BAB 14

1004 Words
Seperti kemarin, aku berangkat ke sekolah bersama kak Ali. Hari ini dia nampak sangat formal. Dia bilang akan ada tamu hari ini, dan dia akan mewakili abinya lagi. Sudah pasti aku akan menunggunya lagi seperti Sabtu kemarin. Andai saja dia mengijinkanku untuk pulang sendiri, mungkin aku akan pulang naik angkot atau ojek online, sayangnya dia tidak mengijinkan. Jadi mau tidak mau aku harus mau, jangan sampai aku durhaka dengan suamiku. Cukup sudah masa kelamku dahulu saat mama ada. Aku harus berubah, aku harus bisa menjadi Hafshah yang lebih baik lagi. "Sepulang sekolah langsung ke rumah sakit, ya?" Aku menoleh ke arahnya seolah tidak mendengar apa yang ia katakan, padahal aku mendengarnya dengan jelas, entah mengapa dengan spontan aku melakukan itu. "Sepulang sekolah langsung ke rumah sakit?" ucapnya lagi. Aku mengangguk menurut, lebih baik ikut daripada aku harus di rumah sendirian. "Hafshah?" Aku yang sebelumnya sudah kembali menatap jendela kini menoleh kembali ke arahnya. "Hm?" "Semangat ulangannya," ucapnya sambil tersenyum tanpa menatap. Sungguh, lucu sekali makhluk Allah ini. Aku tidak bisa menahan senyumku. "Terima kasih, Ustaz." Aku langsung menepuk bibirku pelan. "Maksudku terima kas—" "—sih, Sayang." Dia langsung memotong ucapanku. Aku cekikikan kecil. Entah mengapa dia sangat menggemaskan sekali di mataku pagi ini. Dia sudah tidak terlihat seperti guru yang dingin, melainkan seorang baby besar di hidupku. "Kamu enggak balas panggilan sayang ke aku?" tanyanya. "Enggak ah." Kulihat dia mengerucutkan bibir. "Kamu enggak sayang, ya, sama aku?" Lagi-lagi aku cekikikan. Dia terus cemberut sampai mobilnya kini berhenti di parkiran sekolah. Aku meraih tangannya untuk kukecup. Dia tidak melarang atau pun menolak. Apa dia sungguhan marah? Melihatnya cemberut rasanya aku ingin terbahak. Dia benar-benar lucu. Aku cubit kedua pipinya pelan. Untuk pertama kalinya aku memulai lebih dulu. Aku dekatkan wajahku ke wajahnya. Aku kecup singkat pipi kanannya. "Jangan cemberut lagi, aku sayang kamu." Setelah mengatakan itu aku langsung berjalan keluar meninggalkannya yang kini sedang diam tergugu seraya memegang pipinya. Sepanjang perjalanan menuju kelas aku terus tersenyum. Rasanya bibirku memanas, baru pertama kalinya aku mengecup wajah kak Ali. Selama ini dia yang selalu mengecupku. *** Saat sedang asyik belajar bersama Bilqis di koridor sekolah tiba-tiba kak Barra mendekat ke arah kami. Dia memanggil namaku, spontan aku menoleh. "Iya, Kak?" ucapku sambil menatapnya, menunggu kata yang akan ia katakan. Melihat kak Barra, aku jadi teringat betapa tergila-gilanya aku kepada kak Barra saat itu. Untungnya sekarang tidak, suamiku lebih tampan, titik. Dia diam sesaat seolah sedang mengatur kata-kata yang hendak ia ucapkan. "Hafshah bisa bantu Kakak enggak?" tanyanya. "Kalau aku bisa kenapa enggak, emang bantu apa?" Dia tersenyum kecil. "Di tempat Kakak ngaji ngadain penutupan majlis. Kita mau undang penceramah, tapi dia tiba-tiba mendadak batalin, padahal besok malam acaranya udah mulai. Kira-kira kamu bisa enggak gantiin?" "Aku? Ceramah? Yang benar aja, Kak," ucapku seraya tertawa sumbang. "Bukannya nolak karena enggak bisa bantu, masalahnya, kan, Kakak dan teman-teman lebih pro dari aku, kenapa enggak kalian aja?" Lagi-lagi Kak Barra terdiam sesaat. "Enggak ada yang sanggup, kalau Kakak sendiri udah dapat tugas, barangkali kamu bisa, tapi Kakak enggak maksa, sih." Bilqis berdehem kecil seraya menyonggel lenganku jail. Awas saja anak ini, nanti akan kupotong-potong jarinya. Baru saja aku mau menjawab, bahkan bibirku kini mengatup-ngatup bagaikan ikan, sudah ada yang lebih dulu berbicara, dan aku mengenali suara itu, dia suamiku. "Hafshah, ikut saya ke kantor," ucapnya dingin. Setelah mengatakan itu ia langsung berjalan lurus, tepat di samping kak Barra dia berhenti, ia. menepuk bahu kak Barra pelan. "Hafshah tidak bisa, cari orang lain," ucapnya dengan nada memerintah seolah tidak boleh dibantah. Setelah itu ia langsung berjalan lurus menuju kantornya. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum ke arah Kak Barra. Dia membalas senyumanku, tapi terlihat hambar dan nampaknya kini Kak Barra sedang bingung. "Qis, aku ke kantor bentar, ya," ucapku seraya menoleh ke arah Bilqis. Setelah itu aku langsung menoleh ke arah Kak Barra yang masih setia di tempatnya. "Maaf, Kak, semoga acaranya sukses, aku duluan." Setelah mengatakan itu aku langsung berjalan nunduk melewati Kak Barra. *** Aku seperti melihat sisi pertama kali Kak Ali. Dia terdiam dingin meski kini aku sudah ada di hadapannya. Aku hanya diam menunggu dia berbicara, aku benar-benar merasa ... takut sekarang. Dia berdehem kecil, dan itu membuatku terkejut dan spontan menegakkan tubuh. Dia tersenyum kecil ke arahku, dan itu ... melegakan. Aku balas senyumannya semanis mungkin. Ruangan Kak Ali sangat tertutup, entah mengapa dia memiliki ruangan tersendiri, padahal kalau dilihat dari status dia saat ini, dia hanya guru biasa. Mungkin karena dia anak Kepala Yayasan, mungkin .... "Kamu takut ya kalau aku dingin kayak gitu?" Aku tersenyum risih, takut salah bicara. Entah mengapa nyaliku ciut sekarang jika berhadapan dengannya. Dia bangkit dari duduknya lalu mendekat ke arahku, aku bisa merasakan kalau kini wajahnya sangat dekat dengan wajahku meski aku sedang menunduk. Aroma tubuhnya, napasnya, kini seolah menari-nari di wajahku. "Tatap aku, Hafshah, dan katakan, kalau kamu mencintaiku, dan tidak akan berpaling dariku." Seketika tubuhku merinding hebat. Apakah sekarang dia sedang cemburu padaku? Apakah kini dia menunjukkan betapa posesifnya dirinya terhadapku? Atau, dia hanya sekedar mengancamku saja? "Hafshah ... jangan buat aku kecewa." Kuberanikan diri untuk menatapnya, aku sedikit terkejut saat pertama kali melihat wajahnya. Kuyakin, sekali kubergerak maka hidungku dan hidungnya akan bersentuhan. Kugigit bibir bawahku karena gemeteran. Dia benar-benar membuatku merasa terancam. "Aku men-mencintaimu ak-aku tidak akan berpaling dar—" Belum sempat kuselesaikan ucapanku, mulutku sudah dibungkam. *** Aku sampai di kelas tepat di saat bel pertanda masuk berbunyi. Tubuhku masih gemeteran. Bayangan kejadian di ruang kerja kak Ali masih berputar jelas di pikiranku. Jantungku pun masih berdegup kencang sampai detik ini. Berani-benarinya dia menyerangku, membuatku bungkam sebungkam-bungkamnya, sedangkan dia tersenyum bahagia karena berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Suami laknat. "Ada perlu apa tadi ustaz ganteng manggil kamu?" Mendengar Bilqis menyebutnya dengan sebutan ustaz ganteng, mataku langsung menoleh tajam tanpa diperintah. Aku langsung mengedip-ngedipkan mataku seolah habis kelilipan. "Apa tadi, kamu nanya apa?" Bilqis mendengkus. "Enggak jadi," ucapnya merajuk. "Maaf ...," ucapku dengan nada memohon, padahal di hati aku bersorak bahagia karena Bilqis tidak jadi bertanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD