BAB 16

1036 Words
Hafshah, maafkan aku. Wanita yang kini bersamaku bernama Syahnaz Sahara, teman perempuan pertamaku semasa SMA dahulu. Dia tidak satu sekolah denganku, hanya tetangga dekat. Syahnaz dahulu tinggal tepat di samping rumahku. Orangtuanya adalah sahabat dekat orangtuaku, Syahnaz sudah menganggap orangtuaku seperti orangtuanya sendiri, dan aku pun menganggap orangtuanya seperti orangtuku sendiri. Bahkan, orangtuanya pernah mengatakan, kelak laki-laki yang akan mereka nikahkan dengan Syahnaz adalah aku. Dia wanita yang ramah dengan siapa pun, tapi tidak dengan laki-laki, hanya sebagian laki-laki yang ia perlakuan baik, dan salah satunya adalah aku. Laki-laki yang diam-diam menjadikan dia cinta pertamaku. Dahulu aku sering diam-diam melihatnya dari kamarku. Dia rajin sekali membantu orangtuanya, salat di Masjid bersama ibu-ibu komplek, ya, dia muslimah yang lebih dekat dengan sekawanan ibu-ibu ketimbang anak seusianya. Dia juga seorang hafizah 30 juz, dia sama sepertiku, seorang santri sejak Sekolah Dasar, dan kami disekolahkan di tempat khusus, aku khusus laki-laki dan dia khusus perempuan. Kita hanya bertemu beberapa kali dalam satu tahun, tapi setiap pertemuan selalu mengandung banyak kenangan bagiku. Dialah wanita yang ada dalam untaian doaku, tapi ternyata Allah menjodohkanku dengan Hafshah. Kita memang cukup dekat, tapi dia sangat pintar menjaga batasan. Berteman tanpa pernah melanggar syari'at Islam. Aku yang pendiam dan dia yang ramah. Hingga akhirnya kita harus berpisah sangat lama, aku meneruskan perguruan tinggi di Jerman sementara dia di Makkah. Lihatlah, setelah empat tahun tidak bertemu, dia sekarang seperti wanita Arab sungguhan. "Ini yang selalu aku ingat, setiap ngobrol sama kamu selalu garing, kamu diam dan aku yang banyak bicara," ucapnya sambil menaruh ponsel ke dalam tas. Seorang pelayan kantin sekolah mendekat ke arah kami, dia membawakan kami minuman dan makanan. Sekolah sudah mulai ramai kembali dengan anak-anak yang mengikuti ekskul. "Bagaimana keadaan abi kamu, aku dengar dari umma, abi kamu sakit?" Aku mengangguk. "Dan sekarang udah mulai membaik, niatnya saya mau jenguk sama Haf—" "Haf—?" ucap Syahnaz seraya menaik-turunkan alisnya. Aku terdiam beberapa saat. "Hafshah, murid perempuan yang ...." "Oh, yang tadi? Kenapa, sih, susah banget jelasin kayak gitu aja, dia mau jenguk abi kamu? Mungkin ... wah ... jangan-jangan dia naksir sama kamu." Matanya meledek. Oh Allah, harus aku ucapkan apa .... Aku hanya tersenyum tipis. "Kayaknya kamu, mah, udah biasa ditaksir wanita, makanya resepon-nya biasa aja. Bahkan dulu tetangga banyak yang naksir sama kamu." Lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis. "Oh ya, ada salam dari orangtuaku, kapan bisa main ke rumah? Nih alamat rumah kami." Syahnaz memberikan secarik kertas berisi alamat ke padaku. Kuambil kertas itu lalu kutaruh di saku jas. "Nanti malam kamu free? Aku mau jenguk abi bareng kamu, bisa?" Entah apa yang ada di otak Syahnaz. Dia dahulu tidak seberani ini. Dia memang ramah, tapi dahulu sangat pandai menjaga diri dan ucapan, tidak seperti sekarang. Dan bodohnya, kepalaku malah mengangguk mengiyakan. Dia tersenyum manis mendapat respon baik dariku. "Sekalian ajak muridmu itu, enggak baik juga, kan, satu mobil berduaan sama yang bukan mahram." Aku mulai tersadar. "Mm ... saya ada urusan, nanti kamu langsung datang aja, ya, ke Rumah Sakit Cahaya, saya akan datang sama Hafshah." Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung bangkit. Kulihat mulutnya mengatup-ngatup tapi langsung kupotong dengan salam, setelah itu aku langsung pergi. *** Saat sudah ada di mobil kuhubungi Hafshah berkali-kali, tapi dia selalu menolak panggilanku, bahkan pesanku tadi hanya di-read. Tidak biasanya. Kutaikkan kecepatan kemudiku, aku harus segera sampai rumah. Kepalaku yang sudah penat tambah penat. Sesampai di rumah, ternyata Hafshah tidak ada. Kuacak-acak rambut frustasi, ada-ada saja anak itu, sudah tahu aku sedang penat, bisakah dia jauh lebih mengerti. Akhirnya aku memilih untuk menghubungi ayah di rumah. Dan benar ... Hafshah pulang ke rumahnya. "Pulang-pulang matanya sembab, langsung lari ke kamar dan enggak keluar-keluar sampai sekarang." Kuhela napas berat. Aku sampai lupa, isteriku itu masih anak-anak, pantas kalau dia masih sering mengikut sertakan emosinya dalam segala hal. "Aku ke sana, Ayah." *** Sudah kuketuk pintu kamarnya berkali-kali, tapi dia tetap saja tidak mau membuka pintu. "Kalau kamu enggak mau buka pintu, aku bakal dobrak." Lama diam, akhirnya ia membuka pintu, benar matanya sembab. Kutangkupkan wajahnya dengan tanganku. Kuangkat agar mendongak dan aku bisa lebih leluasa melihatnya. Namun dia menepis tanganku lalu pergi ke dalam kamar. Aku mengikutinya. Sebelum mendekat, kututup kamarnya dahulu. "Kamu kenapa?" Bukannya menjawab, malah suara isakan tangis yang terdengar. Aku mendekat ke arahnya lalu duduk tepat di sampingnya. "Apa kamu nangis karena wanita tadi?" "Siapa dia?" Bukannya menjawab dia malah balik bertanya. "Dia ... dia tetangga dekat aku dulu." "Bohong, dia mantan kamu, kan?" Entah mengapa, hari ini aku sedang emosi, apalagi dituduh seperti ini. Kutatap wajahnya datar. "Sejak kapan kamu suka nuduh?" "Kak ... jangan bohong," rengeknya, dia menutup wajah dengan telapak tangan. "Kamu kenapa, sih? Cemburu?" "Aku ini isteri kamu, kamu harus hargai aku!" Mataku menyorot tajam. "Jangan tuduh aku, Hafshah, aku enggak punya mantan!" Dia membuang muka jengah. "Pembohong!" Nada bicaranya naik satu oktaf lebih tinggi dari suaraku. "Siapa yang ajarin kamu bentak suami, hah?" Tangisnya semakin menjadi. "Kalau kamu suami aku, kamu bakal lebih milih aku daripada wanita cantik itu. Iya aku tau dia jauh lebih cantik dari aku, dia itu lebih sempurna dari aku. Dan aku yakin, dia pun sangat pintar. Dia, kan, wanita idaman kamu, wanita cantik, ramah, pintar, enggak kayak aku yang jelek, bodoh. Aku mau cerai aja, biarin aku jadi janda di usia muda daripada harus hidup sama laki-laki yang enggak cinta sama ak—" *** Kak Ali mendorong tubuhku ke kasur dengan sangat kasar. Dia menindihku dengan mata menyorot tajam. "Apa aku harus buktikan sekarang kalau kamu isteriku?" ucapnya sambil mendekatkan wajah ke arahku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya sekarang. Tangisku terhenti, sekarang justru ketakutan yang menghampiri. Aku berontak, tapi tanganku ia tahan, tenaganya jauh lebih besar dari tenagaku. Airmataku mengalir kembali. "Haruskah aku lakukan sekarang, Hafshah?" Aku menggelengkan kepala sambil menangis. "Kamu membuat aku marah hari ini!" gentaknya. Dia melumat bibirku kasar, aku rasa, bibirku terluka. Aku semakin terisak, semakin aku berontak dia semakin menggila. Aku menangis sejadi-jadinya saat dia merobek baju yang aku kenakan. "Kakak ... cukup ... aku ... aku takut ...." Dia terdiam dengan napas terengah-engah. Dia menatapku dengan tatapan yang jauh lebih melunak. Dia membangunkanku, lalu memelukku dengan erat. "Maaf ...." Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD