Outside Castle

1017 Words
Begitu kami melewati gerbang kastil, pemandangan dan cuaca seketika berubah. Pepohonan yang rindang dan rumput menghijau mendominasi sejauh mata memandang. Bagaimana mungkin bisa berbeda? Aku menoleh dan melihat kastil yang masih disiram hujan salju ringan. Kusimpan kebingungan dan memacu Thunder lebih kuat menyusul Ron juga Ruben yang sudah berada jauh di depan. Aneka burung dan hewan liar yang jinak berlarian dengan riang dan lincah. Rasanya aku seperti berada dalam dunia fantasi seperti dalam buku yang Ruben berikan. Kami tiba di padang rumput yang menghadap langsung ke arah laut luas tak bertepi. Hanya garis horizon saja yang tampak. Ron dan Ruben turun dari kudanya dan berdiri menatap lautan. Aku menepuk leher Thunder dan kuda itu berhenti pelan-pelan. "Inikah laut?" tanyaku penuh takjub.  Warna biru dan ombak yang bergelombang tenang sangat indah. Burung berwarna putih terbang dan menghiasi pesisir pantai yang berpasir putih bersih. Pasir itu terlihat berkilau. "Turun, Penta! Ada yang ingin kami tunjukkan!" pinta Ron dengan suara lantang.  Aku menurut dan melompat turun. Kedua guruku melangkah menuruni lereng padang dan tampak komplek pemakaman yang berpagar besi hitam. Hatiku semakin berdebar. Kejutan apalagi yang ingin mereka ungkapkan padaku? Tanpa banyak bertanya, aku mengikuti langkah cepat mereka yang akhirnya berubah melambat saat masuk ke area yang dipenuhi nisan. Semua terukir nama asing namun selalu berakhir dengan nama Bennet.  "Ini adalah komplek peristirahatan keluargamu," terang Ruben dengan pelan, namun aku jelas mendengar kalimatnya. "Bennet!" panggil Ron sembari mengisyaratkan untuk mendekati sebah nisan indah dari batu marmer. Esther Rosemary Bennet. "Ibu ...," desisku dengan lirih. "Esther dan Rupert, buyutmu, meninggal dalam waktu yang bersamaan, kami menguburkan mereka berdampingan," ucap Ron dengan wajah penuh duka. "Dan ini adalah milik kedua kakek nenekmu. George Willy Bennet dan Marriane Bennet. Putra tunggal Rupert juga menjadi korban kebiadaban pagan Osirus,"  ujar Ruben dengan mata berkaca-kaca. "Tidak adakah dari mereka yang masih tertinggal?" tanyaku dengan pelan. Bukan dengan nada kesedihan, lebih pada penasaran. "Mungkin ada, tapi anggota pagan kami berusaha menyembunyikan dengan rapat. Sulit melakukan komunikasi meluas, kami hanya meminta yang kami butuhkan dan anggota lain yang bertindak. Kami berlima sama terkurungnya dengan dirimu," jelas Ruben kembali. Aku terdiam dan duduk di samping nisan ibuku. Tertulis di batu marmer hitam nama dan tanggal lahir juga masa akhir hidupnya. Jariku mengusap tulisan yang menurutku sangat menarik. “Nobody can make you feel inferior without your permission.” —Eleanor Roosevelt "Eleanor Roosevelt? Aku tidak pernah mendengar nama itu? Bahkan dalam Alkitab, buku tertua di dunia!" seruku heran. Ron dan Ruben saling berpandangan. "Penta, ada satu lagi yang belum sempat kami ungkapkan," balas Ruben. Aku menoleh. "Banyak sekali misteri dan rahasia kalian. Butuh berapa tahun untuk memberitahu semuanya padaku?" tanggapku dengan getir. Ron tersenyum. "Keluarga Bennet adalah keluarga istimewa. Dalam darah kalian mengalir darah penyihir hebat yang akan kami ceritakan pada lain waktu. Tapi kemampuan keluargamu yang paling signifikan adalah sebagai traveler," papar Ron kali ini dengan wajah berbinar. "Traveler?" tanyaku. "Penjelajah waktu," kata Ruben membantu menjelaskan.  "Hubungannya dengan ibuku dan kalimat dari Eleanor?" "Esther menjelajah waktu dan bertemu dengan wanita hebat itu. Anna Eleanor Roosevelt merupakan Ibu Negara Amerika Serikat dari tahun 1933 sampai tahun 1945. Dari wanita tersebut, Esther mengetahui siapa yang telah menanamkan benih di rahimnya dengan ajaib," jelas Ruben dengan sangat fasih. "Semua penjelasan kalian terdengar gila," sambutku kurang menyenangkan. "Oh, Bennet! Berhentilah sinis dan ketus! Ini semua takdir dan nasib yang harus kamu terima dan pahami!' seru Ron dengan kesal. Aku berdiri dan menghadap keduanya. "Tahukah kalian rasanya tidak memiliki kesedihan apapun setiap mengenang keluargaku?" "Tidak ada emosi lain yang kurasakan selain amarah!" "Kalian bilang aku adalah Putra dari Osiris,  dewa kematian. Kekuatanku adalah lima unsur alam, sekarang bertambah lagi sebagai traveler, tapi tidak ada satupun yang aku miliki. Tidak ada satu pun keajaiban yang terjadi!" pekikku beruntun dengan kesal. Tanpa menunggu lagi, aku berbalik dan meninggalkan mereka. "Penta, itu semua karena kami mengunci kekuatanmu!" seru Ruben. Langkahku berhenti. "Mengunciku dari peradaban, mengunci seluruh kekuatanku, sekarang apalagi yang akan kalian kekang dariku?" balasku dengan tajam. "Kami melindungi kastil dari dunia luar. Tidakkah kamu jelas melihat perubahan cuaca yang ekstrem? Itu karena orang luar tidak akan melihat keberadaan kita, bahkan setelah mereka tiba di pulau ini!" teriak Ron dengan jengkel. Mungkin kesabarannya habis menghadapi sikapku yang menyebalkan.  Aku mengacungkan tangan ingin membalas kata-katanya, namun suara orang bercakap-cakap menghentikan niatku. Aku menoleh ke sekeliling dan tidak melihat siapa pun. "Ada seseorang ...," gumamku. "s**l!" umpat Ruben. Ron menyeretku dengan buru-buru keluar dari komplek makam. Ruben mengumamkan dua buah kata yang aku tidak pernah dengar sembari melempar serbuk putih keperakan. "Protegum locare." Mendadak komplek makam menghilang. Ron dan Ruben terus mencekal lenganku berlari menuju pepohonan. Kami bersembunyi dan kali ini Ron yang menggumamkan kalimat aneh. "Disparater ego," entah apa artinya namun aku yakin pasti ada kaitannya dengan sihir untuk menyembunyikan diri. "Ke-kenapa aku bisa mendengar mereka dan kalian tidak?" tanyaku gugup. Ruben menyilangkan jarinya di bibir dan aku terpaksa bungkam. Beberapa detik kemudian muncul lima orang dengan baju berseragam biru tua. Mereka terus mengucapkan tentang pengeledahan pulau yang mungkin tidak berpenghuni ini. "Kosong!" seru seorang pria kurus dengan cambang berwarna merah kepirangan. Pria bertubuh gempal dengan perut besar itu mengangguk dan menebarkan pandangan kembali. "Aneh, laporan para nelayan mengatakan tentang kapal besar yang mengangkut barang, itu bukan terjadi satu kali. Jika pulau ini menjadi sarang perompak kita harus rajin berpatroli, Sigmund," seru pria yang mungkin komandan mereka. "Baik Inspektur!" jawab lelaki bernama Sigmund. "Bawa pasukan lebih banyak. Selidiki setiap gua dan lereng. Kita tidak mungkin menjelajahi hanya dengan berlima," lanjut inspektur gendut tersebut. Rasanya menyenangkan melihat manusia lain selain para pelayan dan guruku. Kelima pria berseragam tersebut akhirnya pergi menuruni lereng menuju pesisir pantai. Kapal yang membawa mereka mirip dengan kapal milik kerajaan dengan logo aneh. "Kepolisian Faroe," bisik Ron seperti membaca pikiranku. "Kita kembali," ajak Ruben dengan cepat menarikku kembali ke kuda-kuda yang untungnya tidak mereka lihat karena tersembunyi di balik pepohonan. "Ini kali keenam mereka berpatroli," seru Ron. "Ada seseorang yang melaporkan!" balas Ruben. Ron mengangguk.  Aku kembali memacu Thunder mengikuti mereka ke kasil. Sungguh sayang, belum puas menikmati dunia luar. Tapi terlalu banyak pertanyaan yang mengelayuti pikiranku. Aku akan menguak semuanya malam ini!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD