3. Perasaan Aneh

1155 Words
Dua hari berlalu setelah kejadian Lia mengambil uang. Sore ini Mia akan pulang lebih awal karena merasa kurang sehat, namun saat berjalan menuruni tangga tanpa sengaja ia melihat Lia baru saja pulang bersama ibunya. Suatu pemandangan yang tak biasa karena biasanya orang yang menjemput Lia dari sekolah adalah asisten rumah tangga mereka. Miss Alma pun turut mengantar Lia dan ibunya sampai ke mobil dan melambaikan tangannya setelah mobil mulai berjalan meninggalkan parkiran. Mia segera mendekati Miss Alma, “Miss, bolehkah saya bertanya. Apakah Miss Alma sudah berbicara dengan ibunya Lia?” “Oh iya, Miss Mia. Barusan saya sudah mengobrol dengan beliau.” “Apa tanggapan beliau dengan kejadian kemarin?” tanya Mia penasaran. “Kesimpulannya adalah Ibunya Lia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia bekerja di sebuah perusahaan besar yang mengharuskannya sering pergi ke luar kota. Ia adalah seorang single parent. Sehari-hari, Lia tinggal bersama mbak-nya yang biasa menjemputnya.” “Oh, begitu ya. Kasihan sekali Lia.” “Nah, saya pernah menghadapi hal serupa di sekolah sebelum saya mengajar di sini, Miss. Kasusnya sama seperti Lia.” Miss Alma berhenti sejenak dan mengambil nafas agak dalam kemudian melanjutkan kembali kalimatnya. “Seorang anak menjadi kleptomania terhadap barang milik temannya. Padahal secara finansial ia adalah anak yang berkecukupan. Ia sama sekali tidak memerlukan barang tersebut. Rupanya hal serupa pun terjadi pada Lia. Kurangnya perhatian dari orangtua yang membuatnya mencari cara agar ia diperhatikan oleh orangtuanya atau orang lain di sekitarnya. Miris sekali.” jelas Miss Alma sambil mengerutkan dahi. “Wah, bisa sebegitu parahnya ya, Miss. Kasihan Lia. Apa Miss Alma juga memberi tahu tentang ini kepada ibunya?” “Betul, Miss. Ibunya Lia tadi sempat menangis merasa bersalah. Semoga saja bisa merubah situasi yang dialami oleh Lia di rumah. Sehingga Lia mendapat perhatian yang cukup dan tidak lagi klepto.” “Lega mendengarnya..” sambung Mia sambil menghela nafas. “Ngomong-ngomong, terimakasih banyak ya, Miss Mia sudah berperan meyakinkan saya tentang kejadian Lia. Tadinya saya sudah curiga namun belum mempunyai bukti karena tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri. Sekarang saya juga jadi lega rasanya.” “Saya juga tidak menyangka sama sekali.”, gumam Mia sambil segera mengambil kunci motor di saku jaketnya. “Baiklah kalau begitu saya pulang dulu ya, Miss. Sampai ketemu besok.” Ia segera berpamitan karena hari beranjak sore. “Baik, Miss Mia. Sampai ketemu besok.” Segera saja ia menghampiri sepeda motornya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tak berapa lama setelah ia menyalakan mesin, tiba-tiba Redha pun duduk di atas sepeda motornya yang berada di sampingnya. “Miss Mia sudah mau pulang? Eh, bukankah kita satu arah ya? Yuk, kita bareng!” ajak Redha yang kuanggap hanya sekedar basa-basi. “Oh iya, Mr. Kita satu arah. Tapi nampaknya susah kalau motor harus jalan berbarengan, hehe. Saya buntuti dari belakang saja ya.” jawab Mia sekenanya. Akhirnya Mia membuntuti Redha dari belakang. Ia mengira bahwa Redha akan memacu laju sepeda motornya dengan kecepatan standar atau bahkan cepat, namun nyatanya membuntutinya membuat tangan Mia pegal menahan stang motor ditambah lagi pegal menahan diri yang ingin segera sampai di rumah karena perjalanan menjadi terasa lebih lama dari biasanya. Dari kejauhan Mia memperhatikan Redha yang sedang menyetir motornya dengan kecepatan lambat itu nampak terlihat berbeda dari biasanya. Posturnya yang tinggi semampai membuat blazer panjang berwarna coklat s**u yang dikenakannya sangat cocok dengannya. Redha memang sangat menjaga penampilannya lebih dari semua teman laki – laki yang dikenal Mia. Setelah mengenal Redha beberapa lama di sekolah itu, Mia baru menyadari bahwa Redha adalah sosok yang menyenangkan. Sikap Redha yang baik dan penuh perhatian tentu saja membuat nyaman siapapun yang berada di dekatnya. Pikiran Mia menerawang cukup jauh sambil mengingati momen dirinya bersama Redha ketika di kampus dulu. Dan rupanya sedikit sekali kenangan di kampus bersama partner sekaligus atasannya ini. Tiba – tiba, Redha berhenti tepat di persimpangan. Sontak Mia pun mengerem mendadak sepeda motor yang ia kendarai. “Eh!” teriak Mia karena kaget. “Ada apa, Miss. Jangan melamun dong!” tegur Redha sambil menoleh ke arah Mia yang berada di belakangnya. Mia hanya balas tersenyum karena malu. “Kita berpisah di sini ya! Sampai ketemu besok!” seraya melambaikan tangan Redha meninggalkan Mia yang masih tertegun di persimpangan jalan. Perasaan aneh terselip di hati Mia kala itu. Terasa hangat dan sangat nyaman. Mia seolah memiliki teman dekat yang sangat menyenangkan. Sosok Redha yang perhatian telah menyentuh hati Mia. Awal yang baik untuk memulai sebuah hubungan sebagai partner kerja, gumam Mia dalam hati. Ia terus mencoba mengalihkan perasaan nyaman yang sedang dirasakannya ke arah profesionalitas dirinya sebagai seorang rekan kerja. Ia tak ingin rasa kagum dan nyaman yang mulai tumbuh dalam hatinya menjadi sesuatu yang berlebihan dan melenakan. Mia sadar betul bahwa Redha memang sosok yang hangat. Banyak teman perempuan di sekitarnya yang mungkin salah satunya berharap banyak dari Redha. Selain itu, Mia mengetahui bahwa Redha memiliki sebuah komitmen yang sedang ia jalani bersama seorang wanita yang berada jauh di sana. Ah, sudahlah. Jangan terlena, Mia! Dia itu memang baik pada semua orang. Sadarlah! *** Hari seminar pun tiba. Akhirnya Mia bisa berangkat ke Jakarta karena telah mendapat ijin dari orangtuanya. Ini merupakan kali pertama ia bepergian ke luar kota bersama seorang teman sekaligus atasannya. Selain itu, meskipun hanya sebagai perjalanan dinas namun terasa istimewa karena ini merupakan pertama kalinya ia naik kereta api seumur hidupnya. Sejak kecil orangtuanya tidak pernah membawanya bepergian menggunakan kereta api berhubung tidak ada sanak saudara yang tempat tinggalnya dilalui oleh jalur kereta. Mia memandangi baju batik coklat yang baru saja ia beli di Pasar Baru kemarin sore selepas pulang dari sekolah bersama Redha, Arin dan Hasna. Mereka membeli 4 potong kemeja batik berwarna coklat keemasan bermotif sama. Sengaja mereka membeli batik tersebut dengan motif yang sama agar suatu saat bisa dipakai ketika ada acara bersama. Hasna, Arin dan Redha memang memiliki hubungan yang cukup dekat sejak di kampus dulu. Oleh karenanya mereka terlihat sangat akrab ketika berada dalam satu lingkungan kerja. Setelah beberapa lama, Mia segera mengambil baju batik itu dan memakainya dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam polos. Tak lupa kerudung berwarna senada dengan baju batik segera disambar dan disematkannya dengan penitik tepat di bagian leher. Waktu terus berjalan, ia harus bergegas karena khawatir terlambat sampai di stasiun kereta. Mia diantar oleh kakaknya untuk sampai ke stasiun. Ia berpamitan dan segera bergegas masuk ke lobi stasiun. Ah masih pagi rupanya, aku belum terlambat. Tak berapa lama Redha muncul dengan jaket coklat kehijauan dan baju batik yang ia kenakan dari dalam. “Sudah saatnya berangkat, yuk kita cari gerbongnya!” ajak Redha dengan agak tergesa. Sementara Mia membuntutinya dari belakang. Setelah memindai KTP, mereka diijinkan masuk ke area gerbong. Terdapat banyak lintasan dengan masing – masing gerbong di atasnya. Mia dan redha mencari gerbong tujuan mereka dengan bertanya pada dua orang wanita berseragam layaknya pramugari. Mereka memeriksa tiket dan menunjukan gerbong tujuan yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD