. "Oh..., jadi ini yang membuatmu mendadak sibuk hari ini?" Marcell membalikkan tubuhnya dan mendapati Shelina sedang memegang pass foto Renata. Dengan gerakan cepat Marcell berhasil merampas foto itu dari tangan Shelina. "Jangan pernah menyentuh barang-barangku. Sekarang juga kamu pergi dari sini!" Marcell membentak Shelina. Akhirnya Shelina mendengkus, dan pasrah meninggalkan ruangan Marcell. Shelina keluar dengan raut wajah penuh emosi. Saat di depan meja Lani, gadis itu menghardik Lani dengan kasar. "Mana map file milik Renata tadi! Saya mau lihat! Tanpa meminta persetujuan dari Lani, langsung saja Shelina merampas paksa map yang sedang berada di tangan Lani. Dia mengambil halaman curicullum vitae lantas mengembalikan map berwarna merah muda tersebut dengan cara dilempar begitu saja di atas meja kerja Lani. "Ini saya ambil, kamu bisa minta lagi pada perempuan yang bernama Renata." Lani hanya mengangguk patuh melihat tatapan Shelina yang siap menerkam siapa pun yang ada di hadapannya. Hentakan suara high heels yang digunakan Shelina sangat memekakkan telinga dan membuat bulu kuduk Lani merinding sepeninggal perempuan tersebut. "Ya Tuhan, nggak mungkin mau lah Pak Marcell sama cewek kayak macan gitu. Cantik sih, tapi galaknya itu loh kagak nahan gue." Lani kembali berkutat pada kesibukannya setelah kepergian Shelina. Dia terus berdoa semoga nenek sihir tadi tidak kembali lagi ke kantor ini. +++ *POV RENATA* "Gue Rere pamit undur diri dulu ya kawan muda. Lagu pamungkas kita siang ini direquest oleh salah satu pendengar setia acara cuap-cuap berfaedah bersama Rere.  Yup ada 'Sheila On Seven Lapang d**a'. Punye hati emang kudu yang lapang ye bray kayak kata mas Duta dan kawan-kawan tuh. '...Kau harus bisa-bisa berlapang d**a, kau harus bisa-bisa ambil hikmahnya, karena semua-semua tak lagi sama, walau kau tau dia pun merasakannya, haahaahaa...' Hohoho... See you next, emmuuah." Aku mengucapkan salam perpisahan di akhir siaranku menjelang siang, hari ini. Seperti biasa aku akan selalu menyanyikan bagian reference setiap kali akan memutar sebuah lagu. Entahlah rasanya dengan menyanyi memberikan sedikit pasokan oksigen ke rongga paru-paruku. Setelah kupastikan semua peralatan dalam keadaan off, aku bergegas keluar dari studio menuju ke parkiran mobil. Tadi Jonathan memberikan isyarat agar aku menunggunya di luar. Dia bilang masih harus mempersiapkan peralatan untuk siaran acara berikutnya yang akan dipandu siar oleh rekan penyiar lain. Jonathan adalah teman baikku sejak aku mulai siaran di radio Bandung. Partner in crime kalau kata anak jaman sekarang. Namun bulan ini merupakan bulan terakhir aku bekerja sebagai penyiar di radio Bandung Baru. Aku sama sekali tidak menyangka keisenganku mengirim lamaran pekerjaan ke sebuah perusahaan konstruksi besar di Jakarta membuahkan hasil. Padahal aku sudah pesimis perusahaan sebesar itu mau menerima fresh graduate minim pengalaman sepertiku. Rejeki memang sudah ada yang mengatur. Aku sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bekerja di ranah lapangan pekerjaan yang sesuai jurusan kuliahku. Sekarang aku sudah berada di area parkir depan radio Bandung Baru. Aku merasa ada seseorang tengah mengawasiku, ya perempuan itu. Dia tidak hanya mengawasi tapi juga berjalan dengan anggunnya menghampiriku. Wajahnya cantik, kuperkirakan usianya sebaya denganku, tubuhnya yang langsing di balut dress berwarna merah menyala, terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya yang seputih porselen. "Hai," sapa perempuan itu dengan nada sedikit ketus. Aku hanya tersenyum tipis membalasnya. "Renata ya? Renata Aulia Gunawan?" Dia menyebutkan namaku, bahkan nama lengkapku. Dari mana perempuan berbody bak gitar spanyol itu bisa tahu nama lengkapku? Kenalan saja belum. "Iya," jawabku singkat. Malas banget melihat ekspresinya yang angkuh itu. Menatapku seolah aku ini berada di kasta paling rendah. Sangat menghina. "Perkenalkan, nama saya Shelina." Perempuan tadi mengulurkan tangannya. Demi menjunjung tinggi rasa saling menghormati akhirnya aku membalas uluran tangannya. Dan sekarang aku tahu namanya adalah Shelina. "Jangan pernah coba mendekati apalagi merayu kekasih saya. Bisa saya pastikan kamu akan merana seumur hidup kalau nekat melakukan hal itu!" Perempuan tadi atau Shelina itu tiba-tiba mengeluarkan kalimat- kalimat yang aku sama sekali tidak memahami maknanya. Siapa yang mendekati dan siapa yang didekati. Aksen bicaranya pun tidak begitu lancar dalam berbahasa Indonesia. Ya Tuhan ini makhluk dari planet mana sih? Maybe dia salah orang, tenang Rena, mungkin yang punya nama seperti nama kamu itu banyak di jagad raya ini. Gumamku dalam hati. "Anggara adalah tunangan saya. Cam kan itu Renata!" Perempuan tadi langsung pergi dari hadapanku setelah menyebutkan nama yang sama sekali tidak pernah aku kenal. Dia memasuki mobil Alphard berwana hitam mengkilat yang terparkir tidak jauh dari mobilku. Aku sendiri masih terpaku di samping mobil Honda Jazz putihku. Masih terkejut dan cukup shock dengan apa yang diucapkan perempuan itu. Sempat terlintas di benakku perempuan tadi akan menyebut nama kekasihku, ternyata bukan. Ish, merusak suasana hati saja! "Rere, woyy!" Suara Jonathan membuatku terkesiap dan menoleh dengan gerakan secepat kilat karena terlalu terkejut. "Weits kayak abis lihat kuntilanak di siang bolong lo. Eh, Jadi ke kafe om Satya nggak nih? Mumpung orangnya lagi di Bandung. Jadi lo bisa sekalian pamitan." Aku hanya mengangguk dan masuk ke mobil disusul oleh Jonathan. Seperti biasa dalam perjalanan ke cafe kami pasti akan mengobrol ringan. Membicarakan entah apa pun itu. Kadang hal-hal konyol dan tidak penting juga bisa menjadi pembahasan kami. "Lo yakin mau kerja di Jakarta, Re? Nyokap bokap lo udah ngijinin emangnya?" "Iya yakin." Aku hanya menjawab singkat pertanyaan Jonathan. Sebenarnya aku belum memberitahukan perihal pekerjaan ini pada orang tuaku. Mendengar pertanyaan Jonathan malah membuatku ragu, apa papa akan mengijinkanku bekerja di Jakarta? Atau seperti biasa dia akan menjadi penghalang terbesarku. "Lo nggak curiga bisa semudah itu keterima kerja di perusahaan besar, sedangkan lo sendiri cuma fresh graduate yang punya pengalaman kerja hanya sebagai penyiar dan penyanyi kafe lepas? Kan nggak nyambung tuh pengalaman kerja lo sama posisi yang sedang dibutuhkan sama perusahaan besar itu?" "Nggak Jo, gue sama sekali nggak curiga. Gue menamakan ini yang namanya kesempatan dari Tuhan," jawabku sambil tersenyum tipis. Jonathan tidak lagi mendebatku. Dia asyik dengan smartphonenya. Entah stalking ** gebetannya, atau bermain game terbaru. Jo saat ini sudah senyum-senyum sendiri. Meski aku mencubit lengan gembulnya, dia tidak menggubrisku sama sekali. Kuputuskan membiarkan laki-laki gembul itu larut dalam kegiatannya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD