Di paksa

1177 Words
Jalanan menjadi becek, genangan air dimana-mana membuatku harus berhati-hati berjalan karena takut terpeleset. Ku genggam erat ponsel yang berada di tangan kanan dengan tangan kiri yang menggenggam gagang payung berwarna merah. Walaupun perlahan hujan mulai mereda tetapi gerimis masih setia membasahi bumi. Dengan jaket tebal pemberian ibu tahun lalu ku lawan dingin lalu menyusuri jalanan di malam hari. Untung saja ibu percaya padaku, aku berbohong padanya ingin membeli sesuatu di warung ujung jalan. ya, akhirnya kupilih untuk menemui Irgan yang sudah menungguku di ujung komplek tempat tinggalku. Perlahan tapi pasti kuatur napasku yang mulai berirama tak wajar. Aku heran, setiap bertemu dengan Irgan selalu saja seperti itu rasa gugup dan canggung mulai menggerayai diriku. Namun kutepis semuanya dengan berpikir positif, Irgan adalah orang yang baik dia tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Tepat di ujung jalan kulihat motor merah milik Irgan menepi disana dengan Irgan yang duduk diatasnya. Kakiku melangkah mendekat, lalu menyapa dengan cicitan pelan. Dia menoleh lalu tersenyum padaku "Sudah lama menungguku?" aku membuka suara agar tak hanya gemercik gerimis yang terdengar "Tidak, tetapi aku kedinginan. Bisakah kau ikut bersamaku?" katanya penuh permohonan. Terdiam mencoba memikirkan apa yang akan terjadi nanti jika aku pergi bersamanya di malam hari tanpa sepengetahuan ibu. Beliau pasti akan memarahiku jika aku ketahuan olehnya pulang malam. Sembari terdiam, kepalaku memikirkan berbagai rencana dan alasan yang akan ku katakan pada ibuku nanti. Irgan menunggu jawabanku, menatapku penuh tanda tanya karena melihatku terdiam untuk beberapa menit. Lalu kuputuskan untuk ikut dengan Irgan, cowok itu tersenyum penuh kemenangan. Memecah keheningan malam dan gerimis yang perlahan mulai berganti menjadi hujan. Sembari memeluk kemeja Irgan yang basah karena gerimis aku menumpahkan segala rasa, membagi kehangatan dari tubuhku yang tertutup jaket. Lalu motor Irgan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata awalnya aku memprotes tindakan itu tetapi dalihnya membuatku paham bahwa semakin lambat mengendarai maka kami akan basah terkena hujan. Aku tak tahu sudah berapa menit kiranya perjalanan kami, tetapi perkiraanku sudah cukup lama kutinggalkan rumah. rasanya ibu pasti tidak akan percaya dengan alasan yang kuberi nanti. Motor Irgan menepi di depan bangunan cantik, dengan dihiasi lampu kelap-kelip bagian pintu masuknya. Mataku terus memindai keadaan sekitar karena tempat ini sangat asing bagi diriku. Irgan menuntunku, tetapi kutahan pergelangan tangannya sebelum masuk kedalam bangunan tersebut. "Rumah siapa ini?" tanyaku penasaran, lelaki itu justru hanya tersenyum tipis lalu menarikku untuk mengikutinya. Kepalaku menoleh kesana-kemari moncoba mencari tanda   yang menunjukan sesuatu tentang bangunan ini Tetapi yang terlihat hanya kamar-kamar dengan pintu yang tertutup walau ada beberapa dengan pintu yang terbuka, Irgan berhenti di depan seorang perempuan yang ku pikir adalah resepsionis dari tempat ini. "Nomor berapa yang tak terisi?" tanyanya langsung pada inti, bahkan perempuan di depannya sempat ingin menyapa namun tak jadi karena Irgan yang langsung berbicara "Kamar 4 tuan." jawab perempuan tersebut ramah "Baik, berikan aku kuncinya." Perempuan tersebut mengangguk lalu memberikan kunci dengan gantungan kupu-kupu. Lagi-lagi Irgan menariku untuk mengikuti langkahnya. kepalaku bertanya-tanya akan apa yang Irgan lakukan. Akankah ia memberikan kejutan padaku? atau justru ingin melakukan hal buruk? Jujur akal ku sedikit merespon hal buruk dari pembicaraan Irgan dengan resepsionis tadi dan tempat ini membuatku tak nyaman walau memang menarik. Tangan Irgan memasukan kunci yang di pegangnya tadi kedalam lubang kunci. Setelah pintu terbuka lebar mataku menatap satu ranjang kamar dengan sprei dan bantal-bantal yang rapi walau lampu kamar yang sengaja di desain redup tetap membuatku bisa menilai seisinya.  Lelaki tersebut mempersilahkan aku untuk masuk lebih dulu, sedikit ragu kakiku akhirnya melangkah masuk dengan tangan yang masih membawa payung dan ponsel. Karena merasa ribet akhirnya kuletakan saja payung tersebut di samping pintu aku lupa menaruhnya di dekat motor tadi.  Suara pintu kamar tertutup bersamaan dengan Irgan yang masuk kedalam "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan padaku Irgan?, dan ini tempat apa?" beberapa pertanyaan sengaja kulayangkan pada Irgan, jujur aku sudah tak tahan ingin mengucapkan sedari tadi "Duduklah dulu." perintahnya dan malah mengabaikan pertanyaanku. "Katakanlah." titahku setelah duduk di sisi ranjang. Lelaki itu justru berdiri menjulang di depan sembari menatapku dengan raut wajah yang sulit di artikan. Aku berkedip menunggu jawabannya tetapi dia justru mendekatiku "Percaya padaku?" Aku mengangguk."ya tentu." bibirnya langsung menyentuh bibirku dengan rakus, aku terkesiap mendapat serangan mendadak. tanganku mencoba menghentikan aksinya tetapi lelaki itu justru membuatku semakin b*******h, semua yang kurasakan berubah menjadi keinginan yang kuat karena sikapnya memang sengaja membuatku ke awang-awang. Dia melepas ciumannya, mataku terbuka menampilkan wajahnya dengan bibir tersenyum manis. Aku benar-benar terhipnotis oleh rayuannya semuanya memabukkan bagiku. "Aku tidak bisa Irgan, aku ingin pulang." Kakiku bahkan sudah hendak melangkah keluar, tanganku sudah meraih gagang pintu namun nihil pintu tersebut sengaja di kunci oleh irgan. Aku berbalik menatapnya yang tersenyum miring , aku ketakutan melihat perubahannya. "Irgan, apa maksudmu?" kataku parau "Apa semuanya belum jelas Karina?" ia berjalan mendekatiku, mengungkung ku di antara tangannya. Aku terjepit, punggungku mendesak pintu kayu. "Bagaimana dengan Kerel?, apa dia meninggalkanmu?" katanya diplomatis. aku menggeleng dengan mata memejam karena takut menatapnya. Entahlah malam ini terasa mencekam bagiku. bahkan tak mengerti mengapa Irgan harus berbasa-basi tentang Kerel. "Buka matamu." perintahnya lembut tetapi tetap membuatku takut "Buka Karina." katanya geram, akhirnya aku membuka mata menatap wajahnya yang juga menatapku tanpa berkedip lalu matanya turun mengamati bibirku. Bergerak gelisah karena gugup dengan tatapan seperti itu, ku gigit bibir bawahku merasa salah tingkah tetapi justru Irgan menyerang ku dengan lumatan lembut di bibir. Ku dorong tubuhnya hingga membentuk jarak. Raut wajahnya nampak kesal. "Katakan Irgan, apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku kesal karena sedari tadi Irgan justru mengalihkan pembicaraan dan malah menyerangku dengan ciuman "Aku menginginkanmu Karina, aku mencintaimu." Katanya datar, kakiku melangkah mundur mendengarnya 'menginginkanku' kembali membuatku ketakutan. Aku takut semuanya terulang lagi, rasa bosannya setelah mendapatkan ku lalu pergi begitu saja. Aku takut. "Jangan takut Karina, aku tak akan seperti itu lagi." sahutnya seolah mengerti apa yang ada di kepalaku. Tangannya lalu meraih pinggangku dan memeluk tubuh yang berbalut jaket dengan erat. "Aku tidak ingin Irgan. Hubungan ini harus sehat, bisakah kita pulang saja ibu pasti mencari ku." "Ku mohon Karina." ia melepas pelukan "Tidak, aku tidak bisa!" jawabku yakin, namun tiba-tiba Irgan menggendongku mataku melotot sempurna melihat perlakuan mendadak tersebut. Ia lalu melemparku pelan di atas ranjang dan menindihku, tubuhku benar-benar tak bisa bergerak karena Kungkungan Irgan. Dengan sekuat tenaga ku coba meronta, meski kaki dan tangan di tindihnya namun suaraku masih menggema di seisi ruangan sampai pada akhirnya Irgan melayangkan ciuman membungkam mulutku dengan bibirnya yang manis karena rokok. Suaraku menjadi tak jelas, dan perlahan-lahan aku justru menikmati semuanya. Sentuhan demi sentuhan yang lembut membuat mataku berkilat gairah, aku lemah diriku meleleh karena perlakuannya. Aku gadis normal yang masih memiliki gairah, sekuat apapun tubuh dan jiwaku menolak tak akan bisa menahan gairah yang selama ini terpendam. Perlahan tangan kekarnya membuka seluruh pakaian yang kukenakan termasuk jaket pemberian ibu tahun lalu. Mataku menangis mengingat ibu bersamaan dengan milik Irgan yang memasukiku. Menjerit pelan karena kesakitan detik berikutnya digantikan dengan lumatan bibir Irgan yang membelai bibirku manja. Sangking nikmatnya aku bahkan tak tahu kapan Irgan membuka pakaiannya. Seperti disihir, seseorang bisa saja berubah karena tak mampu menahan gairah. dan saat ini akulah orang itu, yang kalah oleh gairah yang membabi buta tubuh yang begitu malang
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD