3. Menjadi pecandu

651 Words
Semuanya berubah, memporak-porandakan kehidupan yang baik-baik saja. Dulu aku yang berprestasi menjadi kebanggan keluarga, yang lugu dan selalu jujur dalam segala hal. Ku tapaki segala kesulitan walau kadang limbung. Pelik yang mendera langkahku adalah awal pendewasaan ku dimulai. Benar-benar frustasi akan hubunganku dengannya yang semakin tiada arti. Beberapa minggu lamanya ku memilih untuk bebas. Menjadi pecandu obat-obatan terlarang, meminumnya melebihi dosis yang ditentukan kadang pula mencampurkannya dengan minuman bersoda. Aku hancur, merasa tak berguna menjadi seorang manusia. Kutelan segala pil kepahitan ini, berharap semuanya hanya mimpi. Ternyata efek dari obat itu sangatlah nyaman. Dengan itu aku bisa melupakan hal yang beberapa hari membuat badanku kurus. Walau itu salah, hanya obat itu yang paling mengerti diriku. Sengaja, ku rubah segala pola pikirku. Tak peduli dengan kata mereka dan siapapun itu. Tak peduli pada Irgan yang juga tak mempedulikan ku. Aku ahkirnya selingkuh dengan kakak kelasku, bukan lebih tepatnya anak SMA yang umurnya berbeda tiga tahun dariku. Entahlah hubunganku dengan Irgan seperti apa sekarang. Karena setiap kali kami mengobrol melalui pesan hanya ada pertengkaran dan sikap dinginnya yang membabi buta. Tak betah dengan segala sikapnya kupilih untuk berpindah ke lain hati walau sulit. Semakin hari menjadi lebih dekat dengan Kerel pacar keduaku. Laki-laki itu baik, lebih dewasa dariku. Kami pernah bertemu dua kali dan itupun hanya sebentar setelahnya kami hanya mengobrol melalui ponsel. Tiap malam hari selalu ku habiskan waktuku untuk mengobrol dengan Kerel. Meski hanya lewat telfon tetap membuatku merasa terhibur. Pria itu selalu menghiburku melalui cerita-ceritanya. Sungguh hidupku yang beberapa hari suram menjadi sedikit berwarna. "Kau pacaran dengan Kerel?" Fita salah satu temanku menimbrung obrolan kami. Yang awalnya ribut kini menghening digantikan dengan tatapan sahabat-sahabat yang penasaran. Mengangguk sebagai jawaban karena mengelak pun tetap tak akan bisa. Kulihat sahabatku menganga kaget tak percaya dengan pernyataan tersebut. "Sejak kapan Kar?" "Dua hari yang lalu." "Apa kau putus dengan Irgan?" Sekarang giliran Mila yang bertanya, mengedikkan bahu sebagai jawaban. Karena memang tak tahu hubungan ku dengannya sekarang seperti apa. Mereka memperhatikanku penuh prihatin, mungkin mereka telah menemukan jawaban dari mataku yang sembab beberapa hari yang lalu. "Pantas saja Irgan kelihatan murung." mataku berbinar menatap Fita, temanku yang satu itu memang suka sekali bergosip jadi kadang kala informasi yang di berikan dapat di percaya. Biasanya omongan mulut ke mulut memang benar adanya hanya saja terkadang di lebih-lebihkan "Belum tentu kesedihannya karena putus dengan Karina." Mila menimpali. Gadis itu memang terlalu jujur dan terbuka kepada sahabat-sahabat ku. Kadang pula ia selalu memberikan nasehat-nasehat kepada kami. Mila bagaikan ibu yang menyayangi anaknya dan kami lah anak-anaknya. Memang terasa mustahil jika anak cowok itu memikirkan ku bahkan hingga bersedih karena aku yang juga mulai cuek. Bukannya aku sampah dalam hidupnya? Mana mungkin Irgan ingin memungut seonggok sampah? "Kau mau kemana?" Teriak Pricilia, aku menoleh dan menjawab hendak ke kantin sebentar Di perjalanan menuju kantin, ada siswa cowok yang tengah bermain bola basket di lapangan. Mereka sangat bergembira, b*******h mengejar bola. Tersenyum miris menyamakan laki-laki dengan permainan bola basket. Ketika seorang laki-laki begitu b*******h dengan perempuan. Ia akan terus mengejarnya, bagaimanapun cara hingga bahkan terjatuh karena lawan. Tetapi percayalah sebesar apapun gairah laki-laki itu untuk mendapatkan wanitanya tetap akan di lempar jauh ke atas hingga jatuh ke dasar. Begitulah kiranya perumpamaan laki-laki dengan bola basket. Kantin nampak ramai, karena memang sedang jam istirahat. Mataku tak sadar menangkap Irgan yang tengah duduk bersama kelompoknya diantaranya ada juga siswi-siswi teman kelasnya. Dia tak melihatku karena posisinya membelakangi. Mengabaikan Irgan, aku fokus pada tujuan ke kantin. Membeli minuman bersoda dan mencampurnya dengan obat penenang yang kubawa dari rumah. Tak bisa fokus karena semuanya yang belum bisa sepenuhnya ku terima. Serasa tak adil bagiku, tapi inilah takdir hidup. "Terima kasih Mpok." Jawabku, ketika Mpok inem memberikan kembalian. Mpok inem tersenyum. Disinilah aku sekarang, didalam kelas sendirian dengan botol minuman yang berisi obat penenang. Ku pikir sekarang hidupku sudah rusak, biarlah semuanya menjadi berantakan. Tak ada yang peduli padaku, dia yang kupercaya justru menghianati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD