Terpuruk

1156 Words
Satu hari setelah kejadian, aku menjadi bintang mendadak. Mereka membicarakan ku kesana-kemari sembari mencari celah yang lain di kehidupanku. Ibu menanggung malu, beliau tak berani keluar rumah karena para tetangga menggunjingnya. Kuhela napas, walau terasa sesak mencoba mencari oksigen yang Tuhan berikan dengan gratis. Hari ini ayah tak berangkat bekerja, beliau sibuk memikirkan masalahku dengan Irgan. Saat-saat seperti ini aku dapat melihat bahwa kedua orang tua sangat berarti di kehidupan anaknya. Mereka memang malaikat yang tak bersayap, bahkan yang lebih mewahnya lagi mereka masih tetap bertahan walau kadang dilukai. Rumahku yang biasanya sepi, nampak ramai. Nenekku yang dari kampung datang hanya untuk memarahi. Kuterima saja semuanya, sebagai tebusan perbuatanku. "Tanyakanlah pada Karina, apakah masih ingin melanjutkan pendidikan?" "Sebentar." Dari kemarin aku sama sekali tak keluar kamar, rasanya sangat tidak mengenakkan. Ibu datang menghampiri kamarku, aku yang berbaring merubah posisi menjadi duduk "Jadi bagaimana?" Raut wajah ibu nampak menahan tangis "Bagaimana apa?"tanyaku pura-pura tak tahu, padahal pembicaraan mereka selalu ku dengar "Apakah kau masih ingin melanjutkan sekolah?, Atau memilih menikah bersama Irgan." Aku terdiam, kalimat itu seperti sebuah candaan yang terdengar nyaring di gendang telinga. Banyak pertimbangan untuk memilih kedua hal tersebut, jelas aku butuh waktu tetapi ibu sepertinya memaksaku untuk menjawabnya hari ini juga. Seperti di todong pisau, harus memilih mati atau tak hidup keduanya sama saja. Pilihan yang sulit. "Jelas aku pilih melanjutkan sekolahku." Karena aku ingin menjadi orang yang berguna, dapat membahagiakan mereka. Setelah kesalahan yang ku buat pikiranku berubah, melihat ibu yang makin nelangsa dan ayah yang menderita karena ku. Selain karena ingin membahagiakan, aku juga takut membina rumah tangga terlebih lagi ibu Irgan terkenal galak. Mentalku tidak sekuat bayangan orang-orang, masalah perasaan aku keos. Ibu nampak terdiam, kuyakin ia mencoba menghiburku dengan senyumnya yang menggoda. "yakin, nanti kau menyesal di pertengahan jalan." Senyuman ibu menular padaku, ah rasanya ibu seperti selimut yang selalu menghangatkan. "Aku yakin." Jawabku penuh kematangan Ibu pergi, menghampiri mereka yang berada diruang tamu. Sayup-sayup kudengar suara kakak perempuan dari ibuku. Beliau mengatakan "Aku pikir anakmu tidak hanya melakukan satu kali bersama Irgan, buktinya dia nampak tak begitu terluka." Hatiku tertohok, apa yang bibi katakan adalah kebenaran. Hanya saja kali ketiga kami melakukannya aku dipaksa, aku bahkan tak mengetahui apa niatnya membawaku ketempat terkutuk itu. Suasana semakin hening, lagi-lagi seseorang memasuki kamarku. Aku yang tengkurap mencoba bangun dan melihat siapa yang datang "Sekarang begini saja Karina, kau jujur pada kami." Ku gigit bibirku, mencoba menetralisir degub jantung yang tak karuan. Ini salah, ini adalah kesalahan. Aku di ambang jurang yang dalam. "Kau pasti tidak hanya satu kali melakukannya kan?" Aku terdiam, masih bingung memilih kata. Jika aku berdusta masalah tak akan menemukan titik terangnya, namun kejujuran semakin membuat kedua orang tuaku terluka. "Ya, aku sudah melakukannya selama tiga kali." Paman, kakak dari ayahku terdiam. Memandang kearah lain penuh pikiran. Kepala yang tertunduk adalah isyarat betapa malunya diriku. Pamanku berlalu, meninggalkan aku yang terisak dikamar. Entah mengapa rasanya begitu sakit saat semua orang nampak membenci. Hidupku seperti abu-abu, gelap tak ada seberkas cahaya. Rasanya kelabu, semuanya terasa menyakitkan dan pedih. Masa depanku terperosok jatuh, melukai banyak orang. Nama keluarga yang harum, kini menjadi bahan bual-bualan. Tuhan seakan dengan gampangnya menegurku, mengubah Titian hidup yang sudah direncanakan. Tapi siapa aku, berani melawan kehendakNya. Didalam tangis, kuyakini kelak esok, hidupku lebih berarti. _________________________________ Beberapa hari setelah kejadian itu aku tidak masuk sekolah. Kirana mencoba menguatkan dirinya. Saat sekolah kembaranku itu mendapat banyak tatapan dari teman-teman dan guru. Terlebih lagi pihak sekolah juga ikut campur dalam masalahku. Kejadian itu terdengar hingga sekolah tempatku menimba ilmu. Kirana yang cerdas menjadi bahan hinaan mereka. Kami yang memang berjarak semakin tak ada kedekatan, kembaranku itu kini menatapku penuh kebencian. Aku tahu, Kirana mencoba kuat dan memilih berdiri walau banyaknya badai yang datang. Ku akui, Kirana lebih kuat dariku dalam segala hal. Tiga hari setelah masalah itu, ayah dan pamanku mendatangi rumah Irgan. Setelah berunding dan mencari titik terang pihak keluargaku meminta pertanggung jawaban. Sayangnya, Irgan tak mengakui tindakan bejatnya padaku. Lebih parahnya lelaki itu sampai bersumpah tak pernah menyentuhku. Rasanya bagaikan tertusuk seribu pisau, ngilu dan nyeri mendengarnya. Aku tak mengira Irgan sangat pengecut, lelaki yang dulu ku kagumi adalah seorang b******n. Lebih parahnya lagi pihak keluarga Irgan melindungi putranya yang nakal. Tak kusangka mereka membela anaknya yang salah. Keluargaku semakin pusing, mencari jalan keluar yang baik. Sampai pada akhirnya paman, kakak dari ayahku memberikan solusi yang sedikit membuatku terguncang. "Begini saja, kalau memang Irgan tak ingin mengakui kita bawa dia ke jeruji besi, sampai ingin mengakui." Semua orang yang berkumpul di ruang tamu termasuk aku terdiam. Mencoba menimang-nimang usulan paman. "Begitu juga bagus." "Tapi Kirana, kalau sampai di kantor polisi kau harus mengatakan bahwa Irgan memaksamu untuk melakukannya. Kau harus berbohong sedikit agar Irgan ingin mengakui." Aku tertegun, mereka mengamati ku menunggu persetujuan dariku. Ku pikir itu salah, memang Irgan memaksaku tetapi kami juga terikat sebuah hubungan yang bisa jadi kami kedua menyepakati. Rasanya aku seperti dipaksa memanipulasi, membuat kehidupan seseorang menjadi tak berarti. Aku tidak ingin seperti itu, sebuah kecurangan tidaklah baik. Namun, mulutku tak berani berkata. Aku takut mereka memprotes usulanku, padahal seharusnya mereka mendengar keluh kesah ku lalu membuat solusi. Tetapi rasanya mereka membatasiku untuk menjelaskan semuanya. Kepalaku mengangguk menyetujui. Malam ini juga kami berada di kantor polisi. Pihak pilot mendatangi rumah Irgan, menjemput anak lelaki itu dirumahnya. Cukup lama aku menunggu, sampai pada akhirnya mataku bertemu dengan pandangan yang kurindukan. Lelaki itu memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru. Sebelum Irgan datang aku sempat di interogasi oleh salah satu pak polisi. Kujelaskan semuanya nampak pak polisi tersebut mempercayai. Entah mengapa otakku seperti di doktrin untuk membuat Irgan kalah dan mengakui kesalahannya yang sebenarnya kesalahan itu kami berdua yang buat. Irgan duduk di sebelahku, pak polisi berada di depan kami. "Jadi kalian ingin menikah atau tetap sekolah?" "Sekolah pak." Jawabku tegas "Bagaimana dengan kau?" Pak polisi itu menunjuk Irgan yang sebelumnya menunduk "Aku tidak masalah jika Karina ingin dinikahi olehku." "Apa kalian tidak menyadari kalau perbuatan itu salah?" Kami terdiam. "Dan mengapa sebelumnya kau tidak ingin jujur saja?" "Pak, di zaman sekarang ini tidak ada maling yang ingin mengaku, aku juga tidak habis pikir padahal Irgan memiliki seorang kakak perempuan, bagaimana jika posisi itu dibalik pada kakaknya." Kataku, yang mencoba memberanikan diri Pak polisi itu terkejut. "Kau memiliki kakak perempuan?" Irgan mengangguk. "Seharusnya kau bisa membalikan posisi itu." Kata pak polisi, rasanya aku menang dari peperangan itu. "Sekarang, ikutlah denganku.", Pak polisi itu membawa Irgan entah kemana, tetapi mataku membulat saat tangannya di borgol oleh pria paruh baya tersebut. Aku meringis, sudut hatiku merasa bersalah. Saat itulah, pertemuan terakhirku dengannya secara dekat dan saat itu juga untuk terakhir kalinya aku mendengar suara yang dulu ku puja. Kami pulang dengan membawa kelegaan. Tetapi pilu masih menggerayai hatiku. Aku tak kuasa kala melihat mata ayah yang bengkak karena menangis. Ibu mengatakan padaku bahwa semalaman ayah menangis karena ku. Seakan terbukti saat tak sengaja dan kucuri pandang pada ayah, mata beliau membengkak dan nampak sendu. Aku gagal menjadi seorang putri. Kehormatan yang seharusnya ku beri pada suamiku kelak telah direnggut oleh orang yang salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD