#6 : Obat

1459 Words
Trevor kembali ke kantor sekitar empat puluh lima menit kemudian, setelah ia mengantarkan Ethan pulang ke Penthouse tempat tinggal mereka. Manik biru safir itu menatap kursi dimana sekretarisnya biasa duduk sembari bekerja, tapi sayangnya ia tak menemukan siapa pun di sana. Dimana Lily? Trevor mendesah sembari membetulkan letak kaca matanya. Terbiasa melihat Lily yang selalu berada di tempatnya, membuat lelaki itu merasa kehilangan ketika Lily tak ada di sana. Saat ia hendak meraih ponselnya bermaksud untuk menelepon Lily, tiba-tiba saja pandangannya tertumbuk pada sebuah botol obat yang terletak di atas meja. Siapa yang sakit? Dengan kening yang berkerut dan alis lebatnya yang saling bertaut, Trevor meraih botol tersebut dan mulai membaca tulisan yang tertera. Levonorgestrel? Postpill? Rasanya seperti ada yang meninju ulu hatinya ketika Trevor menyadari sesuatu setelah ia membaca semua keterangan di botol berwarna putih dengan gradasi ungu itu. Oh my God. Ini adalah obat kontrasepsi, dan sepertinya milik Lily. Sekretarisnya itu meminum obat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Dan sebenarnya ini wajar saja. Lily pasti hanya tidak mau jika apa yang Trevor ucapkan di hotel pagi hari itu terjadi padanya. Sebuah kehamilan yang tidak diinginkan. Tapi anehnya Trevor merasakan ada yang terasa mengganjal di dalam hatinya. Ada rasa yang begitu kuat yang membuat jemarinya mencengkram kuat-kuat botol itu seakan ingin meremukkannya hingga hancur. Atau membuka tutup botol itu lalu membuang seluruh isinya ke dalam toilet. Namun ada satu hal yang membuat Trevor sedikit merasa lega, yaitu kondisi botol yang masih tersegel rapi dan belum terbuka sama sekali. Sepertinya Lily belum meminum obat kontrasepsi ini. Huuf, syukurlah. Tanpa berpikir panjang, lelaki bersurai pirang redup itu pun diam-diam memasukkan obat kontrasepsi itu ke dalam saku jasnya. Biarkan saja jika nanti Lily bingung mencarinya, karena Trevor tidak akan membiarkan gadis itu mengkonsumsi obat laknat ini! "Pak Trevor? Sudah balik ya?" Suara serta langkah kaki yang tiba-tiba saja terdengar dari belajang, membuat Trevor menoleh ke sumbernya. Yaitu Lily yang sedang berjalan masuk dengan menganggukkan kepala sembari memulas senyum kepada bosnya. "Kamu dari mana?" "Dari toilet, Pak," sahut Lily yang kini telah duduk kembali di kursi kerjanya. "Kenapa? Ada yang perlu saya kerjakan?" Trevor menggeleng pelan. "Saya cuma mau bicara saja. Lima menit lagi ke ruangan ya." "Siap, Pak." Ketika Trevor membalikkan badan, ia mendengar suara gumanan gadis itu yang sepertinya kehilangan sesuatu. "Pak Trevor," panggil Lily. "Ya?" Trevor menghentikan langkahnya menuju ruangan kerja dan kembali menatap Lily. "Maaf, Pak. Itu... lihat botol obat milik saya yang di atas meja, nggak?" Trevor mengedikkan bahunya sembari memasang wajah pura-pura tak bersalah. "Saya tidak terlalu memperhatikan sih tadi ada atau tidak. Memangnya botol obat apa? Kamu lagi sakit?" "Uhm... bukan-bukan. Bukan botol obat kok, Pak. Tapi... cuma vitamin. Iya, cuma vitamin saja," jawab Lily yang gelagapan sambil meringis. Tampaknya dia telah kelepasan bicara, dan kini menyesal karena tak sengaja. "Oh. Kalau begitu coba kamu cari di kolong meja, mungkin saja terjatuh di situ," usul Trevor sambil diam-diam tertawa dalam hati. 'Kamu tidak akan menemukan obat itu dimana pun, Lily! Karena botol itu ada di kantung saya!' batin Trevor dalam hati dengan penuh kemenangan. "Oh iya, benar juga. Nanti saya cari di kolong meja." Akhirnya Lily pun tidak lagi memperpanjang masalah botol obat kepada Trevor, demi agar bosnya itu tidak bertanya-tanya lebih lanjut. "Aaaggh!! Kemana sih botol obat sialann itu?!" Lily menunduk dan merangkak di bawah meja, mencari benda yang tiba-tiba saja raib dari atas meja kerjanya. Benar-benar siall. Mana obat itu baru saja dia beli, dan cerobohnya si Lily, malah ditaruh begitu saja di atas meja kerjanya ketika tiba-tiba dia ingin ke toilet. Bagaimana jika ada yang melihat? Bisa gawat dan heboh jika salah satu karyawan di sini mengetahui dirinya menyimpan obat pencegah kehamilan, padahal Lily belum menikah. Lima menit telah berlalu, dan Lily pun akhirnya menunda mencari obat itu, karena Pak Trevor yang memintanya untuk datang ke ruangannya. "Permisi, Pak." Lily mengetuk pintu ruang CEO satu kali, sebelum membukanya untuk kemudian masuk ke dalam. "Duduk, Lily." Trevor menunjuk kursi yang terdapat di depan mejanya. "Kita belum sempat berbicara lagi soal apa yang terjadi semalam," ucap lelaki bersurai pirang gelap itu dengan menatap lekat manik sekretarisnya. "Sepertinya nggak ada yang perlu dibicarakan lagi deh, Pak," elak Lily. "Bukankah kita sudah sepakat untuk melupakan apa yang terjadi semalam?" "Tapi kamu belum menjawab pertanyaan saya," bantah Trevor. "Pertanyaan apa?" "Tentang bagaimana jika kamu hamil," tukas Trevor blak-blakan. Lelaki itu kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Lily, sehingga jarak wajah mereka kini sedikit lebih dekat. "Jika kamu ternyata hamil anak saya, Lily... tolong jangan pernah melakukan hal-hal yang nekat. Saya tidak mau terjadi apa-apa dengan darah daging saya sendiri." Tiba-tiba Lily merinding saat maniknya saling beradu tatap dengan bola mata biru safir berkilau itu, serta membayangkan jika di dalam rahimnya berisi seorang bayi hasil perbuatan khilafnya. Tidak, tidak... dia tidak boleh hamil! "Saat ini saya tidak sedang dalam masa subur. Jadi kemungkinan untuk terjadi hal itu sepertinya sangat kecil sih," ungkap Lily berusaha untuk meyakinkan diri sendiri meskipun sedikit ragu. Itu sebabnya diam-diam dia membeli obat kontrasepsi. Trevor mengangguk pelan. "Sekecil apa pun, tetap saja ada kemungkinannya, bukan? Bagaimana pun, saya hanya minta agar kamu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan, Lily. Kamu mengerti kan maksud saya?" Pak Trevor tidak ingin dia menggugurkan kandungannya jika memang janin itu telah terbentuk di dalam rahimnya. "Ya, Pak. Saya mengerti. Saya memang tidak ingin jika kejadian semalam berakhir dengan kehamilan, tapi kalau ternyata itu memang terjadi... saya tidak akan pernah melakukan hal nekat seperti menghilangkan nyawa makhluk yang tidak berdosa." Perkataan yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dari gadis itu membuat hati Trevor yang semula gundah kini sedikit merasa lega. Ini semua gara-gara obat kontrasepsi yang ia temukan tadi di meja Lily. Pikirannya pun mendadak menjadi kacau dan overthinking. "Terima kasih, Lily. Saya senang mendengarnya. Oh ya, boleh saya tahu kapan jadwal bulananmu?" Lily sontak membulatkan kedua maniknya mendengar pertanyaan out of topic dari Pak Trevor. "Hah? Buat apa, Pak?" "Buat jaga-jaga saja. Siapa tahu kamu lupa, dan... " "Saya nggak mungkin lupa dengan jadwal saya sendiri," potong Lily dengan nada agak ketus. "Tidak ada salahnya kalau kamu berbagi dengan saya kan?" "Buat saya itu masalah! Sudah saya bilang kalau saya tidak akan melakukan hal yang nekat, Pak." "Oke, kalau kamu beritahu saya jadwal bulanan kamu, bulan ini saya kasih bonus 25% dari gaji," ucap Trevor yang mulai tahu bagaimana merayu sekretarisnya yang matre. "35%," sahut Lily iseng, mulai goyah ketika bosnya mulai menyinggung topik favoritnya, yaitu gaji. Lemah sudah. "Deal." Senyum kemenangan pun sontak terkembang di bibir Trevor. 'Siall. Kenapa tadi nggak bilang 50% aja sih, ish.' Dalam hati Lily pun hanya bisa mengutuk mulutnya yang sering typo. Trevor segera meraih ponselnya dan membuka agenda. "Jadi tanggal berapa jadwalmu?" Tanya lelaki itu seraya mengutak-atik ponsel. "Uhm... bulan kemaren sih tanggal 22. Tapi biasanya setiap bulan mundur sehari, jadi bulan ini kemungkinan besar tanggal 23," sahut gadis itu berusaha mengingat-ingat. "Tanggal 23 ya? Berarti masih lebih dari dua minggu lagi," cetus Trevor pelan. Ternyata Lily benar, saat ini dia tidak sedang berada di dalam masa subur. Ah, kenapa sekarang malah Trevor yang merasa kecewa?? *** Jam 7 malam. Lily telah siap dengan gaun malam berwarna biru yang dibelikan Pak Trevor sebagai "baju dinas"-nya malam ini. Dandannya telah melekat dengan sempurna, on point, flawless di kulitnya yang putih dan halus. Rambutnya yang hitam panjang hanya di-curly dalam gelombang di bagian bawah dan dibiarkan tergerai di punggungnya. Untuk terakhir kalinya, gadis itu kembali mematut diri di depan cermin untuk memeriksa keseluruhan penampilannya. Harga memang tidak bisa berbohong. Gaun yang seharga sebulan gajinya ini sangat indah dan mewah, namun juga sekaligus nyaman saat bersentuhan dengan kulitnya. Lily tersenyum dan menunjuk wajahnya yang terpantul di cermin. "Slay like a Queen, Lily!" Serunya sembari mengedipkan mata dan mulai melangkah keluar dari apartemen menuju lift yang akan membawanta ke parkiran basement. Dia dan bosnya telah sepakat untuk berangkat ke tempat acara menggunakan kendaraan masing-masing. Sebenarnya Trevor sudah menawarkan kepada sekretarisnya itu untuk dijemput, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Menjadi pendamping bosnya di acara pesta pernikahan ini adalah bagian dari pekerjaan, jadi Lily lebih suka jika mereka tetap profesional menjalaninya. Nada getar di ponselnya membuat Lily menghentikan langkah menuju lift. Sekilas ia melirik nama Mr. CEO yang tertera di layarnya, sebelum mulai menekan tombol 'terima'. "Ya, Pak?" "Lily, saya minta tolong agar kamu ke penthouse sekarang. Ethan ngambek karena tidak mau ditinggal, dan dia minta kamu datang ke sini terlebih dahulu." Lily memejamkan matanya dan menghela napas pelan mendengar suara Pak Trevor yang penuh permohonan. Lagi-lagi si anak setann berulah, dan selalu saja ia yang terkena imbasnya. "Baik, Pak. Saya akan segera ke Penthouse," sahut gadis itu kemudian, pasrah jika kali ini dandanannya yang telah sempurna ini mungkin akan jadi berantakan, demi untuk membuat si tuyull Ethan tidak ngambek kepada Daddy-nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD