Usia enam tahun membuat langkah Sengkala tidak lagi sekadar lari-larian khas dari seorang anak kecil, melainkan mulai meninggalkan jejak di tanah Trowulan. Tubuhnya mulai memanjang, bahunya mulai tampak garis tipis dari bentuk tulangnya, dan matanya mulai menatap dunia dengan rasa ingin tahu yang tak lagi polos sepenuhnya. Pagi itu, ia berdiri di ambang pintu bengkel, memandangi ibukota yang perlahan hidup: asap dapur menjulang, suara ayam jantan saling bersahutan, dan dari kejauhan terdengar samar bunyi kentongan penjaga istana yang menandai pergantian jaga.
“Le,” panggil Mpu Wira dari dalam bengkel, “mulai hari ini kamu bukan lagi bocah yang hanya mengejar ayam. Kamu sudah cukup besar untuk memegang palu kecil.”
Sengkala menoleh cepat. “Benarkah, Pak? Sungguhan? Bukan cuma mengangkat arang?”
Mpu Wira keluar, membawa sebuah palu berukuran setengah dari palu yang biasa dia gunakan. Gagangnya terbuat dari kayu sawo yang sudah dihaluskan, kepalanya terbuat dari besi tua yang sudah tak dipakai untuk kerja berat. “Ini palu latihan. Bukan untuk memukul besi panas, tapi untuk melatih tangan dan napas. Dan kamu harus tahu, palu itu bukan hanya perangkat yang terbuat dari besi. Yang menggerakkan palu adalah napas dan niat.”
Dewi Laras, yang sedang menjemur sinjang di tali bambu, melirik khawatir. “Jangan terlalu keras, Wira. Umurnya baru enam tahun. Tulangnya masih lunak.”
Mpu Wira tersenyum. “Aku tahu batasannya, Laras. Aku tidak akan menyalakan api terlalu dekat dengannya.” Ia berjongkok di depan Sengkala. “Siap?”
Sengkala mengangguk mantap. “Siap, Pak.”
Di dalam bengkel, udara sudah sarat aroma arang dan logam sejak subuh. Tungku besar masih padam, hanya bara kecil yang tersisa di sudut—sengaja dibiarkan mati perlahan setelah digunakan saat kerja dimalam hari. Di sudut lain, landasan besi dan beberapa bilah keris yang baru setengah jadi tersusun rapi. Mpu Wira menaruh sepotong besi dingin di atas batu datar.
“Cara memegang palu begini,” katanya, sambil memperbaiki genggaman Sengkala. “Jangan terlalu erat sampai tanganmu begitu kaku. Santai saja tetapi mantap. Seperti kamu memegang keputusan: jangan ragu, tapi jangan terburu.”
“Begini, Pak?” Sengkala mencengkeram gagang palu, jari-jari kecilnya berusaha meniru posisi ayahnya.
Mpu Wira mengangguk. “Sekarang pukul. Tapi ingat, bukan tenaga lengan yang kamu pakai, melainkan seluruh tubuh. Turunkan bahu, mengikuti ritme napas.”
Sengkala mengangkat palu, lalu menurunkannya. *Tak.* Suaranya tipis, tidak sedalam denting palu ayahnya.
“Pelan. Rasakan,” ujar Mpu Wira. “Sekali lagi.”
*Tak. Tak. Tak.*
Denting kecil namun teratur mulai terdengar. Sengkala mengatur ritme: angkat, tarik napas, pukul, hembuskan napas. Keringat kecil mulai muncul di keningnya.
“Pak, apa setiap empu memulainya seperti ini?” tanya Sengkala, sambil berhenti sebentar mengusap telapak tangan yang mulai perih.
“Semua,” jawab Mpu Wira. “Kakek buyutmu dulu bahkan memulainya dengan memukul kayu, bukan besi. Yang terpenting bukan seberapa cepat kamu kuat, tapi seberapa sabar kamu bertahan.”
Dari ambang pintu, Dewi Laras memperhatikan, wajahnya di antara cemas dan bangga. “Le, kalau tanganmu sakit, bilang sama Ibu. Jangan terlalu dipaksa.”
Sengkala tersenyum, sedikit terengah. “Belum sakit, Bu. Aku masih kuat.”
Menjelang siang, setelah latihan cara menggunakan palu, Sengkala berganti peran menjadi murid di pendapa Guru Damar. Kali ini, pelajaran bukan sekadar sembah dan tata cara menghadap istana, melainkan mulai menyentuh cerita-cerita besar tentang Majapahit: bagaimana raja-raja terdahulu bersatu menegakkan kerajaan, bagaimana sumpah seorang mahapatih mengguncang pulau-pulau yang jauh.
Pendapa itu seperti biasa: terbuat dari lantai kayu jati yang dingin, tiang-tiangnya kokoh, dan di tengahnya terdapat guru tua yang sedang duduk bersila dengan lontar berada di depan. Angin datange menyusup dari selatan, membawa suara gamelan latihan dari kompleks istana.
“Anak-anak,” kata Guru Damar, “hari ini kita akan bercerita tentang janji besar yang membuat Majapahit disegani sampai seberang lautan.”
“Janji siapa, He Guru?” tanya Raden Bima, yang duduk tegak dengan memakai sinjang sutranya yang baru.
“Janji seorang mahapatih,” jawab Guru Damar, matanya tajam. “Sumpah untuk tidak menikmati palapa—rempah, kenyamanan—sebelum seluruh Nusantara berada di bawah panji Majapahit.”
Sengkala menelan ludah. Kata 'Nusantara' terasa besar, jauh lebih luas daripada sungai dan sawah yang selama ini ia kenal. “Berarti… pulau-pulau yang mengirimkan kapal dagang itu, He Guru?” Ia menunjuk ke arah abstrak tempat biasanya perahu dagang lewat.
“Benar, Sengkala,” kata Guru Damar. “Pulau yang kamu belum pernah lihat, tapi namanya sudah ada di hati: Sumatra, Borneo, Bali, dan banyak lagi. Sumpah itu membuat Majapahit menjadi besar, tapi juga semakin berat. Semakin besar kerajaan, semakin besar beban di pundak raja dan rakyatnya.”
“Kalau begitu, sumpah itu baik atau buruk?” tanya Mbok Sari pelan.
Guru Damar menghela napas. “Sumpah itu seperti api, Nak. Di tangan orang bijak, ia menghangatkan dan menerangi. Tapi jika di tangan orang yang ceroboh, ia akan membakar. Tugas kita bukan menghakimi sumpah itu, tapi mengerti bahwa setiap kebesaran selalu punya bayangan.”
Anak-anak terdiam. Hanya suara lontar yang dibalik dan kicau burung di atap atap yang terdengar.
“Sekarang, kita akan latihan cara duduk di upacara besar,” ujar Guru Damar memecah hening. “Raja berada di tengah, pendeta berada di sisi, patih berada di kanan, dan adipati berada di kiri. Rakyat tunduk di barisan belakang, tapi bukan berarti tidak terlihat. Kalian, meski anak dari seorang empu dan petani, tetap menjadi bagian dari lingkaran itu.”
Ia menggambar sebuah lingkaran sederhana di tanah dengan tongkat: titik tengah sebagai raja, titik-titik kecil di sekelilingnya sebagai pejabat, dan lingkaran luar sebagai rakyat.
“Kalau lingkaran luarnya pecah, apa yang akan terjadi, He Guru?” tanya Sengkala.
“Lingkaran dalam akan goyah,” jawabnya tenang. “Kerajaan bukan cuma soal istana, Nak. Bengkel ayahmu, sawah ayahnya Jaka, kain tenunan ibunya Sari… semua benang-benang yang menahan kain besar bernama Majapahit.”
Sepulang belajar, sore itu Sengkala duduk di serambi rumah, matanya menatap ke arah kota raja yang siluetnya tampak di kejauhan. Langit berwarna jingga, dan dari sana terlihat samar puncak candi dan gapura paduraksa yang menjulang, seakan memotong langit.
“Pak,” panggil Sengkala saat Mpu Wira duduk di sebelahnya, membawa secangkir wedang jahe. “Guru Damar cerita soal sumpah besar. Kenapa orang mau berjanji sampai hidupnya menjadi berat begitu?”
Mpu Wira menyesap wedangnya pelan. “Karena sebagian orang merasa hanya dengan janji besar, hidup mereka menjadi berarti, Le. Ada yang berjanji untuk kerajaan, ada yang berjanji untuk keluarganya.”
“Kalau Bapak, sumpahnya apa?” Sengkala memiringkan kepala.
Mpu Wira terdiam sejenak. “Bapak tidak pernah mengucapkan sumpah di depan banyak orang. Tapi di dalam hati, Bapak janji: selama tangan ini masih kuat untuk memegang palu, Bapak akan memakai keahlian ini untuk membuat s*****a yang jujur.”
“s*****a yang jujur?” Sengkala mengerutkan dahi. “Apa ada s*****a yang bohong?”
“Ada,” jawab Mpu Wira lirih. “s*****a yang dibuat hanya demi pamer, demi menakut-nakuti rakyatnya sendiri, atau demi kebanggaan yang hampa. s*****a yang jujur adalah yang dibuat untuk melindungi, bukan menindas.”
“Kalau keris Bapak dipakai orang yang jahat?” tanya Sengkala lagi, suaranya pelan.
“Itu beban yang harus dipikul empu,” kata Mpu Wira. “Itu juga yang harus kamu pikirkan kalau suatu hari nanti kamu ingin menjadi empu sungguhan.”
Dewi Laras yang baru saja selesai menumbuk bumbu di dapur kemudian ikut duduk. “Tapi ingat, Le,” katanya menimpali, “hidup bukan hanya beban. Ada juga rasa syukur, tawa, dan rezeki dari setiap kebaikan yang kita tanam. Jangan takut bayangan sampai lupa dengan matahari.”
Sengkala mengangguk, mencoba menyimpan kata-kata itu di dalam dirinya yang masih kecil.
Malam hari, ketika bintang-bintang berkumpul di langit yang gelap dan suara serangga menggantikan riuh pasar, Sengkala berbaring di tikar, menatap langit-langit yang terbuat dari bambu. Di luar, suara gamelan dari arah istana terdengar sayup-sayup: tabuhan kendang, saron, dan gong yang mengiringi tarian atau mungkin sedang latihan untuk upacara yang akan datang.
“Bu,” panggilnya pelan. “Kalau Sengkala nanti ke istana mengantar keris, apa Sengkala boleh melihat raja dari dekat?”
Dewi Laras tersenyum, mengelus rambut putranya. “Mungkin, kalau waktunya tepat. Tapi ingat, melihat raja bukan tujuan hidupmu. Yang terpenting, kamu tahu di mana tempatmu berdiri dan untuk siapa kamu bekerja.”
“Untuk Bapak dan Ibu?” tanya Sengkala.
“Untuk keluargamu, untuk desa, dan… kalau kamu sanggup, untuk tanah tempatmu berpijak,” jawab Dewi Laras.
Angin malam membawa aroma dupa dari rumah tetangga yang sedang menggelar selametan kecil-kecilan. Ada bayi yang baru saja lahir di pojok desa. Suara doa terdengar pelan bercampur dengan tawa.
Di usia enam tahun itu, hidup Sengkala masih penuh dengan kehangatan: latihan cara menggunakan palu, pelajaran adat, permainan di sawah, dan dongeng sebelum tidur. Namun, di balik semua itu, pelan-pelan ia mulai melihat garis-garis besar: betapa luasnya Majapahit, betapa beratnya janji yang diucapkan oleh orang dewasa, dan betapa setiap pukulan kecil palunya seolah menandai langkah pertamanya menuju dunia yang nanti akan mengamuk.
Sengkala memeluk palu kecilnya sebelum tidur, seakan itu mainan, padahal diam-diam, itulah warisan pertama yang kelak akan mengikatnya pada sejarah.
***
Matahari pagi mulai terbit dan hangat menyelimuti kota Trowulan. Suara gamelan dari istana pun membaur dengan dentingan palu di bengkel logam, menandai hari baru di pusat kerajaan Majapahit. Di rumah sederhana di pinggiran kota, Sengkala yang kini telah berusia tujuh tahun terbangun dengan semangat baru. Tangannya mulai kuat, dan langkahnya lebih tegap saat ia berlari menuju bengkel ayahnya.
“Selamat pagi, Le!” sapa Mpu Wira sambil mengangkat palu berat. “Sudah siap menunjukkan kemajuan hari ini?”
“Siap, Pak!” jawab Sengkala penuh antusias, lalu ia mengambil palu latihan yang lebih besar dari sebelumnya. Ia mulai memukul pelan-pelan, berusaha menyelaraskan napas dan gerakan yang sesuai dengan ajaran ayahnya. Percikan api kecil menari di udara ketika palunya mencium besi panas.
Setelah beberapa kali pukulan, Mpu Wira berkata, “Bagus, Le. Tapi ingat, ketajaman bukan hanya dari pukulan palu, tapi juga ketajaman dari pikiran dan hati.”
Sengkala pun mengangguk, lalu menggeser duduknya di sudut bengkel, matanya mengikuti gerakan lincah para pandai besi yang sedang mengukir keris dengan pamor yang rumit. “Pak, kenapa keris itu berhiaskan pola seperti air mengalir?” ia bertanya.
Mpu Wira tersenyum, “Itu disebut pamor. Setiap pola punya makna dan doa. Seperti sungai yang terus mengalir, kehidupan juga harus mengalir tanpa henti.”
Setelah selesai latihan, Dewi Laras memanggil, “Sengkala, sudahkah makan pagi? Kita akan jalan-jalan ke pasar pusat hari ini.”
Perjalanan ke pasar adalah petualangan dan kesenangan tersendiri bagi Sengkala. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai suku, pedagang asing dari Tumasik dan Cina, serta para tentara kerajaan yang gagah dengan tombak dan keris di pinggang. Bau rempah-rempah, kopi, dan asap masakan bercampur menjadi aroma yang khas.
Saat di pasar, Sengkala melihat mainan kayu yang belum pernah ia miliki. “Bu, bolehkah aku membeli gasing ini?” tanyanya kepada Dewi Laras dengan mata berbinar.
Dewi Laras tersenyum hangat, “Kalau kamu rajin membantu ayah besok, ibu akan memberi sedikit uang ya.”
“Janji, Bu!” jawab Sengkala dengan penuh semangat.
Mereka berjalan ke kios penjual kain batik dan situs. Dewi Laras memilih beberapa helai kain untuk sinjang mereka, sementara Sengkala sibuk bermain dengan gasing barunya, bergabung dengan anak-anak disekitar.
Menjelang sore, di dalam perjalanan pulang, Sengkala berpapasan dengan rombongan prajurit. Ia terpesona melihat keris yang terikat di pinggang salah satu prajurit, tampak serasi dan penuh wibawa. “Pak, apakah keris itu punya cerita seperti keris buatan bapak?”
Mpu Wira mengangguk, “Setiap keris punya cerita. Kadang cerita itu manis, kadang pahit. Tanggung jawab empu adalah membuat s*****a yang bisa menjadi pelindung dan bukan menjadi sumber sengketa.”
Di rumah, saat api mulai padam yang ada di tungku dapur, Sengkala duduk bersama keluarganya. Ia menceritakan pengalaman hari itu dengan penuh semangat, bercampur tanya dan kekaguman pada dunia yang luas dan penuh misteri. Ibunya tersenyum sambil mengelus kepala anaknya.
“Jangan lupa, Le, dalam setiap langkah, hati harus tetap tenang dan pandangan jauh ke depan,” kata Mpu Wira bijak.
Sengkala menatap palu kecilnya yang kini sudah mulai terasa berat di tangan, menyadari bahwa jejak kecilnya di kota raja baru saja dimulai, dan jalannya masih panjang di bawah bayang-bayang megah Majapahit yang tak pernah hening.
***
Sengkala kini telah berusia delapan tahun, tahun-tahun di mana ia mulai merasakan tekanan sekaligus kebanggaan menjadi bagian dari tradisi empu yang tak hanya menempa besi, tetapi juga membentuk takdir. Tubuhnya bertambah tinggi, dan meski wajahnya tetap bocah, matanya menyimpan kilau tajam penuh dengan ketajaman yang berbeda dari anak seusianya.
Disuatu pagi yang cerah di Trowulan, Sengkala sedang membantu ayahnya di bengkel, mengetuk palu kecilnya dengan ritme yang semakin teratur, membentuk bilah keris yang tipis dan indah.
“Le, lihat ini,” kata Mpu Wira sambil memegang sebuah bilah keris yang pamornya mulai terlihat samar. “Ini bukanlah keris sembarangan. Ini bakal jadi pusaka yang akan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kamu harus ingat, bukan hanya besi yang kamu bentuk, tapi juga harapan dan janji.”
Sengkala memperhatikan dengan seksama, tangannya yang mulai kuat secara perlahan mengayunkan palu kecil di atas landasan. “Pak, kapan aku bisa membuat keris sendiri?”
Mpu Wira tersenyum hangat, “Tidak lama lagi, Le. Tapi itu bukan hanya soal keterampilan, tapi juga soal hati. Kamu harus siap memikul beban pada setiap keris yang kamu buat.”
Sore harinya, Sengkala berjalan ke pasar dengan Dewi Laras. Jalanan sudah ramai oleh pedagang dari seluruh Nusantara, juga pedagang asing. Kain-kain batik bermotif rumit tergantung indah, rempah-rempah berwarna dan bermacam-macam wangi memenuhi pasar, menyeruak memenuhi udara.
“Le, lihat itu,” Dewi Laras menunjuk seorang pengrajin batik muda yang sedang melukis di kain dengan warna merah dan coklat. “Itu seni yang berbeda dari besi, tapi juga menghasilkan sesuatu yang indah dan punya cerita.”
“Apakah aku bisa belajar melukis seperti itu suatu hari nanti?” tanya Sengkala penuh rasa penasaran.
“Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri,” jawab ibunya dengan tersenyum. “Kamu jalan dengan api dan besi, tapi jangan lupa untuk melihat keindahan di sekitarmu.”
Beberapa blok di pasar, Sengkala bertemu dengan Jaka dan teman-teman sebayanya. Mereka sedang bermain gobak sodor, sebuah permainan yang bagi Sengkala itu melatih ketangkasan dan strategi—dua hal yang sangat berguna kelak di masa yang lebih sulit.
“Le, cepat ke garis sini!” teriak Jaka saat mereka sibuk menghindari lawan.
Setelah lelah bermain, mereka duduk di bawah pohon beringin yang rimbun dan besar. Sengkala mendengar pembicaraan para orang dewasa tentang pergolakan kecil di beberapa daerah dan ketegangan yang mulai muncul antara kerajaan pesisir yang mulai mengambil pengaruh.
“Kerajaan besar memang terlihat kuat,” kata seorang pria paruh baya, “tapi bayang-bayang persaingan selalu ada di setiap sudut.”
Sengkala bertanya pada Jaka, “Apa kamu pikir kita akan melihat perang, Jaka?”
Jaka menggenggam tangan Sengkala erat. “Semoga tidak, Le. Tapi kalo iya maka kita harus siap.”
Malam harinya, di serambi rumah, Sengkala duduk mendengarkan cerita dari Dewi Laras tentang masa lalu kerajaan dan legenda nenek moyang mereka. Kisah tentang keberanian, pengkhianatan, dan perubahan yang tak terhindarkan.
“Le, ingat,” kata ibunya, “dunia ini tidak hanya tentang kekuatan, tapi juga tentang pilihan dan bagaimana kita bisa menghadapinya.”
Sengkala memandang ke bintang-bintang yang mulai muncul di langit. Dalam dirinya, benih-benih tekad dan kesadaran mulai tumbuh kuat.
Di usia delapan tahun itu, Sengkala semakin mengerti bahwa setiap detik kehidupannya beriringan dengan takdir besar yang dipegang oleh kerajaan yang kini masih berdiri kokoh, namun suatu saat nanti akan menghadapi cobaan yang belum bisa ia bayangkan.
Langkah kecilnya pun sudah mulai menapak jejak yang akan membawanya ke pusat amukan yang akan datang.
***
Pagi yang cerah membawa aroma baru di udara Trowulan, saat embun masih melekat di daun-daun keladi. Sengkala, yang kini telah berusia sembilan tahun, sudah berdiri di depan bengkel ayahnya dengan sinjang kasual berwarna cokelat tua yang lebih tebal dari sebelumnya karena angin pagi mulai berhembus dingin. Palu kecilnya kini sudah tak lagi terlalu kecil, dan tangannya kini mulai kokoh seiring latihan yang berlangsung setiap hari.
“Le, hari ini kamu harus bantu exact dengan mempersiapkan bahan sebelum besi dipanaskan,” kata Mpu Wira sambil mengatur letak batok arang dan bara api yang mulai menyala. “Mulailah dengan membersihkan sisa-sisa arang dan memeriksa kadar karbon.”
Sengkala mengangguk, tangan yang penuh debu arang meraba ruas-ruas kayu dan batu landasan. Ia merasa dirinya bukan lagi bocah yang hanya melihat kehidupan di sekitar bengkel, tapi sudah sedikit mengerti proses menempa yang sangat rumit dan sakral.
“Kenapa semua ini harus begitu teliti, Pak? Bukankah besi tetaplah besi juga?” tanyanya.
Mpu Wira tersenyum sabar. “Besi itu hidup, Le. Bila ditempa dengan hati dan ilmu, ia akan menjadi kuat dan bermanfaat. Tapi kalau asal-asalan, ia hanya akan menjadi benda tajam yang mudah patah dan membahayakan pemiliknya sendiri.”
Setelah bersih-bersih dan menyiapkan tungku, Sengkala melangkah ke pasar pusat di Trowulan bersama ibunya. Jalanan lebih ramai dari biasanya. Para pedagang dari berbagai suku dan bangsa menawarkan dagangan mereka. Ada bau harum cendana, kemiri, dan rempah yang berbaur dengan asap makanan jalanan.
“Le, jangan lupa bawaan kita tetap harus rapi dan bersih,” pesannya. “Kerajaan bukan tempat untuk orang-orang yang ceroboh.”
Sengkala menatap sekelilingnya dengan mata waspada namun masih penuh rasa ingin tahu. Ia melihat rombongan prajurit mengenakan baju kulit, dan terdapat patung Garuda di depan kompleks istana yang menjulang tinggi.
“Apa Garuda itu simbolnya langit, Bu?” tanyanya polos.
“Benar, Le. Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu, Dewa pelindung hukum dan keadilan,” jawab Dewi Laras.
Di pasar, Sengkala bertemu dengan teman lamanya Jaka dan Mbok Sari. Kemudian mereka duduk di dekat sumur, saling berbagi makanan dan cerita.
“La, ada pemberontakan kecil di daerah timur,” kata Jaka serius. “Katanya orang-orang di sana tidak ada yang mau bayar pajak.”
“Apa Majapahit bakal marah?” tanya Sengkala dengan mata melebar.
“Pasti. Tapi aku mendengar mereka juga ada yang mendukung, tak suka dengan kebijakan raja,” balas Mbok Sari sambil mengunyah sepotong pisang goreng.
Sengkala termenung. Dunia yang selama ini ia lihat dari bengkel dan pasar kini mulai menampakkan bayangan-bayangan gelap yang tak pernah ia mengerti sepenuhnya.
Suatu sore, saat menjalankan tugas di bengkel, Sengkala mendengar percakapan serius antara ayahnya dan seorang tamu yang dia tidak tau.
“Situasi mulai tidak stabil, Mpu Wira,” kata tamu, seorang pria bertopi lebar dan memakai mantel gelap. “Pangeran dari saudara raja mulai merencanakan sesuatu. s*****a yang kamu buat akan dipakai bukan hanya untuk menjaga kerajaan, tapi juga untuk merebutnya.”
Mpu Wira menghela napas. “Aku membuat s*****a, bukan untuk memihak kepada siapa pun. Tapi aku tahu, besi selalu menjadi pisau bermata dua.”
Sengkala yang berdiri agak jauh dari mereka, menyembunyikan dirinya di balik pintu, menyimpan ucapan itu di dalam ingatannya. Ia mulai memahami bahwa palu dan api bukan sekadar alat kerja, tapi juga sebagai saksi bisu dari intrik dan kekuasaan.
Malam harinya, saat keluarga berkumpul di serambi, Sengkala bertanya pada ibunya tentang apa arti kesetiaan.
“Bu, apakah kita harus selalu setia pada raja walaupun ia salah?”
Dewi Laras terdiam sejenak, lalu menjawab dengan lembut, “Kesetiaan memang penting, Le, tapi lebih penting lagi hati nurani. Jika sesuatu salah, kamu harus tahu kamu berdiri di sisi mana. Kesetiaan buta akan berbahaya, tapi kebijaksanaan akan membawa kebaikan.”
Sengkala mengangguk pelan, berjanji dalam hatinya akan mencari jalannya sendiri ketika saatnya tiba.
Jejak kecilnya di kota raja semakin membentuk seorang bocah yang tak hanya tahu tentang api dan logam, tapi juga tentang kebijaksanaan, perjuangan, dan amuk yang didorong oleh ambisi dan kepentingan. Ia belum tahu, bahwa langkahnya akan membawa dia ke tengah badai yang akan mengubah semuanya.
***
Usia sepuluh tahun menjadikan Sengkala sudah tak bisa dianggap sebagai anak kecil lagi. Tubuhnya mulai tinggi meskipun belum tinggi besar, dan matanya mulai memandang dunia dengan campuran rasa ingin tahu dan keteguhan yang semakin matang. Hari itu dimulai seperti biasa di bengkel ayahnya. Mpu Wira sedang memeriksa bilah-bilah keris yang disusun rapi di atas meja kayu.
“Sengkala, tolong ambilkan ember dari sudut sana. Kita harus bersihkan semua perunggu yang menempel dari batch terakhir,” perintah Mpu Wira.
Sengkala segera bergegas, meskipun rasanya agak lelah karena sejak pagi telah membantu menyiapkan tungku dan mengurus kayu bakar. Tubuhnya kini mulai lebih kuat karena sering melakukan latihan rutin. Sinjang katun cokelatnya sudah terlihat lusuh di beberapa bagian, tapi ia tetap bangga mengenakannya—simbol kehidupan dari seorang pengrajin yang tak pernah lepas dari kerja keras.
Saat mengangkat ember berisi air, ia bertanya, “Pak, kapan aku boleh mulai menempa keris sendiri?”
Mpu Wira berhenti sejenak, matanya serius. “Bukan hanya soal kapan, Le. Menempa itu bukan hanya tangan dan otot. Hati dan pikiranmu juga harus siap menanggung segala akibatnya.”
Siang hari, Sengkala ikut pembelajaran di pendopo Guru Damar. Pelajaran kali ini tentang sejarah raja-raja Majapahit dan makna sumpah palapa. Anak-anak duduk bersila mendengarkan dengan seksama.
“He Guru,” tanya Sengkala, “kenapa Mahapatih Gajah Mada harus berjanji tidak menikmati palapa sebelum nusantara bersatu?”
Guru Damar menghela napas panjang. “Karena itu adalah janji yang besar. Dalam hidup, janji seperti itu untuk mengikat dan menjadi pengingat untuk tetap berjuang demi tujuan bersama, bukan demi kepentingan pribadi.”
Sengkala menatap jauh ke jendela, membayangkan pulau-pulau yang jauh disana dan telah banyak pertempuran. “Kalau seseorang ingkar janji, apa yang akan terjadi?”
“Itu bisa menyebabkan perpecahan dan terbelah, perang saudara, dan kehancuran,” jawab Guru Damar. “Tapi yang namanya manusia, pasti selalu ada pilihan, dan kita harus belajar dari itu.”
Sepulangnya, Sengkala berjalan melewati pasar dan berdesak-desakan dengan pedagang dan pembeli. Suasana semakin hangat karena beberapa pedagang dari kerajaan pesisir Islam membawa barang-barang baru dan kabar tentang gerakan politik yang mengusik stabilitas Majapahit.
Dengan berbisik-bisik, seorang pedagang berkata, “Kerajaan pesisir semakin kuat. Tanpa kita sadari, mereka mulai menggoyang Mahapatih.”
Sengkala yang mendengar itu kemudian dia memutuskan untuk keluar dari kerumunan, wajahnya terlihat serius. Dunia yang selama ini ia kenal mulai berubah, dan ia tahu bahwa kehidupan bukan hanya tentang menempa logam, tapi terhubung ke arus besar yang mulai bergejolak.
Malam harinya, saat duduk bersama orangtuanya di serambi, Sengkala bertanya, “Pak, Bu, apa yang teman-temanku katakan itu benar? Dunia sedang berubah?”
Mpu Wira mengelus kepala anaknya lembut. “Benar, Le. Dunia terus berputar. Tapi selama kita memegang kekuatan dan kejujuran, kita akan bisa menghadapi apa pun.”
Dewi Laras menambahkan, “Yang terpenting, kamu tetap ingat siapakah kamu, dan apa yang kamu perjuangkan. Jangan sampai kamu tergerus oleh gelombang yang tidak kamu pahami.”
Sengkala lalu menatap palunya, berjanji akan terus menempa dirinya sekeras besi yang ia pegang, bersiap untuk menghadapi badai sejarah yang akan datang. Ia pun tidur dengan pikiran penuh cita-cita dan tanda tanya, di antara bunyi gamelan yang membuai malam Trowulan.