Bab 1 : Lahir di Bawah Bayang Kejayaan

1564 Words
Di tahun 1350-an, saat sinar matahari menyapu megahnya istana Majapahit, lahirlah seorang bayi lelaki di sebuah desa kecil tak jauh dari ibukota kerajaan. Namanya Sengkala, yang kelak akan menjadi saksi dan perajin s*****a dalam masa pergolakan yang mengguncang nusantara. Lahir di tengah zaman keemasan di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ia dibesarkan dalam bayang-bayang kerajaan terbesar yang pernah menguasai wilayah luas. Majapahit pada masa itu sedang dalam puncak kejayaan. Raja Hayam Wuruk memimpin dengan dukungan ketat Mahapatih Gajah Mada, yang bersumpah tak akan menikmati palapa sebelum nusantara bersatu di bawah satu mahkota. Wilayah kekuasaan mereka membentang dari Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara dan bahkan menjangkau Tumasik serta beberapa pulau di Filipina. Kota Trowulan, ibu kota kerajaan, berdiri megah dengan sistem tata pemerintahan yang terorganisir, pasar yang hidup dengan perdagangan rempah, emas, dan kain sutra, serta candi-candi megah yang menjadi simbol kemegahan budaya dan spiritual. Keluarga Sengkala adalah bagian dari golongan rakyat biasa, tidak bangsawan, namun hidup mereka melingkupi kisah sederhana namun mendalam. Ayahnya adalah seorang pandai besi yang mulai mengajarkan Sengkala sejak dini cara menempa besi dan logam agar menjadi alat yang kuat dan tajam. Sang ibu menjaga rumah dan mengajarkannya nilai kesetiaan dan kerja keras. Dalam lingkungan desa yang masih erat dengan kepercayaan Hindu-Buddha dan tradisi leluhur, Sengkala tumbuh dengan rasa hormat pada alam dan kuasa para dewa. Sejak kecil, Sengkala sudah mengamati kehidupan yang tak hanya dipenuhi kemakmuran, tapi juga ketegangan politik yang samar. Para bangsawan kadang berbisik tentang pemberontakan kecil di luar wilayah pusat, dan Mahapatih Gajah Mada seringkali mengadakan pertemuan rahasia mempersiapkan ekspedisi militer untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil yang masih memberontak. Dengan bakat yang mulai terlihat tajam, Sengkala sering membantu ayahnya membuat alat-alat sederhana, tapi matanya juga mulai tertuju pada keris dan tombak—s*****a yang menjadi lambang kekuasaan dan kehormatan prajurit kerajaan. Ia tak menyangka kelak, tangannya yang terampil akan menjadi bagian dari cerita berdarah yang tak tertulis dalam sejarah resmi. Namun, masa kecil Sengkala adalah masa ketika Majapahit berdiri kokoh, sebuah kerajaan raksasa yang menebar damai dan kekuatan, dengan budaya, seni, dan teknologi metalurgi yang berkembang pesat. Di sinilah dimulainya perjalanan seorang pria kecil yang akan melihat bagaimana keagungan itu berubah menjadi amukan yang menghancurkan. *** Sengkala lahir dalam keluarga pandai besi yang tradisinya telah turun-temurun membentuk pusaka dan s*****a bagi kerajaan Majapahit. Ayahnya, Mpu Wira, adalah seorang empu ternama yang dihormati oleh desa dan istana. Dari kecil, Sengkala sudah hidup dalam denting palu yang tak pernah hilang, bau besi dan arang yang menyatu dengan udara rumahnya. Keluarga mereka terdiri dari beberapa anggota yang mengabdikan hidupnya pada ilmu menempa—meneruskan pewarisan keahlian yang lebih dari sekadar pekerjaan, tapi sebuah seni dan ritual sakral. Di masa Majapahit yang mencapai puncak kejayaannya, empu seperti keluarga Sengkala bukan sekadar pandai besi biasa. Mereka dipercaya mempunyai kekuatan spiritual dan keilmuan rahasia yang bisa menghidupkan tuah pada keris dan tombak. Di balik pintu bengkel mereka, doa-doa kuno dan laku tapa brata menjadi bagian dari proses pembuatan s*****a agar lebih dari sekadar logam—menjadi pusaka penuh kekuatan. Dengan penuh hormat, ayah Sengkala mengajarkannya bahwa setiap keris yang ditempa bukan hanya harus kuat dan tajam, tetapi juga mengandung jiwa yang menjaga pemiliknya. Namun, mereka hidup jauh dari kemewahan istana. Mpu Wira dan keluarganya menjalani keseharian yang sederhana, penuh dengan kerja keras dan disiplin. Mereka tahu bahwa peran mereka sangat penting dalam menjaga kekuatan kerajaan dari balik layar. Setiap s*****a yang mereka buat menjadi bagian dari sejarah yang akan menentukan nasib kerajaan luas itu. Selain itu, ikatan keluarga yang erat membawa Sengkala pada nilai-nilai kesetiaan dan pengorbanan. Ibu dan saudara-saudaranya mendukung setiap langkahnya, meskipun kadang mereka khawatir dengan berbahayanya tugas empu yang tak hanya menghadapi api dan logam, tetapi juga intrik serta konflik politik yang membara di sekeliling Majapahit. Keluarga Sengkala menjadi penopang kekuatan batinnya saat ia mulai belajar tentang arti sebenarnya dari kesetiaan dan pengkhianatan dalam dunia yang akan segera berubah. Masa kecilnya yang penuh dengan bunyi dentingan palu dan percikan api itu membentuk fondasi jiwa Sengkala—seorang manusia kecil dalam kerajaan raksasa yang kelak akan menjadi saksi amukan zaman di balik gemerlap keemasan Majapahit. *** Orang tua Sengkala memilih nama itu dengan penuh arti dan harapan, meskipun nama itu mengandung kekuatan dan pertanda yang dalam tradisi Jawa disebut "sengkala". Dalam budaya Jawa, 'sengkala'u adalah rangkaian kata yang memiliki makna sekaligus menjadi penanda waktu yang mengandung angka-angka penting, digunakan untuk mengingat peristiwa besar dalam sejarah. Nama Sengkala bukan sekadar nama biasa. Orangtuanya mempercayai bahwa nama itu akan menjadi pengingat setiap langkah hidup yang berbahaya dan penuh kehormatan. Dalam bahasa dan tradisi Jawa, sengkala sering berfungsi sebagai 'kronogram' yang menandai masa penting. Makna kata sengkala sendiri berkaitan erat dengan masa depan, sejarah, dan pertanda, yang dalam kisah sejarah dikenal sebagai lambang perubahan zaman, seperti "Sirna Ilang Kertaning Bumi" yang menandai runtuhnya Majapahit. Ayah Sengkala, Mpu Wira, berharap anaknya akan membawa keseimbangan di tengah gelombang zaman yang akan datang—menjadi saksi dan pejuang kecil yang mampu menghantarkan pesan melalui karya s*****a dan kisah hidupnya. Mereka percaya bahwa nama Sengkala adalah nasib yang harus dijalani dengan kesabaran, ketabahan, dan keberanian. Keluarga Sengkala memiliki silsilah yang sederhana namun sarat nilai dan tradisi. Mpu Wira berasal dari garis keturunan empu-empuyan yang telah melayani kerajaan selama beberapa generasi. Mereka bukan bangsawan, tapi dihormati karena keahlian khusus yang diberikan Rajendra, leluhur mereka yang membawa ilmu menempa dari wilayah pedalaman. Mpu Wira dan istrinya, Dewi Laras, mengajarkan anak-anak mereka pentingnya kejujuran, kesetiaan, dan kerja keras. Keluarga ini terdiri dari beberapa anak, dengan Sengkala sebagai putra tertua yang dipersiapkan untuk meneruskan tradisi menempa pusaka. Adik-adiknya belajar mengolah bahan lain untuk alat rumah tangga dan keperluan desa. Meski hidup sederhana, mereka terikat erat oleh ikatan batin dan doa-doa agar kelak keterampilan dan keberanian mereka menjadi warisan yang lebih besar dari sekadar besi dan logam. Silsilah keluarga dan makna nama Sengkala membentuk dasar jiwa yang kuat dan penuh nilai, yang kelak akan diuji oleh peristiwa dan pilihan yang mengguncang Majapahit dalam amukan sejarah yang belum terungkap dalam catatan resmi. *** Dalam kehidupan sehari-hari keluarga Sengkala, tradisi menempa besi bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah seni dan ritual yang dihormati dalam masyarakat Majapahit. Di bawah bayang kejayaan kerajaan, para pandai besi seperti keluarga Sengkala menempuh proses yang sangat terikat dengan kepercayaan dan adat istiadat kuno. Setiap pagi, sebelum memulai menempa s*****a, keluarga Sengkala melakukan upacara kecil—membakar dupa dan memanjatkan doa kepada roh leluhur dan dewa-dewa agar besi yang ditempa menjadi kuat, tajam, sekaligus memiliki tuah dan perlindungan bagi pemilik s*****a. Ayah Sengkala, Mpu Wira, dengan sabar mengajarkan anaknya bahwa menempa bukan hanya soal kekuatan tangan, tapi kehalusan batin, kesabaran, dan konsentrasi yang tinggi. Api yang membakar logam juga dianggap sebagai simbol pengujian jiwa. Dalam bengkel mereka, tempat Sengkala belajar sejak kecil, terdapat berbagai jenis alat dan peralatan dari besi—dari pisau dapur, kapak, hingga keris berukir rumit yang menjadi simbol kehormatan dan keberanian ksatria Majapahit. Keris bukan hanya s*****a tajam, tapi pusaka yang dianggap sakral, menyimpan kekuatan gaib yang memberi keberanian atau melindungi pemiliknya. Para pandai besi dihormati sebagai golongan khusus, meski mereka secara sosial terkadang dianggap rendah dalam sistem kasta. Namun kerajaan Majapahit menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi mereka karena peran vitalnya dalam persenjataan dan kelangsungan kekuasaan kerajaan. Mereka adalah penjaga kekuatan raja dari balik layar, yang setiap pukulan palu mereka memengaruhi keadaan kerajaan. Sengkala tumbuh dalam keseimbangan antara ketrampilan teknik dan pemahaman spiritual. Ia belajar bahwa menghadapi logam dan api adalah menghadapi kehidupan itu sendiri—penuh tantangan, harus ditempa dengan hati dan keyakinan. Tradisi seperti ini memperkuat ikatan keluarganya dan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar, menyiapkannya kelak sebagai pewaris keahlian yang luhur di tengah masa yang akan penuh badai. *** Malam itu, langit di atas Trowulan bersinar terang oleh ribuan bintang dan lentera yang menghiasi istana Majapahit. Suasana istana penuh kemegahan, dengan suara gamelan mengalun lembut di balik dinding batu merah yang kokoh. Para bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan berkumpul di pendapa utama, sementara di ruang ternyaman di bagian utara istana, Dewi Laras, istri dari Mpu Wira, tengah berjuang melahirkan anak pertama mereka. Di ruang yang penuh dengan dupa dan bunga melati, dukungan dan doa mengalir dari para empu sesepuh yang hadir, mengiringi proses kelahiran bayi yang dianggap membawa harapan baru bagi keluarga pandai besi yang menjadi tulang punggung kerajaan secara diam-diam. Suara palu dan bunyi logam menempa dari bengkel jauh terasa berseling dengan suara tangisan bayi yang mulai lirih. Ketika bayi itu lahir, para sesepuh mengamati tanda-tanda dan meramal nasibnya dengan cermat berdasarkan tradisi leluhur. Kedatangan Sengkala disambut bukan hanya dengan kegembiraan keluarga, tapi dengan doa dan harapan bahwa ia akan menjadi pribadi yang kuat, tahan uji, dan mampu membawa kejayaan serta keberkahan untuk keluarga dan kerajaan yang megah ini. Keistimewaan kelahiran Sengkala juga diwarnai oleh cerita tentang penampakan bintang jatuh di langit malam yang dianggap pertanda zaman akan berubah drastis. Para dukun kerajaan berbisik bahwa bayi ini kelak akan menjadi saksi dan pemberi catatan atas masa-masa gelap yang akan menyusul kejayaan. Sementara itu, di dalam istana, Raja Hayam Wuruk yang memimpin dengan bijaksana sedang menghadapi tekanan dari berbagai kerajaan kecil dan ancaman dalam istana sendiri. Dentuman genderang perang mulai terdengar samar, menandakan dunia baru di ambang perubahan. Namun, malam itu adalah malam penuh harapan—sebuah kelahiran di bawah bayang-bayang kerajaan yang terkuat dan sekaligus rawan runtuh. Dalam kebahagiaan dan harapan itulah, Mpu Sengkala mulai menjalani perjalanan hidupnya, berjalan di antara kemegahan dan intrik, diiringi denai sejarah yang akan membawa amukan yang dahsyat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD