BAB 13

1036 Words
Sesuai titahan kak Ali, di malam Senin aku langsung menyiapkan buku-buku yang akan dipelajari besok. Omong-omong, aku tidak sadar ternyata buku-bukuku sudah tertata rapih di ruangan kerja kak Ali. Malam minggu kemarin aku kebablasan tidur di bahu kak Ali, bangun-bangun di hari Minggu aku sudah ada di kamar bersamanya. Minggu pagi sampai sekarang aku terus membuka buku. Itulah kebiasaanku saat hendak menjumpai ulangan. Banyak yang mengatakan kalau aku terlalu ambisius, tidak masalah, lagi pula yang akan mendapat keuntungan aku, mereka tidak berhak melarangku. Sejak pagi aku dan kak Ali selalu di ruang kerja. Kak Ali sibuk dengan laptopnya, dan aku sibuk dengan buku-bukuku. Kami akan menjeda kegiatan saat melaksanakan salat dan makan. Setelahnya kami akan meneruskan kembali kegiatan kami. Kak Ali baru terbebas dengan kerjaannya selesai salat Maghrib. Ia langsung merapat ke arahku. Membantuku untuk belajar sesuai dengan yang ia janjikan kemarin malam. "Pelajaran apa yang belum kamu paham?" Aku membuka kitab Al-Mutammimah, kitabku masih banyak yang kosong karena kelamaan libur. Kitab Al-Mutammimah bisa dibilang kitab pelengkap Al-Jurumiyah. Guru kitabku mengatakan, kalau kita mau paham Nahwu Sharaf, usahakan hapal kitab Al-Jurumiyah. Kalau kita mau pandai berbahasa Arab, kita harus paham Nahwu Sharaf. Dan anehnya, aku suka pelajaran itu, tetapi pelajarannya selalu sulit aku mengerti. "Aku enggak bisa artiin sendiri, aku enggak pandai Bahasa Arab," ucapku seraya menampakkan cengiran. Dan untuk kesekian kalinya dia mengelus puncuk kepalaku sambil tersenyum tulus. "Aku bakal artiin sekaligus jelasin, kamu simak baik-baik, ya." Aku mengangguk patuh. Kak Ali tersenyum menatapku. Dia begitu lemah lembut mengajariku. Jauh berbeda dengan kebiasaannya di sekolah. Tidak ada tatapan dingin, tidak ada guru yang cuek. Dia selalu tersenyum saat aku menatapnya, dia juga selalu mengelus puncuk kepalaku kalau aku salah. Semakin hari aku semakin tahu bagaimana sikap aslinya. Dia tidak seburuk yang kukira, dia sangat lemah lembut. Kini kutahu apa alasan dia dingin dengan wanita dahulu, dia hanya tidak ingin terkena zina. Aku jadi merasa berdosa jika mengingat betapa naifnya aku dahulu memandang dia tanpa mengetahui yang sebenarnya. Namun ... kemungkinan kedua, bisa jadi dia punya trauma dengan wanita, ah tidak mungkin, toh, sejak RA dia sekolah khusus laki-laki. *** Ali tersenyum melihat Hafshah tertidur di atas tumpuan buku. Dia tinggal sebentar untuk mengirim email saja sudah langsung pulas. Tiba-tiba ide jail bertebaran di otaknya. Ia raih pulpen milik Hafshah dari tangannya. Sambil terkekeh pelan dia mencoret-coret wajah Hafshah. Ada kumis, bulat hitam di ujung hidung, dan tanda tangannya di wajah Hafshah. Merasa puas dengan hasil karyanya. Ali merebahkan tubuhnya di samping Hafshah, ia terus tatap wajah Hafshah sampai akhirnya ia pun ikut tertidur. *** Di pukul sebelas malam aku terbangun. Aku sampai tidak sadar sudah ketiduran di ruang kerja. Aku kira kak Ali masih melanjutkan pekerjaannya, ternyata dia juga ikut tidur di sampingku. Melihat wajah polosnya saat tertidur tidak terasa senyuman kecil terulas di wajahku. Kini aku sudah menjadi seorang isteri, laki-laki yang ada di hadapanku adalah suamiku, laki-laki yang halal kusentuh. Kulihat bulu alisnya tebal dan rapih, aku sentuh perlahan alisnya itu. Aku tidak bisa menghentikan senyum. Saat melihat ketampanan suamiku yang paripurna, tiba-tiba ide jail muncul di otakku. Kuambil pulpenku dari tempat pensil. Kubuat ukiran indah di wajahnya. Kubuat dia mirip dengan kucing, kucing tampan tepatnya. Aku tidak bisa menahan tawa rasanya saat melihat hasil karyaku telah selesai. Aku langsung merebahkan tubuh kembali di sampingnya. Kutatap terus wajahnya sambil sesekali menyentuh dan tersenyum. Hanya bertatapan saja hatiku terasa tenang, tidak bisa kubayangkan kalau kini ia memelukku. Apakah ini yang disebut jodoh? Aku merasa tenang saat bersamanya. Aku merasa bahagia diperlakukan baik olehnya. Wajahnya selalu kuingat saat ada laki-laki yang mendekatiku. Meski laki-laki itu lebih tampan darinya, dia selalu menang di hatiku. Lama menatapnya mataku terasa mengantuk. Aku memutuskan untuk memejamkan mata kembali. *** Di pukul tiga pagi kami terbangun bersamaan. Kulihat dia menatapku dengan raut menahan tawa. Aku juga kini menatapnya dengan raut menahan tawa. Kini kami duduk berhadapan, saling tatap dalam diam, perutku menggelitik melihat wajahnya, itu alasanku tidak bisa berbicara satu patah kata pun. Dan kulihat dia sama sepertiku. Lama diam, hingga akhirnya aku terbahak lebih dulu disusul dengannya. Aku jadi bingung, mengapa dia juga mentertawakanku, apa dia tidak sadar dengan wajahnya sekarang. Tiba-tiba dia menangkupkan tangannya di wajahku. Dia mengecup kedua pipiku lalu mencengkram pelan bahuku. "Kamu lucu banget," ucapnya. Kini dia tertawa kembali. "Kamu juga lucu," sahutku. Aku bangkit lebih dulu untuk mengambil handphone-ku yang kini berada di meja kerja kak Ali. Aku buka kamera handphone-ku, lalu kufoto kak Ali yang sedang kebinguangan menatapku. Kuberikan hasilnya kepada kak Ali. Dia terlihat heran. Tiba-tiba dia merangkul paksa tubuhku untuk mendekat. Ia buka kamera depan. Terlihat wajah kita yang sangat konyol di kamera itu. Kita terbahak bersama. "Kamu balas dendam, ya?" tanyanya seraya menjawil hidungku. Aku menggeleng. "Malahkan sebelumnya aku enggak tahu kalau udah dicoret-coret lebih dulu sama kamu." Dia terkekeh. "Sehati banget ya kita." Aku tidak bisa menahan senyum. Dan untuk kesekian kalinya kami terbahak bersama. *** Seperti malam sebelumnya, kami melaksanakan salat Tahajud dan Subuh bersama. Kak Ali bilang, besok dia tidak bisa salat Subuh bersamaku. Dia mendapat jadwal imam di masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah kita, seterusnya ia akan salat Subuh di masjid, karena laki-laki itu memang lebih baik salat di masjid. Selesai salat Subuh dia langsung melesat ke dapur lebih dulu. Aku langsung menghampirinya. "Aku mau buat sarapan buat kamu," ucapnya seraya memakai celemek. "Ih ... masak kamu sih yang buat, kan harusnya aku. Makanan buatanku enggak enak, ya?" Dia tersenyum lalu mengelus puncuk kepalaku. "Buatanmu selalu enak di lidahku. Aku cuma mau buatin kamu sarapan aja kok, besok aku enggak ganggu kegiatan kamu lagi di dapur, beneran, ijinin, ya?" Aku mengerucutkan bibir sambil mengangguk. Dia tertawa menatapku. Kini aku hanya menatapnya. Dia sangat lihai melebihi aku, aku jadi malu. Aroma masakannya terasa sedap, kuyakin, makanan buatannya pasti lebih enak dariku. Aku harus lebih giat lagi belajar masak. Oh mama, seandainya mama masih ada, aku pasti belajar masak sama mama. Kuhembuskan napasku pelan saat mengingat betapa bodohnya aku dahulu. Mama selalu mengajakku untuk belajar masak, tapi aku selalu tidak mau dengan alasan segala macam. Aku benar-benar menyesal menyia-nyiakan waktu emas itu. Sendainya mama masih ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD