BAB 12

1062 Words
Aku jadi kebingungan. Kak Ali sedang sibuk membuat soal untuk Pekan Akhir Semester Senin nanti. Aku hanya menemani di ruangan kerjanya. "Em ... aku buat nasi goreng, ya, Kak?" Kulihat dia menoleh, tidak lama setelahnya dia langsung tersenyum dan mengangguk. Aku langsung bangun menuju dapur. Jujur saja aku sebenarnya tidak pandai membuat nasi goreng. Saat pertama kali aku membuatkannya nasi goreng itu tidak murni buatanku, kak Farhah yang meracik bumbunya. Aku sedikit merinding saat melihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi aku tidak mungkin balik lagi karena alasan takut. Sebenarnya kak Ali sudah menyuruhku tidur sejak tadi. Tapi aku selalu menolak dengan alasan belum mengantuk. Aku memang belum mengantuk, tapi sebenarnya masih ada alasan lain selain itu, aku takut tidur di kamar sendiri. Kamarnya sangat luas, aku mana bisa memejamkan mata di ruangan luas sendirian. Aku membuat nasi goreng dengan gerakan cepat. Antara takut dan memang aku tidak paham seratus persen cara membuat nasi goreng. Jadilah aku membuatnya dengan cepat. Tidak membutuhkan waktu lama kini satu piring nasi goreng sudah siap. Aku mengambil satu botol air mineral dari kulkas setelah itu aku langsung melesat ke ruang kerja kak Ali. Ternyata kini kak Ali sudah tidak sibuk dengan laptop. Kini dia sedang terlentang di atas karpet berbulu yang sudah tersedia di ruang kerjanya, tempat aku menunggunya tadi. Dia langsung bangun saat mengetahui kalau aku sudah datang. "Em ... maaf, ya, Kak, kalau nasi gorengnya kurang enak. Aku enggak pandai masak, nasi goreng kemarin pun hasil racikan kak Farhah bukan aku." Dia tersenyum lalu mengelus puncuk kepalaku. Entah, dia sangat suka melakukan itu kepadaku. "Enggak papa, apapun buatan kamu selalu enak di mulutku. Kamu udah makan belum?" Aku mengangguk. "Aku udah makan, tadi pas kamu sibuk ngerjain soal, kan, aku udah kenyang banget." "Yaudah, aku makan, ya?" Aku mengangguk sambil tersenyum risih. Aku menggigit bibir bawahku saat melihat dia berhenti mengunyah setelah sekali kunyahan. "Apa enggak enak, ya, Kak? Jangan diterusin kalau emang iya," ucapku khawatir. Dia langsung mengunyah kembali seolah makananku itu benar-benar enak. "Enggak, enak kok," ucapnya seraya menyuap kembali nasi goreng buatanku dengan lahap. Tidak menunggu waktu banyak dia sudah menghabiskan nasi goreng buatanku. Kulihat keningnya berkeringat padahal semua ruangan di rumah ber-Ac, termasuk ruangan kerjanya. Aku jadi semakin khawatir. "Apa kamu mengantuk?" Aku menggeleng, aku sama sekali tidak mengantuk. Kulihat dia menghela napas panjang. "Sama aku juga. Bagaimana kita nonton film di ruangan keluarga?" Aku mengangguk setuju. "Boleh." "Kamu taruh dulu di dapur, ya, aku mau rapihkan berkas-berkas dulu." Aku mengangguk patuh lalu bangkit seraya membawa piring dan botol air mineral ke dapur. Aku jadi penasaran, nasi goreng buatanku itu memang beneran enak atau tidak. Kulihat di penggorengan masih tersisa sedikit. Aku langsung mengambilnya dan kucicipi. Oh Allah ... ternyata nasi gorengnya sangat asin. Aku merasa berdosa sekali sudah membuat kak Ali harus menghabiskan nasi goreng asin buatanku ini. *** Aku masih merasa bersalah, tapi aku malu untuk meminta maaf. Ternyata kak Ali sangat suka film ber-genre thriller, dia memiliki banyak kaset film-film yang tidak pasaran. Aku menutup mataku rapat-rapat saat melihat adegan pembunuhan. Dia mentertawakanku, menyebalkan sekali. "Tes mental lho, kalau kamu kuat lihat adegan pembunuhan, berarti mental kamu kuat." Aku menelan saliva dalam-dalam. "Aku suka kebayang, enggak berani," ucapku tanpa membuka tutupan di mataku. "Udah selesai kok," ucapnya lembut seraya merangkul tubuhku. Aku buka perlahan tutupan di mataku. Benar, sudah tidak ada lagi adegan pembunuhan di film itu. "Katanya kalau kita nonton film kayak gini, bisa ada probabilitas kita juga melakukannya," ucapku seraya menatapnya yang kini sedang fokus menatap televisi. "Enggak semua kok. Tergantung bagaimana menyikapinya. Semua hal pasti punya sisi baik dan buruknya. Kalau orang yang mentalnya terganggu, bisa jadi mengikuti hal buruk. Tapi, orang yang memiliki paradigma yang baik, enggak mungkin melakukan itu. Terlalu naif kalau cuma ikut-ikutan, apalagi hal buruk. Jadikan semuanya pelajaran." Aku mengangguk patuh. "Apa kamu udah ngantuk?" Aku menggeleng. "Enggak tahu kenapa aku belum juga ngantuk." "Itu wajar, kamu pasti belum bisa beradaptasi sama rumah baru kita. Besok juga kamu bisa tidur dengan tenang." "Semoga aja." Ia menarik pelan kepalaku untuk bersandar di bahunya. Aroma tubuhnya yang damai kini tercium di indera penciumanku. Kali ini kukatakan. Aroma kak Ali adalah aroma favoritku. "Omong-omong, kamu udah tahu belum kalau aku sama kakakmu itu dulunya satu pesantren?" Aku menggeleng. "Kakak enggak pernah cerita sama aku." "Ya, kami dulu satu pesantren. Tapi, kami tidak terlalu kenal, aku juga baru menyadarinya saat sudah lama." "Berarti kak Farhah lupa dong?" "Bisa jadi." "Oh ya, abi sudah melewati masa kritis, besok sudah boleh dijenguk. Kamu mau ikut enggak?" Aku menganguk. "Mau." "Oh ya, Kak, aku banyak ketinggalan pelajaran, sementara dua hari lagi PAS. Aku boleh enggak ke rumah Bilqis atau Mala buat belajar bareng?" "Enggak usah jauh-jauh, belajar sama aku aja." "Emang kamu bisa, maksudku emang kamu masih ingat pelajaran SMA?" Kak Ali mengusap kepalaku. "Insyaallah ingat." "Yaudah deh sama kamu aja." Kulihat dia tersenyum kecil, tapi matanya masih setia menatap televisi. "Dulu sewaktu kecil aku tidak suka sama perempuan, bukan berarti aku suka laki-laki. Sejak RA aku tidak pernah satu sekolah sama wanita, selalu khusus laki-laki. Jadi tuh hawanya aku kurang suka sama perempuan, sebel aja, aku juga enggak tahu kenapa." "Pantes kamu jutek banget sama siswi. Aku sempat benci tau sama kamu." "Pasti karena kata-kata aku, ya? Sebenarnya aku sengaja sih kayak gitu ke kamu." Aku langsung menatapnya, dia masih fokus pada televisi. "Kok gitu?" "Aku mau lihat bagaimana kesabaran kamu hadapin aku, aku mau lihat, apa kamu bakal mundur atau terus berjuang demi orangtuamu." Tiba-tiba Kak Ali mengecup puncuk kepalaku. "Ternyata kamu kuat. Dan, aku merasa bahagia karena itu, aku langsung melabuhkan hatiku ke kamu pas pertama kali aku ke kamarmu." Aku tersenyum kecil. Entah mengapa perasaan benci yang pernah aku rasakan seakan musnah entah kemana. "Aku senang bisa jadi yang pertama, dan semoga juga jadi yang terakhir buat kamu. Tapi maaf ...." "Kenapa?" "Aku punya mantan." Aku kira dia bakal marah, ternyata dia malah terbahak. "Aku paham kok, aku enggak bakal marah sama kamu, dan aku juga kayaknya enggak bakal cemburu deh sama anak-anak pitik." "Berarti aku anak pitik dong?" "Enggak, kamu anak aku, maksudku, ibu dari anak-anakku." Aku tidak bisa menahan senyum, dia pandai sekali mengukir kata. "Lagian enggak cuma kamu yang punya mantan." Mataku langsung membulat. "Kakak ...." Kak Ali terbahak melihat wajahku. "Aku bercanda, Sayang." Wait, apa katanya? Sayang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD