Bab 2

950 Words
Mereka tiba di rumah itu kala jam menunjukkan angka 5 sore. Semua sudah lelah. Azhar langsung ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat, begitu pula Citra memakai salah satu kamar kosong di rumah itu. Para pelayan di rumah itu tampak kehilangan, namun mereka berusaha tegar karena tidak ingin majikan mereka terus bersedih. Saat malam, beberapa pelayan telah menyiapkan makan malam. Azhar mengajak Citra untuk makan malam. Makanan malam itu terlihat mewah, dan Citra selalu sulit untuk memahami kemewahan itu. Namun, saat mereka selesai makan, Citra tiba-tiba ambruk, mengejutkan Azhar. Dia panik dan memanggil beberapa pelayan untuk membersihkan tempat makan dan membawa Citra ke kamar perempuan itu. Baru saja dia kehilangan istri, sekarang dia akan kehilangan sisa keluarganya yang terakhir? Dari keluarga dirinya dan Halima, istrinya, tinggal Citra yang hidup. Sementara dokter pribadi mencoba memastikan Citra baik-baik saja, Azhar datang ke kamar Citra untuk memeriksa. “Bagaimana, Dok?” tanya Azhar memastikan. “Kondisi beliau baik-baik saja. Sepertinya efek obat penidur,” jawab sang dokter. Azhar tampak terperangah. Obat tidur!? “Begitu ya dok,” ucap Azhar pelan. Sang dokter menganggukkan kepala beliau. Laki-laki sepuh itu lalu izin keluar. “Kenapa semua keluargaku terancam seperti ini?” ucap laki-laki itu sedih. Dia melihat ke arah pintu yang terbuka, lalu berjalan ke pintu itu dan menutupnya. Wajah teduhnya menghilang, bergantikan sebuah kesinisan. “Akhirnya, mari kita mulai.” *** “Hentikan ini kak!” teriakan pilu itu keluar dari mulut perempuan berusia 19 tahun itu. Tubuhnya yang telah ditelanjangi oleh laki-laki laknat itu terikat di dinding dengan posisi X. Gadis itu hanya bisa menatap ke lantai, matanya meneteskan air keputusasaan. “Diam dan nikmati saja. Kecuali kamu ingin video ini tersebar,” balas laki-laki itu dengan tenang. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan tubuh gadis itu. Ponselnya dengan tenang merekam penampilan perempuan yang seharusnya dia sebut sebagai adik ipar itu. “Kenapa kakak lakukan ini?” ucap perempuan itu lemah. Laki-laki itu hanya tersenyum, video terus merekam. Senyumannya melukiskan kesinisan yang nyata. Matanya seakan menyimpan hasrat. “Kenapa?” tanya laki-laki itu. Dia mengakhiri rekaman itu. “Ah. Jangan berlagak bodoh,” jawab laki-laki itu. Dia tersenyum dan berdiri dari kursi itu. “Aku tahu kakakmu dari awal tidaklah suci. Saat aku menerima pernikahan itu, aku hanya menerimanya karena melihatmu bersamanya. Jaringanku memberitahu bahwasanya kamu adalah adiknya,” balas laki-laki itu santai. “Jadi… kakak selama ini hanya…,” ucapan itu keluar dengan terbata-bata dari mulut perempuan itu. Laki-laki itu tersenyum “Menurutmu kenapa aku mempersilahkan kamu datang?” tanya laki-laki itu dengan santai, “sampai aku bersedia membiayai pesantrenmu dan membangun ulang rumah keluargamu. Kamu pikir aku melakukan itu tanpa alasan terselubung?” “Lalu… kakakku…,” ucapan tertahan itu dibalas dengan senyuman sinis laki-laki itu. “Oh. Kamu mengira dia mati karena komplikasi penyakit saja? Aku yang meracuninya,” balasnya santai. “Iblis!” teriak perempuan itu. “Oh, aku iblis tentu saja. Iblis yang tampan dengan kuasa besar,” balas laki-laki itu dengan senyumannya. Dia lalu menatap tubuh perempuan itu. “Sudah cukup percakapannya,” komentar laki-laki itu, “saatnya kita bermain.” Semua menjadi sebuah garis samar bagi sang perempuan. Penyiksaan yang dipaksakan sang pria, merampas kehormatannya tanpa ampun demi memuaskan nafsu pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Kebejatan yang tidak pernah terbesit sekali pun di benak perempuan muda itu. Dia menjaga diri selama ini, tidak pernah menjalin hubungan yang sedemikian tidak eloknya. Sayangnya, semua itu sia-sia seiring malam terus berlalu. Dirinya dipermainkan, dirangsang, lalu dijadikan tempat pelampiasan nafsu pria itu tanpa sedikit pun belas kasihan. Motif keji yang terselubung selama bertahun-tahun sebagai kakak iparnya akhirnya terlihat dengan jelas tanpa tabir, tetapi tidak ada satu orang pun yang bisa menyelamatkan sang perempuan dengan kebenaran yang dia temukan. Tubuh sang perempuan memberikan suara yang menggoda, kontras dengan bagaimana terlukanya hati perempuan yang sama. Sebuah rencana keji yang disusun dengan sangat rapi oleh sang pria. Tidak ada ketulusan dari kebaikan yang selama ini dia sajikan. *** Ketukan berulang kali itu dilakukan oleh pelayan ke pintu kamar Azhar, namun tidak ada jawaban. Setelah satu menit, pelayan itu pun meninggalkan pintu depan kamar majikannya. Azhar sendiri akhirnya terbangun setelah tiga menit pelayan itu pergi dari pintu kamarnya. Di bawah tubuhnya, ada tubuh Citra yang masih terlelap. “Efek obat itu membuat dia kehilangan kendali atas nafsunya, sesuai ekspektasi,” komentar Azhar seraya bangun dari posisinya. Dia pun pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya untuk membilas dirinya. Citra sendiri terbangun saat Azhar selesai memakai pakaiannya. Menyadari dirinya telanjang, dia segera membalikkan tubuhnya dari hadapan Azhar. “Aku sudah sentuh semuanya,” komentar Azhar santai. Citra terkejut mendengarnya. “Apa yang kakak lakukan!?” tanya Citra terkejut, badan membelakangi Azhar. “Coba cek ke benakmu baik-baik. Seharusnya ingatanmu masih jernih,” jawab Azhar santai. Citra terkejut mendengar kalimat itu. Semua peristiwa tadi malam masuk ke benaknya yang membuatnya beristighfar. Rasanya, dia sekarang menjadi manusia paling hina. “Jangan munafik, tubuhmu menikmatinya,” komentar Azhar santai. “Kakak memberiku obat!” balas Citra ketus. “Tidak mengubah fakta tubuhmu menikmatinya,” balas Azhar, “mending kamu mandi dulu,” lanjutnya. Azhar melemparkan handuk kepada Citra. “Pakai itu. Handuk baru. Bersihkan dirimu sekarang. Aku tunggu di ruang makan pribadiku. Pelayanku bisa mengantarkanmu ke sana,” komentar Azhar lagi. Dia lalu menatap tajam ke arah Citra yang akan masuk ke kamar mandi. “Oh ya, mulai sekarang, kamu jadi pelayan untukku. Selama di dalam rumah, jangan kenakan pakaian apapun di dalam pakaian gamismu,” perintah Azhar. Citra ingin protes, namun sorotan tajam Azhar membuat nyalinya layu. Dia tahu, Azhar bisa membuangnya begitu saja dengan seluruh kekuasaan yang dia miliki. Azhar pun pergi dari kamar. “Kenapa semua ini terjadi?” gumam Citra dengan nada lemah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD