1. Cinta Monyet

2374 Words
*POV AUTHOR* Sudah satu bulan berlalu sejak Marcell telah resmi berkenalan dengan Renata. Momen tak terlupakan itu terjadi saat malam pentas penutupan kegiatan MOS. Dimana saat malam pentas penutupan MOS setiap kelas diwajibkan mengirim salah satu siswanya untuk mengisi acara dengan tema cinta dan persahabatan. Marcell mewakili kelasnya untuk bermain musik dengan siswa siswi yang sudah dipilih oleh kakak-kakak OSIS bagian kreatif dan Renata mewakili kelasnya terpilih menjadi vokalis untuk band yang digawangi oleh Marcell tersebut. Marcell dan teman-teman yang tergabung dalam sebuah band di pentas malam penutupan MOS melanjutkan bermain musik mereka setelah MOS dan berikrar membuat sebuah band yang sebenarnya. Sedangkan Renata memilih tidak ikut bergabung dengan alasan klasik, tidak suka bermain musik. Padahal suara Renata sangat khas dan cocok dengan aliran musik yang dibawakan oleh Marcell dan bandnya. *** Saat jam istirahat, seperti biasa Renata duduk sendiri di kelasnya. Bisa dibilang Renata tipe gadis introvert. Dia kurang suka bergabung dengan teman-temannya. Saat jam istirahat atau jam kosong Renata lebih suka menghabiskan waktu di kelas untuk sekadar baca buku atau mengerjakan soal-soal latihan. Tak ayal bila teman-teman Renata tidak begitu berkembang pesat. Ditambah lagi dia harus berpindah-pindah mengikuti sang ayah, sehingga membuat Renata tidak memiliki sahabat atau teman dekat, karena setiap satu sampai dua tahun teman-temannya harus ganti sesuai kota yang menjadi tujuan bisnis ayahnya. Tidak berselang lama setelah bel istirahat berbunyi, Marcell menghampiri kelas Renata dengan wajah semringah. Dia langsung saja mengambil posisi duduk di bangku kosong di hadapan gadis itu. "Halo Rena, apa kabar?" tanya Marcell, tak ketinggalan melempar senyum manis dan beberapa bungkus permen gula kenyal kesukaan Renata. Dia mendapat info tersebut dari Nancy. Renata hanya membalas dengan senyum tipis dan menampilkan wajah tidak tertarik berkomunikasi dengan Marcell. "Nggak tertarik ke kantin? Memangnya nggak bosan istirahat hanya di dalam kelas saja?" Renata menggeleng tegas, sambil menjawab dengan nada kurang ramah. "Kamu sendiri kenapa tidak ke kantin? Malah masuk ke kelasku?" Renata menatap kosong ke arah jendela di sampingnya yang langsung mengarah ke lapangan basket. Ada beberapa anak laki-laki sedang asyik bermain basket di sana, pemandangan itu lebih menarik daripada pemandangan di hadapannya saat ini. Tiba-tiba pandangan Renata terhenti pada sosok berkacamata itu. Sampai saat ini Renata masih belum mengetahui siapa nama lengkap anak laki-laki berkacamata itu. Anak laki-laki yang sama dnegan yang Renata temui saat hari pertamanya masuk sekolah. Padahal keberadaan anak laki-laki itu selalu berada tidak jauh dari pandangannya. Ingin bertanya pada Nancy, dia terlalu malu takut nanti dikira naksir dan Nancy akan menyampaikan soal itu pada anak laki-laki itu. 'Oh, Tuhan...dia menatapku. Apa dia sadar kalau sedaritadi aku memerhatikannya?' Mata anak laki laki berkacamata itu menatap Renata dengan tajam. Renata langsung berpaling karena terkejut oleh tepukan di lengannya. "Rena, kamu sedang melihat apa? Serius sekali," suara Marcell mengejutkan Renata. "Oh, tidak ada apa-apa. Kamu kenapa masih di sini? Sudah, pergi saja sana!" "Kamu pasti sedang memerhatikan anak-anak latihan basket ya? Cowok pakai kacamata itu temen aku, namanya Fallen." Sebenarnya Renata senang akhirnya dia tahu nama anak laki-laki itu tanpa perlu bertanya kesana kemari. Untuk menutupi rasa sukacita dan malu yang menjadi satu Renata beranjak dari tempat duduknya. Dia tidak ingin wajah malunya dilihat oleh Marcell dan menjadi bahan ejekan anak laki-laki gembul tersebut. "Kamu mau ke mana Rena?" "Ke toilet! Kamu mau ikut juga?" jawab Renata ketus, kemudian meninggalkan Marcell sendiri di kelas itu. *** Sudah menjadi rutinitas Marcell sejak lama, setiap sore selalu mengunjungi rumah Fallen. Untuk sekadar melihat Fallen latihan basket sampai main PS bareng. Padahal di rumahnya sendiri, Marcell tidak kekurangan satu apa pun. Segala jenis perangkat game berteknologi mutakhir ada di rumahnya. Namun anak laki-laki yang terlahir dari keluarga kaya itu selalu merasa kesepian karena tidak memiliki saudara kandung yang bisa diajak mengobrol, bercanda dan bertengkar ala saudara kandung pada umumnya. "Fal, aku besok ikut ekskul basket dong. Boleh ya!" "Nggak salah? Kamu kan paling anti sama olah raga? Apa kamu udah bosen ngeband?" "Ya nggak apa-apa juga kali kalau sekarang aku suka olah raga? Siapa tahu badan gembulku ini bisa kurus dengan olah raga." Fallen tertawa puas. "Ya nggak semudah itulah menguruskan badan. Pola makan juga harus dijaga selain olah raga rutin. Nah kamu, makan karbohidrat sehari bisa empat sampai lima kali, hobi makan coklat, ngemil yupi, makan snack kalau nggak tiga bungkus nggak mau berhenti. Itu baru seharian. Sedangkan kamu menjalankan pola makan seperti itu setiap hari, Cell. Gimana mau kurus?" "Ya kan pelan-pelan. Namanya juga usaha. Tekadku nanti kalau sudah dewasa harus punya bentuk tubuh yang diidamkan oleh para laki-laki dan digilai kaum hawa." "Ya itu sih terserah kamu. Tapi band kamu gimana?" "Ya tetep jalan, ini cuma buat selingan doang." "Ach, paling basket cuma modusmu buat deketin dia, ya kan?" Dengan tepat sasaran Fallen berhasil memasukkan bola ke dalam jaring basket di halaman belakang rumahnya. "Dia siapa maksud kamu?" "Cewek yang waktu itu kamu lihatin mulu pas hari pertama sekolah. Cewek yang sering kamu samperin di kelasnya kalau jam istirahat." Marcell terbahak atas tebakan Fallen yang tepat sasaran. "Kamu tau aja. Please, boleh ya." Marcell menangkupkan kedua tangan di depan dadanya bersikap seperti orang sedang memohon. "Boleh aja. Kalau kamu mau ya datang aja langsung ke lapangan basket sekolah hari Rabu sore." Marcell langsung gembira dan berjoget-joget di tempat duduknya saat ini. "Oiya Cell, denger-denger cewek itu juga ikut paduan suara loh. Kata temen-temen ada anak dengan wajah  dan iris mata unik juga pendiem suaranya bagus, mungkin cewek yang kamu suka itu yang temen-temen maksud." "Kalau soal itu aku udah tau lama. Kan sekarang aku juga udah resmi jadi anggota paduan suara sekolah," jawab Marcell kemudian terbahak. Fallen melemparkan bola basket ke arah Marcell dan tepat sasaran mengenai kepala Marcell. "f**k it!" Marcell mengumpat sedangkan Fallen justru balik tertawa terbahak-bahak. **** Marcell tidak benar-benar ikut ekskul basket. Dia sudah menyerah di hari pertama latihan basket. Padahal saat itu pemanasan baru saja dimulai. Marcell lebih memilih pulang karena tidak kuat menahan malu menjadi bahan ejekan teman-teman ekskul basket, dan juga termasuk Renata yang ikut menertawakannya hari itu. Marcell juga punya kekhawatiran tersendiri jika sedang berolah raga, dia takut kalau-kalau napasnya nanti tiba-tiba habis saat berolah raga. Marcell sungguh tersiksa dengan bentuk badannya yang terus berkembang setiap harinya. Rabu sore adalah jadwal latihan ekskul basket di sekolah Renata. Setelah latihan selama 30 menit, Renata duduk dengan napas tersengal. Fallen ikut duduk di samping gadis dengan peluh membasahi seluruh wajah, seraya menyodorkan air mineral dingin kemasan gelas pada Renata. "Terima kasih," ucap Renata datar "Aku Fallen, kelas 1E. Kamu Renata anak kelas 1F, kan?" "Kamu tahu aku?" Renata mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. "Teman aku sering cerita tentang kamu," ujar Fallen tanpa menatap Renata sedikit pun. "Siapa teman kamu?" Kejar Renata tampak penasaran. Padahal dalam hati dia malas mencari tahu soal orang yang menyukainya. Tujuan sebenarnya Renata bertanya adalah hanya ingin bisa mengobrol lebih lama dengan Fallen. Tubuhnya diputar menghadap Fallen. Dia ingin menatap wajah Fallen lebih dekat. Ingin tahu seperti apa wajah laki-laki yang hanya bisa dilihatnya dari jauh selama dua bulan ini. "Marcell anak kelas 1C, yang minggu lalu ikut ekskul basket tapi sekarang udah nggak mau ikut lagi. Dia sahabatku dari kecil. kayaknya dia suka sama kamu." "Dia lagi, houftt...," tandas Renata seraya meniup poni yang menutupi keningnya. Renata mendengkus kasar. Obrolan tak menarik lagi baginya itu ternyata sampai di situ. Fallen pergi meninggalkan Renata tanpa permisi. *** Bulan demi bulan telah berlalu. Marcell terus mengejar Renata, sedangkan Renata sama sekali tidak menanggapinya. Marcell sebenarnya tidak terlalu buruk dari segi wajah. Dia cukup tampan dengan wajah tembamnya. Namun sikap Marcell yang terlalu blak-blakan dalam mencari perhatian Renata justru terkesan annoying dan mengusik bagi Renata yang kurang suka diganggu ketenangannya. Di satu sisi Renata menyimpan perasaan beda terhadap Fallen, begitupun sebenarnya dengan Fallen. Diam-diam Fallen juga memerhatikan Renata. Tidak setransparan Marcell tentunya. Namun baik Fallen dan Renata hanya bisa saling diam, menyimpan rapi perasaan itu dan menganggap apa yang mereka berdua rasakan hanya cinta monyet ala-ala abege. Siang itu di lapangan basket sekolah, saat jam istirahat kedua, tiba-tiba Marcell menarik tangan Renata yang sedang serius belajar untuk persiapan ulangan mata pelajaran Biologi ke tengah-tengah lapangan basket. Renata tentu kebingungan dan mengikuti saja langkah Marcell yang sedang menarik lengannya. Kini keduanya sudah berada di tengah-tengah lapangan basket. Tak lama kemudian Marcell memegang kedua tangan Renata dan menatap Renata dalam-dalam. "Kamu mau ngapain?" tanya Renata dengan nada bicara bisik-bisik. "Rena, aku suka kamu. Dari awal aku lihat kamu waktu pendaftaran, aku sudah suka sama kamu," ucap Marcell dengan lantang. Wajah tembamnya mendadak merah seperti kepiting rebus. Entah karena berdiri di bawah terik matahari atau karena menahan malu. Renata terkejut bukan main dengan pernyataan Marcell siang itu, terlebih lagi di hadapan teman-teman satu kelasnya, dan yang pasti ada Fallen juga di sana, karena kelas mereka berdua hanya terpisah satu dinding, kebetulan juga sedang jam kosong. Semua teman-teman yang melihat aksi heroik Marcell seolah berpihak pada Marcell lalu bersorak dan tertawa memberi dukungan pada Marcell. Kecuali Fallen yang tengah mengepalkan tangannya hingga otot-ototnya tampak menyembul di punggung tangannya. Sambil mendengkus, Fallen meninggalkan kerumunan di lapangan basket. Renata yang sadar kalau Fallen pasti ikut menonton aksi memalukan ini menoleh ke sana kemari mencari sosok remaja laki-laki itu. "Apa-apaan kamu Marcell. Kamu itu sudah membuat aku malu banget!?" Renata menghardik lalu menepis tangan Marcell dari tangannya. "Rena, kamu mau ke mana?" Renata berlari tanpa menoleh meski Marcell terus meneriaki namanya. Sesampainya di halaman depan sekolah, Renata berusaha meraih lengan Fallen. Akhirnya Fallen menghentikan langkahnya. "Kamu mau bolos? Bukannya sebentar lagi masih ada kelas?" "Aku mau pulang. Kelasku kosong, gurunya nggak masuk. Kamu sendiri ngapain masih di sini? Katanya mau ulangan Biologi?" tukas Fallen dingin. Fallen lalu melambaikan tangannya tanpa menoleh pada Renata. Sebutir air mata menetes di pipi Renata menghadapi sikap Fallen yang selalu dingin padanya. Padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin dalam mendekati remaja itu. *** Satu bulan telah berlalu sejak hari itu. Marcell masih terus berusaha meminta maaf pada Renata, tapi Renata selalu tak mengacuhkannya. Marcell betul-betul menyesali perbuatan bodoh dan memalukan yang ia lakukan siang itu. Pagi itu dengan langkah gontai Marcell memasuki kelas Renata. Ini adalah kesempatan terakhirnya mendapat maaf dari Renata. "Rena, sekali lagi tolong maafin aku ya, udah bikin kamu malu di hadapan temen-temen. Aku sudah lancang bilang suka sama kamu." "Lupakan saja. Aku juga sudah lupa," ujar Renata tanpa menoleh pada Marcell yang kini sedang duduk di hadapannya. Seperti biasa tatapannya menuju ke arah lapangan basket. Menatap seseorang yang duduk termenung di bangku sebelah lapangan basket. Di bangku itu Fallen tak hentinya menatap tajam ke arah Renata. "Rena, hari ini aku pindah. mulai besok aku sudah nggak sekolah di sini lagi," ujar Marcell. Renata langsung mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam di balik kacamata Fallen demi menatap bola mata cokelat milik Marcell. Ada rasa sedih mendalam terpancar di manik mata cokelat gelap itu. "Kamu mau pindah? Pindah ke mana? Ini kan masih pertengahan tahun ajaran. Apa tidak nanggung?" "Orang tuaku pindah ke Jakarta, aku di sini nggak punya keluarga ataupun saudara jauh. Jadi aku terpaksa harus ikut ortu pindah juga." Marcell menunduk lesu menatap lantai marmer tempatnya berpijak saat ini. "Kenapa mendadak?" Nada suara Renata mendadak terdengar seperti orang sedang kecewa berat. Membuat Marcell tidak tahu harus mengartikan bagaimana perasaan Renata yang sebenarnya padanya. "Nggak mendadak juga. Aku sudah cerita ke temen-temen paduan suara. Nancy juga tau. Kamunya aja yang selalu cuek sama aku, Rena." Marcell tersenyum tipis menatap iris mata abu-abu gelap milik Renata yang mulai berkaca-kaca itu. "Maafkan aku Marcell," ujar Renata tanpa melepas pandangannya dari manik mata berwarna cokelat gelap itu. "Ngapain minta maaf. Kamu gak salah kok. Oya, ini buat kamu." Marcell tersenyum lebar sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna putih pada Renata. "Ini kenang-kenangan buat kamu, aku minta maaf ya karena selalu bikin kamu kesel dan sebel sama aku selama ini." Marcell membelai lembut pipi Renata, dan tanpa terasa butiran air mata jatuh dari kelopak mata Renata. Air mata itu jatuh begitu saja. Tanpa permisi apalagi rencana. Tiba-tiba saja Renata merasa kehilangan. Padahal dia sudah mulai menerima keberadaan Marcell di sekitarnya. Dan berpikir mungkin saja mereka bisa berteman baik nantinya. Namun saat ini harapan Renata hanya tinggal harapan saja. "Udah jangan nangis. Kita pasti bisa ketemu lagi suatu saat nanti Rena. Aku yakin itu. Kamu juga harus yakin ya." Marcell menghapus pelan air mata yang berjatuhan dari kelopak mata Renata dengan ibu jarinya. "Kamu jaga diri baik-baik ya Rena." Marcell memeluk Renata. Renata tidak menolak. Dia bahkan membalas pelukan Marcell, mengganggapnya sebagai pelukan perpisahan untuk sahabat. Ternyata mobil keluarga Marcell sudah menunggu di depan sekolah, beserta beberapa teman-teman kelasnya dan guru-guru. Rupanya Renata menjadi orang terakhir yang harus ditemui oleh Marcell sebelum benar-benar pergi meninggalkan kota ini. Marcell kemudian meninggalkan Renata yang masih mematung dan hanya mampu menatap kepergian Marcell dari balik kaca jendela kelasnya. Tampak Fallen sudah menunggu di gerbang sekolah. Sahabatnya itu kemudian memeluk Marcell dengan erat. "Jaga diri kamu ya, Cell. Rajin olah raga biar nggak tambah lebar badan kamu. Cewek-cewek lebih suka sama cowok kurus kayak aku," canda Fallen sambil menepuk punggung Marcell. Marcell tertawa mendengar nasehat sabatnya itu. "Kamu juga jaga diri baik-baik. Dan tolong jaga Rena untukku." "Maksud kamu, Cell?" "Aku tahu kamu ada rasa sama Rena, gitu juga Rena. Aku yakin dia suka sama kamu," ujar Marcell menepuk pelan pundak Fallen. Mobil keluarga Marcell melaju pelan meninggalkan halaman sekolah. Fallen menatap punggung Renata dari balik kaca. Dia sedang terisak di pelukan Nancy sahabatnya. Fallen berlalu tanpa berniat sama sekali menghampiri Renata. Sepeninggal Marcell, Renata membuka kotak yang diberikan oleh Marcell tadi. Sebuah gelang perak dengan bandul inisial 'R&M'. Renata memeluk gelang tersebut sambil terisak. Di dalam kotak berwarna putih tadi tidak hanya ada gelang, tapi juga ada sepucuk surat untuk Renata. Perlahan dia membuka dan membaca dalam hati. Dear Rena, Maaf jika aku terlalu sering mengganggu waktumu, karena aku sangat menyukai senyummu dan ingin selalu melihatnya setiap saat. Maaf kalau aku selalu menjadi anak laki-laki paling menyebalkan di sekolah ini, karena aku tidak bisa menutupi rasa bahagiaku saat melihat mata indahmu. Aku pergi sebentar saja. Suatu saat aku pasti kembali dan akan meraihmu. Jika Tuhan berkehendak, kita pasti akan dipertemukan kembali. Kupastikan saat pertemuan kita nanti di masa yang akan datang, kamu tak mengacuhkanku lagi. Jangan bersedih lagi ya. Anak gendut yang hobinya menggoda kamu sudah tidak ada lagi di sekolah. "Marcell" >> ^makvee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD