Five Protectors

1056 Words
Matahari mulai bersinar dan memamerkan kehangatan cahayanya. Aku memandang piring sarapan dengan mata termenung. Sulit mencerna informasi sekaligus dari kelima pria dewasa yang pagi ini lengkap menemani diriku menyantap sarapan. Ruben Watts, guru sejarah yang hampir setiap hari mengunjungiku merupakan ahli sejarah atau guru besar termuda di antara kelima guruku. Albert Cooper, guru matematika yang berusia lima puluh tahun dan seorang manusia  paling cerdas yang pernah kukenal. Ron Baker, beliau adalah guru fisika dan kimia yang nyentrik dan berpenampilan keren. Walaupun berusia hampir lima puluh tahun namun Ron sangat menawan dan kharismatik. Wolf Hamilton, seorang ahli filsafat yang mengajariku tentang cakupan inti dari segala pengetahuan. Tentunya terkait erat dengan seni, sains, politik, dan beberapa bidang lainnya yang menjadi bagian dari filsafat.  Dr. Hugo Morrison adalah seorang dokter yang kupikir tadinya hanya kepala pelayan. Alasan dia menyembunyikan identitas adalah supaya bisa bebas mengawasi segala gerak gerik pelayan rumah. Termasuk mengatur menu untukku. "Semua keluargaku lenyap? Habis? Tidak tersisa?" tanyaku lagi. Entah kenapa tidak ada simpati ataupun kerinduan yang kurasakan. Di rumah yang menjadi penjaraku selama empat belas tahun ini tidak ada satupun gambar atau lukisan yang terpajang. Setelah semua terkuak, Hugo memerintahkan para pelayan untuk mengantung foto juga lukisan keluargaku. "Ya, Penta. Hanya ada kami" jawab Hugo dengan suara lembut kebapakan. "Bagaimana aku bisa bertahan jika kondisinya seperti ini terus? Cukupkah kekayaan leluhurku untuk membayar kalian?" selidikku dengan raut khawatir. Kali ini Albert tersenyum. "Aku adalah akuntan pribadi keluargamu. Ya, sangat teramat cukup. Bahkan hingga ke cucumu nanti," jawab Albert dengan bijak dan tulus. "Kenapa kalian memilih untuk setia pada tugas ini? Bukankah cukup mudah untuk merampok dari seorang anak yatim piatu?" cecarku dengan ketus. "Kami terlibat sumpah yang kuat. Tidak akan kami ingkari itu bahkan hingga detik terakhir. Rupert adalah manusia yang menyatukan kami selama ini. Menjaga dan melindungi miliknya adalah tugas dan kewajiban kami," jawab Wolf dengan suara dalamnya. "Kelompok itu, kenapa mereka memburu keluargaku?" Keempat guruku memandang Hugo. Dokter itu mengatupkan kedua tangan di meja. "Pernahkan kamu membaca tentang sebuah pagan yang terbentuk abad kelima belas?" tanya Hugo seperti sedang menguji pengetahuanku. Aku mengangguk dengan samar. "Dua pagan terbesar lahir pada abad tersebut. Fratrem dan Osirus. Fratrem adalah pagan yang berdasarkan persaudaraan tanpa unsur politik dan agama, sedangkan Osirus adalah pagan yang mengunggulkan kekayaan dan persemakmuran," jawabku dengan tepat. Hugo mengangguk dengan puas. "Rupert adalah pencetus revolusi Fratrem yang membentuk organisasi untuk lebih terkoordinasi baik. Itu terbukti, kami saling mendukung dan membantu. Sebagai anggota, kami memiliki ikatan begitu kuat. Persaudaraan kami menjadi kokoh dan solid, kami dengan ikhlas melindungi," terang Hugo panjang lebar. Cakrawala pikiranku mulai terbuka. "Sedangkan, Osirus berkembang menjadi lebih kelam. Mereka mulai mencari tonggak untuk memperkokoh komunitas. Penyembahan pada Osiris dan Horus, putra Osiris, mencetuskan ide untuk membangkitkan sesembahannya. Osirus mulai memburu seluruh seluruh kemungkinan untuk membuat Osiris sebagai pelindung mereka. Hingga ada satu ramalan muncul, seorang anak dengan unsur sembilan yang memiliki kekuatan lima unsur alam akan menjadi kunci untuk membuka jalan menuju Osiris. Anak tersebut adalah dirimu," ucapan Hugo terekam dengan baik dalam memori. Setiap kata hingga titik dan koma terpatri jelas dalam ingatanku. "Itulah sebabnya, kami melindungimu dari dunia luar. Kemunculanmu akan membuat dunia berada dalam ambang kehancuran," imbuh Wolf dengan prihatin. Aku tidak mampu bereaksi apapun. Pikiranku membeku dan kebas. "Maafkan kami, karena tidak memberimu masa kecil yang menyenangkan," ucap Ruben penuh simpati. Hidup terasing dari peradaban. Aku bahkan tidak mampu membayangkan rasanya bermain dengan anak seusiaku. Lingkup hidupku dikelilingi manusia dewasa dan tidak ada yang memberi gambaran bermain dengan gaya anak seusiaku. Semua kehidupan petualangan anak yang k****a dari buku hanya bisa merasakan serunya berpetualang tanpa mampu merasakan peran. "Aku tidak lagi menganggap permainan anak menarik," hiburku pada Ruben. "Rupert ternyata founder pagan Fratrem, mungkinkah ada anggota lain yang melindungiku selain kalian?" tanyaku dengan penasaran. "Ribuan anggota pagan kami berusaha menghilangkan berbagai bukti tentang ramalan dan petunjuk. Rupert memutuskan untuk melenyapkan informasi seluruh keluarga Bennet agar mereka tidak bisa melacakmu," ucap Ron sembari menghabiskan jus jeruknya. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?" aku kembali bertanya. Mengingat tidak ada diskusi mengenai hidupku selama ini dan entah kenapa mendadak ada rasa antusias yang mengelegak dalam jiwaku. "Perdebatan kami tadi malam mengenai perpindahan dirimu karena dipicu oleh kebocoran informasi. Keberadaanmu tercium oleh anggota Osirus. Lokasi rumah ini berada di tempat yang sulit dijangkau, namun pasokan makanan yang berkelanjutan ke sebuah pulau terpencil membuat kecurigaan yang berujung penyelidikan," papar Albert dengan terperinci. "Pulau. Jadi aku tinggal di sebuah pulau ...," gumamku pelan. "Ya, pulau di selatan kepulauan Faroe. Pulau ini miliki keluargamu, dokumen kepemilikan atas nama Bennet yang mengungkap keberadaanmu lebih jelas," balas Ruben. Suasana hening sesaat. Aku tidak lagi merasakan kebosanan. Rencana tadi malam malah terwujud lebih menarik dari yang dibayangkan. "Kembalikan hidupku yang hilang ... aku ingin merasakan hidup normal, setidaknya satu kali saja," pintaku. "Tidak akan ada hidup normal. Menjadi Pentagram sama halnya menjadi makhluk tidak berwujud," tukas Albert yang selalu keras dan tegas. Albert tidak pernah ramah, namun aku menyukai kecerdasannya yang mampu menandingi semua keingintahuanku. "Kita bertahan malam ini, sementara anggota pagan yang lain mengatur perjalanan menuju rumah berikutnya," ucap Hugo. "Dan menunggu lagi?!" teriakku mulai lantang. Aku tidak mau kesenangan ini meredup dan kembali membosankan. Hugo memijit keningnya dengan raut wajah penuh beban. "Mungkin aku bisa mengajak Penta untuk berkuda. Salju mulai reda," cetus Ruben dengan cepat. "Aku akan menemani kalian. Berkuda terdengar asyik ...," sambar Ron sambil berdiri dan menyambar jas panjangnya di samping. "Be-berkuda? Ke-keluar pppagar?" tanyaku mendadak gugup. "Ya, kau ingin menghilangkan kebosanan kan?" tanya Ron sambil mengedipkan mata. Aku bangkit dengan senyum terkembang. "Aku akan bersiap!" sambutku setengah memekik. Dengan tergesa aku setengah berlari menuju kamar dan berganti baju. Tidak sampai lima belas menit aku siap dengan baju berkuda. Salah satu pelayan mendampingiku menuju istal kuda yang berada di belakang kastil. Ruben tampak siap dan selesai memasang pelana. Ron sudah terlebih dulu berada di atas tunggangannya. Pelayanku membantu naik dan Ruben bersiul memacu kudanya. "Jangan lambat, Penta!" seru Ruben menantangku dan menyusul Ron yang melesat di depan. Aku tertawa penuh kebahagiaan. "I'm coming!"  Aku memacu Thunder, kuda hitam setiaku, dengan kecepatan penuh. Hatiku berdebar cepat saat Thunder melaju melewati jalan menuju gerbang. Inilah momen yang kutunggu, jalan kebebasan terasa indah dan membahagiakan. Sapuan udara menerpa wajah tapi bukan rasa dingin yang kurasakan. Hatiku terlalu gembira hingga kehangatannya menyelimuti seluruh tubuh. Thunder melewati gerbang yang terbuka dan kupejamkan mataku. Selamat datang kebebasan! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD