Mengagumi

1134 Words
Semuanya berawal dari rasa kagum. pada sosok laki-laki yang menurutku sangat tampan. Terbukti dengan banyaknya  perempuan yang juga mengejar. Pada awalnya, aku merasa tak pantas untuk sekedar menjadi teman berbincang. Tak berharap banyak, karena memang bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Terkejut, tahun itu adalah titik balik hidupku. Bahagia kurasakan, laki-laki itu mendekati dan mulai mengatakan rasa suka padaku setelah sembilan tahun lamanya rasa terpendam. Mencoba mengatur degup jantung yang mulai tak wajar, dag Dig dug. Tanpa menunggu lama kuterima rasa cintanya. Awalnya bagaikan mimpi, seseorang yang dulu ku damba-damba menjadi kekasih hati. Saat itu, aku tak ingin ambil pusing dengan rasa cintanya seperti apa padaku. Bagiku, mendapatkannya sudah sangat beruntung aku lupa akan rasa timbal balik yang seharusnya sepasang kekasih lakukan. Bulan berikutnya berjalan, dulu yang hanya mampu memandangnya dari kejauhan kini ku beranikan menatap mata indahnya dengan jarak begitu dekat. Selalu saja, ada rasa tak wajar bila berdekatan. Gugup, takut, dan canggung. Namun, ku coba menepis rasa itu dan mulai menikmati suasana. Sebenarnya, kedua orang tuaku begitu menentang anak-anaknya untuk berpacaran, berkencan dengan seorang laki-laki apalagi mendatangi rumahnya. Sejak saat itu, aku menjadi anak pembangkang. Kulawan ibu, karena aku mulai tak suka di atur-atur. Berbeda lagi dengan ayahku yang sedikit tak peduli. Akhirnya, hari demi hari aku terus membangkang. Diam-diam pergi berkencan dengan pacarku itu. Diam-diam pula kami melakukan gaya pacaran yang tak seharusnya. Seperti; Berciuman, pelukan dan berpegangan tangan. Jujur, selama empat belas tahun ini tak pernah sedikitpun aku merasakan hidupku penuh tantangan. Segala yang kulakukan dengan pacarku adalah pertama kali dalam hidupku, dan aku menikmatinya. Sampailah pada akhirnya, dia meminta lebih. Aku mencintainya. Sangat. Tanpa memikirkan harga diriku, kedua orang tuaku dan keluarga besar. Kami melakukan hubungan yang orang dewasa lakukan. Dan disinilah ceritaku dimulai. Kami melakukan disuatu penginapan yang tak jauh dari rumah kami tinggal. Tempat itu sangat terkenal, memang untuk mereka yang ingin mengeluarkan hasratnya. Dan kami adalah salah satu pengunjung tempat esek-esek itu. Tiga hari berlalu setelah kejadian itu. Dua hari sebelumnya masih wajar-wajar saja remaja laki-laki itu masih manis kepadaku. Tetapi, tepat pada hari ketiga setelah kami berhubungan intim, dia berubah acuh tak acuh. Mulai menunjukan rasa bosannya, perhatiannya berkurang seolah menunjukan sikap aslinya Laki-laki itu berubah menjadi kasar, dan menganggapku bukan siapa-siapa. Aku jatuh sejauh-jauhnya, menangis tersedu-sedu menyesali perbuatanku. Harga diriku hilang begitu saja karena rasa kagum dan percaya padanya. Menyakitkan tetapi harus kutelan. Kadang, aku mengunjungi rumahnya secara diam-diam. Ibu dan ayahku tidak mengetahui saat malam hari aku mengendap-endap menemuinya. Bukan, bukan untuk berhubungan dengannya tetapi meminta kejelasan padanya tentang hubungan kami yang semakin rumit. Saat aku mendatanginya, kedua orang tuanya entah kemana, hanya ada laki-laki itu yang memang menungguku di teras rumahnya mengenakan kaus oblong berwarna merah. Ku katakan "Sebenarnya ada apa denganmu?". Kataku benar-benar frustasi. Dengan santainya menjawab "tidak apa-apa. Kau pulanglah." Terdiam, mencoba mencerna. Laki-laki itu menyuruhku pulang. Aku pulang dengan kesedihan. Merasa menjadi putri yang tak berguna. Menjadi perempuan yang sangat kurang beruntung. Ditemani motor metic pemberian ayahku, kulajukan motor itu penuh hati-hati. Aku pulang, ibuku tak penasaran kedatanganku, cukup lega ahkirnya memilih masuk kamar dan mulai menangis. Meratapi segala kebodohan yang kulakukan untuknya.  _______________________________________________________________ Satu Minggu berlalu, perlakuannya tak berubah justru semakin dingin dan menjauh dariku. Selama seminggu kuhabiskan waktu dengan berderai air mata. Menangisi segala yang menyakitkan hati dan harga diri yang hilang. Orang-orang di sekitar menanyakan apa yang terjadi denganku. Dengan mata sembab tanpa semangat  selama berhari-hari jelas membuat mereka bertanya-tanya. "Sebenarnya ada apa kau menangis?" ibu mulai memberiku pertanyaan, aku gelagapan tapi tetap kujawab. "Tidak apa-apa." Jawabku ahkirnya, terlihat ibu yang tak percaya dengan pernyataan tersebut. "Mungkin dia putus dengan Irgan." kembaran ku menimpali, tetap saja aku tak ingin menjawabnya dan memilih untuk pergi ke kamar. Meninggalkan ibu dan kembaran ku yang tengah membicaranku. Ya, mereka tahu aku menjalin hubungan dengan Irgan. Mereka juga tahu jika aku sering berkencan secara diam-diam. Apalagi Kirana ia sangat mengetahui jika aku bahkan tak pernah absen berkencan dengan Irgan waktu itu saat bulan ramadhan. Kadang kala Kirana dengan mudah di ajak untuk bersekongkol tapi pada suatu waktu ia berubah menjadi adik yang membocorkan rahasia. Saat itulah hubunganku dengan Kirana yang renggang semakin menjadi parah. _________ Hari demi hari berubah menjadi kelam, namun ku berusaha semangat untuk menjalaninya. Berangkat ke sekolah dengan menggendong segala masalah sendirian. Aku butuh pelukan, penyemangat dan orang yang senantiasa mendengar keluh kesah. Tetapi rasa Maluku lebih kuat, takut mereka akan mengetahui segala keburukan. Setiap apel pagi kucuri pandang kearaah tempatnya berbaris. Kami yang berbeda kelas menyulitkan untuk sekedar bertemu. Mata kami bertemu, yang membuat hatiku semakin sakit laki-laki itu membuang pandang kearah ku. Mencoba sabar walau sulit, kuat walau mustahil. Rasanya sakit sekali, saat segala sesuatu yang telah di berikan di balas dengan tak sepadan. Ku pikir dengan memberikan keperawanan akan membuat hubunganku dengannya semakin baik. Tetapi nyatanya berbanding terbalik. Laki-laki dengan segala janjinya adalah kebohongan. Mereka berkata-kata manis hanya untuk mendapatkan mangsanya begitulah pria dalam mengelabui. Bodohnya aku telah menjadi mangsa mahluk itu. Apel pagi telah selesai, teman-temanku bercanda gurau saat ingin masuk kelas. Mungkin hanya aku saja yang terlihat murung dengan penampilan yang tak bersemangat. Bagaimana bisa aku terlihat baik-baik saja saat semuanya menyedihkan. Ingin sekali kukatakan pada laki-laki itu untuk mengatakan yang sebenarnya mengapa ia menjauh?  dan memilih diam tanpa sebab. Mencoba fokus dalam mata pelajaran, tetapi pikiranku tetap tak bisa. Beberapa dari temanku penasaran dengan apa yang terjadi, berbeda lagi dengan sahabatku yang mungkin mengira aku putus dengan Irgan. Mungkin mereka senang, karena memang sahabatku tak pernah setuju aku berpacaran dengan anak cowok tersebut. Dengarlah, cinta itu membutakan segalanya. Hanya yang terlihat adalah seseorang yang dicintai. Tak pernah akan mendengar nasehat siapapun, saran maupun kritikkan. Dan itulah kesalahan terbesar, saat menganggap cinta yang terjalin sudah sangat benar adanya. "Ayo ke kantin." Lili, Mila, Pricilia dan Niluh mengajakku, mendongak menatap mereka tanpa minat, seolah mengerti keadaanku mereka akhirnya pergi. Tinggallah seorang diri di dalam kelas, ku coret-coret bagian belakang buku yang masih nampak kosong. Hanya beberapa kalimat untuk menggambarkan kesedihan. Tidakkah kau mengingat janji yang pernah lisanmu ucapkan? Mengapa dengan mudah kau melupakan? Aku kah yang terlalu berharap atau kau yang dengan mudah menyakiti Sekarang aku sadar, bahwa harga diri lebih dari apapun. Cinta dan teman-temannya adalah hal yang belum pantas untuk aku kenal. Di usia mudaku kini harus siap menyandang predikat gadis tapi bukan perawan dan semoga saja kelak siapapun pria yang akan mendampingi ku dengan lapang menerima segala kekuranganku. Kututup buku tulis tersebut bersama dengan air mata yang jatuh. Mencoba menetralisir sudut hati yang tampak nyeri. Ku usap air mataku mencoba tegar, memilih mencari udara di luar kelas namun sayang Irgan nampak sedang berdiri di ambang pintu kelasnya yang berhadapan dengan kelasku. Kami saling menatap, tanpa menyapa. Tak ada sekilas senyum maupun lambaian tangan dari kita. Dingin bagaikan salju yang membeku, membekukan segala hubungan yang selama ini terjalin erat. Bagaikan minyak dengan air, sepertinya aku dan dia tak akan pernah bisa menyatu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD