Prolog: Bisikan Terakhir Majapahit

1438 Words
Api membumbung tinggi, menyambar langit malam yang pekat di atas ibu kota Majapahit. Suara jeritan dan dentuman perang menggema ke seluruh penjuru kota yang megah, kini berubah menjadi medan pertempuran dan puing berkeping-keping. Di tengah kehancuran yang brutal ini, seorang lelaki tua duduk di kediamannya yang remang, matanya menatap kosong ke arah bara api yang merajalela. Namanya Mpu Sengkala, mantri pangalasan yang pernah menjadi pembuat keris dan tombak terbaik bagi kerajaan. Tangannya yang dulu lihai kini gemetar karena usia, namun ingatannya tetap tajam seperti bilah s*****a yang ia buat berkali-kali. Sengkala bukan pahlawan, bukan bangsawan, melainkan saksi bisu dari runtuhnya mahakarya nenek moyangnya. Ia mengingat masa-masa ketika Majapahit masih berjaya, ketika kemegahan istana dan gemuruh pasukan kerajaan menyelimuti pulau-pulau luas Nusantara. Tetapi kini, semuanya hancur berkeping-keping karena ambisi, pengkhianatan, dan perang saudara yang tak pernah berkesudahan. "Amuk," pikir Sengkala, kata yang menggema terus di pikirannya. Sebuah badai kemarahan yang mengamuk tanpa kendali, meruntuhkan apa yang dibangun dengan susah payah selama berabad-abad. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran zaman yang kejam, di mana kesetiaan diuji dan masa depan terancam sirna. Di balik asap dan reruntuhan, Sengkala memegang satu harapan terakhir: keabadian sejarah yang tak hanya ditulis oleh para pemenang dan raja, melainkan oleh orang-orang kecil seperti dirinya yang bertahan hidup dan terus mencatat kegilaan abad ini. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis, meninggalkan cerita yang akan membakar jiwa siapa pun yang membacanya kelak—sebuah catatan yang akan bertahan jauh melampaui amukan api ini. *** Di sudut bengkel menguning oleh cahaya lentera, Mpu Sengkala memeriksa keris pusaka yang baru saja ia tuntaskan. Bilahnya berkilau tajam, menampilkan ukiran rumit dan pamor yang memikat mata. Setiap lekukan dan lekuk seolah menyimpan cerita—cerita tentang keberanian, pengkhianatan, dan darah yang tercurah demi mahkota. Tapi malam itu, keris itu terasa berbeda. Lebih dari sekadar s*****a. Sebuah simbol tak kasat mata dari kesetiaan yang rapuh dan ambisi yang menggelora. Kedua pangeran yang akan bertarung merebut tahta kerajaan mulai bergerak dalam bayangan. Kedua saudara yang seharusnya satu darah kini terjerat dalam intrik dan tipu daya. Dari balik tembok istana, bisik-bisik rencana pembunuhan dan pengkhianatan bergema lebih keras daripada dentuman genderang perang yang mulai terdengar. Sengkala tahu, senjatanya tidak akan bertahan lama dalam damai. Ia mendengar bisikan bahwa keris ini bisa menjadi alat kehancuran, bukan hanya sebuah lambang kekuasaan. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu bengkel dengan cemas. Seorang mata-mata dari pihak pemberontak, atau mungkin pembawa pesan yang akan mengubah takdirnya? Sengkala menahan napas, mengetahui bahwa setiap langkahnya kini akan menggores takdir dan menguji arti kesetiaan dalam pusaran waktu yang akan segera pecah. Sesaat setelah pintu terbuka, bayangan masa depan yang kelam dan penuh badai sudah menunggu di ambang. *** Sengkala menatap langit yang mulai gelap, di mana asap pekat dari kebakaran kota lambat mengalir ke angkasa. Ia tahu api ini bukan hanya membakar kayu dan batu, tetapi juga membakar masa depan kerajaannya yang telah bertahan selama berabad-abad. Dia teringat akan kata-kata gurunya dulu—bahwa pusat kekuatan kerajaan bukanlah pada s*****a, melainkan pada hati dan pikiran yang setia. Tetapi kini, kesetiaan itu terbelah, dan pil pahit pengkhianatan terasa di setiap sudut kota. Di antara reruntuhan dan jerit tangis, Sengkala berjanji dalam hati bahwa dirinya akan bertahan, bukan sebagai pembuat pedang untuk perang saudara, tetapi sebagai saksi yang mencatat amukan zaman. Senjatanya barangkali memungkinkan peperangan, tetapi tangannya kini hendak menulis sejarah yang selama ini terabaikan: kisah orang-orang kecil yang tak pernah terlihat di catatan resmi. Salah satu pesan yang dibawakan padanya menegaskan keseriusan situasi. Jika kerisnya jatuh ke tangan yang salah, maka bukan hanya kerajaan yang musnah, tapi seluruh keseimbangan Nusantara terancam hancur dalam darah. Dengan berat hati, Sengkala mengunci bengkel dan melangkah ke jalan yang penuh intrik, konflik, dan pilihan yang akan mengubahnya selamanya. *** Malam semakin larut ketika Sengkala berbalik menatap ke arah bengkel yang kini tertutup rapat. Di dinding, tergantung s*****a-s*****a peninggalan yang pernah ia buat—keris, tombak, dan pedang nan kukuh. Benda-benda ini diam menyimpan sejarah yang tidak pernah bercerita tentang darah dan air mata di balik kilauan mereka. Hatinya berat, terbebani oleh beban kesetiaan yang mulai terasa keropos. Ia bukan bagian dari kerajaan, melainkan hanya perajin yang di balik layar. Namun, ia tahu bahwa setiap ayunan palu dan pengorbanan yang ia buat kini dipertaruhkan dalam konflik yang akan memecah belah keluarga dan rakyatnya. Sengkala memahami satu hal, bahwa tidak ada yang abadi, bahkan kejayaan terbesar sekalipun. Apa yang tertinggal cuma kenangan dan cerita yang harus terus disampaikan agar kesalahan masa lalu tak terulang kembali. Ia menyalakan sebatang dupa, menghembuskan napas panjang ke dalam retakan yang membelah hati dan sejarah. “Ini bukan akhir, tapi sebuah awal baru,” gumamnya lirih, menatap bayang-bayang yang terkulai perlahan di pelupuk matanya. Langkahnya kini harus berat namun pasti—memilih antara tetap setia pada masa lalu yang rapuh, atau mencari jalan hidup baru di tengah amukan yang terus mengamuk. *** Hujan turun dengan deras, membasahi jalan berbatu menuju kediaman Mpu Sengkala. Suara rintiknya seperti senandung penyair lama, menyanyikan irama kepunahan yang perlahan merayap ke dalam nadi kerajaan. Setiap tetes yang menyentuh tanah adalah pengingat akan segalanya yang mulai pudar, perlahan namun pasti. Di dalam rumah, Sengkala duduk termenung di depan meja kayunya yang penuh dengan kertas catatan dan sketsa s*****a. Malam tadi, ia mendapat kabar bahwa wabah sampar yang mematikan semakin menyebar, menggerogoti warga kota dan melemahkan pasukan kerajaan. Tidak hanya itu, desas-desus tentang pemberontakan dan pengkhianatan semakin menjadi, menyelimuti istana dengan kabut kecurigaan. Raja yang dulu perkasa kini tampak seperti bayangan dirinya sendiri, dan para pangeran bersiap menggenggam kekuasaan dengan cara apa pun. Sengkala menarik nafas panjang, memijat pelipisnya yang mulai tegang. Ia tahu bahwa masa depan tidak lagi berada di tangan para raja dan pangeran semata, tetapi juga di tangan orang-orang biasa yang berjuang bertahan hidup dan mencari makna dalam runtuhnya dunia lama. Inilah senandung kepunahan yang harus ia dengar dan catat, agar generasi mendatang tahu bahwa sejarah bukan hanya milik para penakluk, tapi juga milik mereka yang selamat dalam amukan zaman. Dengan tekad yang baru, Sengkala menyalakan kembali lentera, menatap sketsa keris yang ia buat, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi badai yang semakin mendekat. *** Di tengah gelapnya malam tanpa bintang, lentera kecil di bengkel Mpu Sengkala menjadi satu-satunya sumber cahaya yang menerangi. Kilauan api yang berkelap-kelip menggambarkan pergulatan batin yang tersimpan rapat di hati lelaki tua itu. Setiap pukulan palu di atas landasan besi bukan hanya menciptakan s*****a, tapi juga mengukir nasib. Nasib yang tak hanya akan menentukan keberlangsungan sebuah kerajaan, tetapi juga kehidupan sang penciptanya sendiri. Ia sadar, masa depan yang dulu terbentang luas kini menghadirkan bayangan kematian dan penghancuran yang mengerikan. Namun dari kegelapan itulah, manusia menemukan keberanian untuk bertahan dan memilih jalan. Sengkala menatap keris yang tergeletak di hadapannya, seolah mengharapkan jawaban dari tanah dan besi. Dengan perlahan, ia mengangkatnya, merasa betapa di balik baja itu terkandung darah dan pengkhianatan, impian dan kehancuran. "Jika aku harus menjadi saksi, biarlah catatanku menjadi api kecil yang menyulut kesadaran di tengah gelap," bisiknya lirih menembus malam yang dingin. *** Sesaat setelah mentari pagi mulai menyingkapkan cahaya pertamanya, Sengkala menerima tamu yang tak terduga—seorang utusan berwajah muram namun penuh rahasia. Wajah itu diliputi kekhawatiran, seolah membawa pesan yang bisa mengubah arah takdir kerajaan. “Mantri, kudeta hampir meletus. Dua pangeran bersiap menggenggam kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat,” kata utusan itu pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Sengkala memandangi utusan itu dengan mata berat, mengetahui bahwa perannya kini tak lagi sekadar pembuat s*****a, tapi juga penjaga rahasia yang bisa melumpuhkan kerajaan. Ia mengingat kembali s*****a yang baru saja selesai dibuatnya—jernih dan tajam, namun mungkin akan menjadi pisau yang memotong nyawa saudara sendiri. “Waktu dan sejarah akan mencatat apa yang kita lakukan selanjutnya,” gumam Sengkala, menahan beban yang tak kasat mata—beban kesetiaan dan pilihan. *** Malam kembali menyelimuti kota yang sedang genting. Sengkala berdiri di tepi sungai, menatap pantulan cahaya api yang memantul di permukaan air yang tenang. Seolah ia menyaksikan bayangan masa depan yang penuh amukan dan kehancuran. Dalam genggaman tangannya, ia meremas erat sebuah potongan kecil besi, sisa dari s*****a terakhir yang ia buat untuk kerajaan yang akan segera runtuh. Ember api terakhir yang menyala, tetapi akan segera padam bersama angin keganasan dunia yang berubah. “Jika ajal kerajaan ini telah dekat, biarlah aku menjadi saksi bagi sejarah yang tak tertulis,” suara hati Sengkala bergema dalam diam, menembus sepi malam. Ia menyadari bahwa perjalanannya baru saja dimulai—jalan berliku yang penuh dengan pilihan sulit, pengkhianatan, dan keinginan untuk menemukan arti kesetiaan sejati di tengah amuk yang tak bisa dihentikan. Dengan langkah mantap meski penuh beban, Sengkala berbalik meninggalkan sungai, siap menghadapi badai yang akan mengguncang hidupnya dan peradaban di sekitarnya.​
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD