2. Microteaching

1448 Words
“Waktumu 15 menit untuk bersiap-siap sebelum microteaching ya, Miss Mia.” ucap Redha dengan senyum manis yang bagiku nampak lebih menyeramkan dari wajah sinis para staf tata usaha yang kutemui di depan tadi. Baiklah, beruntung aku masih hafal beberapa lagu anak dan sepertinya bermain kosakata akan menjadi bahasan menyenangkan. Hari itu jadwal microteaching-ku di kelas 4B adalah General English dengan tema singular and plural noun. Sejenak kupejamkan mata dan kuingat dosen yang paling menyenangkan yang pernah mengajar di kelasku dulu. Beberapa ide dan inspirasi pun mampir dibenakku. Semoga cukup untuk bekal microteaching dadakan ini, gumamku dalam hati. Lima belas menit pun berlalu, aku mengetuk pintu kelas 4B dengan jantung berdebar dan nafas terengah. Di sana ada sekitar 14 orang anak, seorang walikelas dengan garis wajah tegas dan tentu saja Redha, sang wakil kepala sekolah. Tanganku gemetar dan berkeringat, kucoba untuk tetap fokus dan tenang. Ayolah, ini akan segera berlalu..ayo lakukan saja. Tunjukkan pada mereka, kamu hebat, kamu bisa. Pikirku dalam hati mencoba menyemangati diri sendiri. Pertama kuperkenalkan diriku dan kuajak semua anak di sana juga menyebutkan nama mereka. Selanjutnya kuawali pembelajaran dengan bernyanyi. Setelah itu, kutuliskan beberapa kata dari sebuah lagu yang tadi dinyanyikan pada papan tulis tentang benda tunggal dan jamak. Kuajak mereka melafalkan benda tersebut. Tak lupa supaya mereka memahami betul makna kata plural (jamak) dan tunggal (singular), kuajak mereka berhitung dan melafalkan angka-angka itu. Dan benar saja, pembahasan ini sangat menarik. Banyak dari mereka yang merasa lucu ketika berusaha melakukan pelafalan dengan benar. Sesekali mereka juga menertawakan teman mereka yang mendapat giliran mengucapkan kata tersebut. Intinya kelas mejadi sangat hidup. Anak-anak senang dan bisa kurasakan energi positif terpancar dari mata mereka dan mengalir padaku. Aku merasa lega. Melalui ekor mataku, kulihat Redha juga nampak puas dengan proses microteaching-ku. Wajahnya berseri dan senyumnya mengembang. Sementara walikelas bergaris wajah tegas itu memberi beberapa komentar tentang penampilanku di depan anak-anak. Sedikit menohok memang karena ia seperti mencari-cari kesalahan yang kulakukan tapi tak seberapa dibandingkan dengan kepuasan yang kudapat dan kurasakan dari energi yang dipancarkan dari mata anak-anak itu. Hari ini aku belajar untuk menaklukan ketakutanku sendiri, merobohkan dinding tinggi yang membatasi ruang gerakku. Dan mengalahkan diri sendiri itu rasanya sangat menyenangkan. *** Hari-hariku di tempat mengajar yang baru ini sungguh luar biasa melelahkan. Aku harus banyak beradaptasi dengan kekeluan lidahku yang harus terus berbicara bahasa asing. Pagi itu aku mengawali hariku dengan mengajar di kelas 3A. Seperti biasa kuawali dengan berdo’a dan beberapa sapaan hangat pada anak – anak yang berjumlah tidak lebih dari 10 orang tersebut. “Good morning, class. How are you today?” “I’m fine thank you and you?” jawaban standar mereka ucapkan dengan serentak. “Well, I’m great. Thank you.” Kelas pun berlanjut dengan cukup kondusif, mereka kubawa untuk mengenali dan menyebutkan benda-benda di sekitar mereka. Sebagai opening, kuputar sebuah video tentang benda-benda sekitar yang dikemas secara menarik pada sebuah TV LCD yang menempel di dinding kelas di sebelah papan tulis. Semua anak memerhatikan, mereka paling suka bila gurunya memutar video atau bermain games. Ya begitulah anak-anak, dunia mereka adalah dunia bermain. Semua berjalan lancar, anak-anak sangat kooperatif dan mengikuti setiap instruksi yang kuberikan. Hingga tiba saatnya untuk kegiatan inti. Aku menunjuk setiap anak untuk menyebutkan benda-benda di sekitar mereka. Dengan bersemangat mereka berusaha menyebutkan satu per satu. Hingga tiba giliran Lia. “So, Lia would you like to mention the things around you?” tanyaku dengan semangat. Lia nampak ragu, mulut kecilnya bergetar hampir mengeluarkan sebuah kata namun tertahan. “Yes… just say it, dear. You can do it!” ucapku memberi semangat. Lia kembali mencoba namun baru satu bunyi suara yang ia ucapkan tiba-tiba matanya berkaca-kaca, wajahnya memerah dan ia pun menangis. Aku terfokus pada Lia dan terus mengira-ngira apa yang terjadi dengan Lia. Karena setahuku ia adalah anak yang sangat antusias ketika belajar bersamaku. Ia pun cukup unggul dalam pelajaran bahasa Inggris. Tiba-tiba aku tersadar dan melihat sekeliling, semua anak yang ada di kelas itu menutup telinga mereka seolah enggan mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulut Lia. “Well, what happen? Why are you guys covering your ears? Please don’t do that! Anak-anak tetap tidak mengindahkanku. Mereka masih menutup telinga mereka. “Please, stop! Don’t you see? she is sad.” “OK, tell me then! Why are you guys doing this?” “Miss, uang Sindy hilang lagi”, salah seorang anak perempuan bernama Hanum dengan pipi chubby dan mata bulat tiba-tiba bersuara. “Pasti ini ulah Lia lagi!” sambungnya dengan ketus. “Kriing..kriiing..” Baru saja anak perempuan itu menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba bel pun berbunyi, tanda kelas telah berakhir. “All right, class it’s time to break. Hanum, please don’t say that. You don’t know the truth. I will report things happen today to your class teacher. Now, everyone! You may leave the class.” Segera saja anak-anak membereskan buku mereka dan berhamburan keluar kelas. Sementara aku masih dengan kejadian barusan terus termenung meski tangan ini dengan otomatis mengambil buku dan spidol di atas meja. “Lia, wait!” , aku memanggil anak perempuan yang lesu dan terlihat sangat sedih itu yang hampir berjalan meninggalkan bangkunya. Tentu saja aku ingin tahu apa yang terjadi. Aku ingin mencoba mendekatinya karena ia tak terlihat seperti anak yang jahat. “Lia..sini sebentar. Ikut Miss Mia, yuk! Kita ke kantin bareng!” ajakku dengan antusias. Sayangnya Lia tak menjawab, ia berdiri kaku sambil memegangi lipatan lengan pada baju seragamnya. “Ayo kita pergi!” bujukku sekali lagi. Kali ini kuraih tanggannya yang sedari tadi memegang lipatan bajunya. Tiba-tiba sesuatu terjatuh. Setelah kuikuti arah jatuhnya benda tersebut rupanya uang sepuluh ribu rupiah yang terlipat jatuh tidak jauh dari tempat kami berdiri. Apa mungkin itu uang yang dimaksud Hanum tadi, pikirku dalam hati. Aku segera mengambil uang tersebut dan bertanya kepada Lia. “Lia percaya sama Miss Mia kan?” tanyaku perlahan dan hampir berbisik. Lia tak menjawab, ia hanya menunduk dan terpaku. Kemudian kuteruskan kalimatku. “Apa benar ini uang punya Sindy? Lia boleh menangguk kalau memang benar.” Tak ada suara bahkan anggukan apapun dari Lia. Aku mengajaknya duduk di kelas yang sudah sepi ditinggalkan anak-anak yang berlarian ke kantin. “Lia tahu kan kalau mengambil barang milik orang lain itu tidak baik? Miss Mia ga ingin Lia nanti tidak punya teman atau Lia tumbuh menjadi anak yang suka mengambil hak orang lain.” ucapku mencoba menasihati Lia yang sedari tadi terdiam dan menunduk sambil berkaca-kaca. “Lia boleh percaya sama Miss Mia. Miss Mia ga akan bilang sama teman-teman, tapi tolong Lia jangan pernah mengambil barang milik orang lain lagi ya?” ucapku seraya memegang kedua bahunya. Kali ini, Lia menengadahkan wajahnya menatapku, “Terimakasih, Miss.” Hanya itu yang terujar dari mulut kecil Lia kala itu. Lia kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkanku terduduk sendiri. Apa yang harus kulakukan? Sebaiknya aku berkonsultasi dengan guru kelasnya, gumamku dalam hati. Kuputuskan untuk segera mencari Miss Alma, guru kelas 3A sebelum kembali mengajar. Baru selangkah menuju ambang pintu, seorang laki-laki muncul di hadapanku dengan dasi kuning serta kemeja kuning kotak-kotak juga kacamata yang khas serta senyum hangat yang selalu terlukis di wajahnya. “Miss Mia, bisa bicara sebentar?” “Oh, baik Mr. Ada apakah gerangan?” tanyaku penasaran. “Begini, Miss. Ada undangan seminar internasional dari penerbit buku yang kita pakai. Tempatnya di Jakarta. Saya sudah ajukan ke kepala sekolah bahwa kita berdua yang berangkat karena Miss Arin tidak bisa ikut mewakili. Miss Mia bisa kan?” tanya Redha dengan wajah antusias. “Kalau boleh tau kapan waktunya, Mr?” tanyaku masih kebingungan. “Minggu depan. Semua akomodasi sudah difasilitasi. Kita tinggal berangkat saja. Berhubung ini seminar bahasa Inggris jadi hanya guru bahasa Inggris yang bisa ikut.” “Baik, Mr. Saya ijin dulu sama orangtua. Terima kasih infonya.” ucapku mencoba tetap bersikap formal. Lalu kami berdua berpisah dan kulangkahkan kaki menuju ruang guru. Sebelum sampai di ruang guru, tanpa sengaja aku bertemu dengan Miss Alma di koridor. Ini sungguh kebetulan. Segera saja kuceritakan hal yang baru saja terjadi di kelas. Miss Alma menanggapi dengan menceritakan bahwa belakangan ini memang ada kasus kehilangan, seperti pensil dan uang yang terjadi secara berturut-turut. Anak-anak mengatakan bahwa pelakunya adalah Lia. Sehingga sebagai bentuk protes dari semua anak yang ada di kelas itu, mereka tidak mau berbicara dengan Lia bahkan mendengar suaranya. Miss Alma sudah menyampaikan dan menelusuri kasus ini namun ia masih belum mendapat bukti otentik untuk memanggil orangtua Lia ke sekolah. Berhubung bel masuk sudah berbunyi, aku segera menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah yang terjatuh dari tangan Lia tadi dan segera mengakhiri pembicaraanku dengan Miss Alma karena harus segera bersiap-siap untuk mengajar di kelas berikutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD