BAB 2

1508 Words
Perasaan baru kemarin aku menginjakkan kaki di sekolah ini. Kini sudah tiga bulan saja berlalu. Semua berjalan sesuai keinginan aku. Aku sudah bisa membiasakan diri menjadi orang yang lebih baik, aku sudah biasa dan tentunya sudah kebal jika ada kasak-kusuk mengenai penampilanku yang jauh lebih tertutup dari mereka. Tidak apalah, aku nyaman memakainya, omongan mereka tidak bisa menandingi kenyamananku. Hari ini akan mengadakan kampanye pemilihan Ketua OSIS baru. Yang menyanlonkan tadi aku lihat di mading namanya, urut satu Al-Farisi Rozaq, urut dua Mahfuz Mahbub, dan urut tiga Barra Qurtubi. Aku hanya mengenal Barra, mungkin hanya aku yang mengenal, dia mah tidak. Aku milih siapa, ya milih Barra pastinya. Barra itu laki-laki berpostur tubuh biasa, standar, dia berkulit putih, kumis tipis, alis lumayan tebal. Dan yang membuatku kagum dia itu berpenampilan sangat rapih, tidak lepas dari kopiah hitam, dan dia itu laki-laki yang ideal bagi aku. Mungkin ini versi kakak kelas alim yang di kehidupanku. Biasanyakan aku hanya mengkhayal karena terlalu banyak membaca novel. Kalau dibandingkan dengan Ketua OSIS yang kemarin memang lebih tampan kak Fahrizal. Tapi mataku ini lebih condong sama tipe-tipe laki-laki kayak kak Barra, pokoknya ideal di mataku. Aku memang berhasil mengubah diriku, tapi tidak dengan hatiku, itu yang membuatku merasa benar-benar malu, aku benar-benar munafik, aku pandai bertopeng ria menjadi sosok wanita alim tapi hatiku masih kotor. Astaghfirullah. Contoh baru tiga bulan saja aku sudah terkagum-kagum dengan empat orang laki-laki sekaligus, dua orang dari kakak kelas dan dua orang dari teman sekelasku. Kalau misalnya, misalnya ya, aku tahu ini tidak akan pernah terjadi, kalau misalnya aku disuruh pilih antara keempatnya aku sih lebih milih kak Barra, dia bagiku yang benar-benar terbaik. "Kamu bakal pilih siapa, Ca?" tanya Mala. "Kamu?" Aku malah bertanya balik, dia nampak masam menanggapinya. "Aku sih milihnya kak Alfar, dia cocok, tampan, pintar, postur tubuhnya pun mendukung, aku yakin banyak yang milh dia," ucap Mala. Ya, memang Kak Alfar itu lebih tampan dari ketiganya. Memang tampang bisa jadi jaminan? Memang tampang juga bisa seiras sama hatinya? Intinya aku akan tetap memilih kak Barra. "Aku nunggu hidayah aja nanti pas nyoblos," ucapku. "Aduh Mala ...." Aku malah dicubit sama dia. "Lagian kamu!" Aku malah nyegir, aku tidak akan memberitahukan siapa pun, biarlah ini menjadi rahasiaku dan Allah. *** Ternyata kak Barra tidak menang, yang menjadi Ketua OSIS baru kak Alfar dan kak Barra menjadi wakilnya. Kak Barra terlihat tidak kecewa atau sedih, lha ... malah aku yang marah-marah dalam hati, kecewa dalam hati, dasar perempuan suka sekali sih mendam perasaan. Aku dan Mala langsung menuju kelas setelah menonton sebagai saksi. "Eh ... eh, Ca, itukan guru baru tau, katanya sih lulusan dari Jerman, anak Ketua Yayasan, dia ngajar Bahasa Arab tau di sini." Mataku memicing. Dengan penglihatan sedikit rabun aku memandang laki-laki dewasa yang disebut Mala tadi, dia sedang duduk di bangku Tata Usaha, jemarinya menari-nari pada keyboard laptop di hadapannya. "Kok lulusan Jerman ngajar Bahasa Arab?" tanyaku. "Lha enggak tau, eh btw ganteng tenan," ucap Mala sambil cekikikan. Aku menggelengkan kepala, seolah tidak tertarik. Padahal di hatiku berteriak, "TUH ORANG GANTENG BENER." Munafik memang kamu Hafshah. Aku tidak bisa bilang dia jelek, dia itu memang tampan. Tubuhnya tinggi kekar, rambutnya hitam pekat, alisnya hitam sedikit menyambung, bibirnya terlihat lembab, mungkin lembab karena zikir, masyaallah, kumisnya tipis, berkulit putih. Ya Allah ... sungguh indah ciptaan-Mu ini. "Udah ah, ayo ke kelas, aku mau ambil uang, mau beli minum, haus banget, kalo aku dehidrasikan bahaya," ucapku ngasal. Mala cekikikan sambil menutupi sebagian mukanya. "Eh kamu berdua bisa bantu saya?" Ucapan itu berhasil membuatku dan Mala terdiam sesaat. "Iya kamu berdua yang ada di hadapan saya." Ya aku memang sedang ada di hadapannya sekarang. "Kita, Ustaz?" tanyaku. Dia menutup laptopnya. "Ya kalian, tolong belikan saya air minum di kantin, ya, nih uangnya." Dia memberikan selembar uang dua puluh ribuan kepadaku. "Yaudah permisi, Ustaz." Baru saja Mala hendak meraih pergelangan tangannya, Ustaz itu malah menelungkupkan tangannya di d**a. "Afwan." Dia tersenyum singkat. Antara terkesima dengan senyumnya walaupun sebentar dan menahan tawa saat melihat wajah Mala yang melas. Habis sudah kamu Mala. *** Mala masih tidak terima dengan perlakuan Ustaz tadi. Dia tidak mau mengantar aku ke Tata Usaha untuk mengembalikan uang kembalian dan tentunya air minumnya juga. Mala ini benar-benar menyebalkan. Sudah tahu aku ini perempuan bernyali kecil, malah disuruh jalan sendirian. Coba saja kalau bukan guru yang menyuruh, aku pastikan aku tidak akan mau. "Assalamu'alaikum, Ustaz nih air minumnya," ucapku sambil memberikan air minum itu kepadanya. Dia mendongak, jarak kami sangat dekat, aku bisa lebih leluasa memandang wajahnya yang super bening, bulu-bulu halus menghiasi wajahnya, ah ... sungguh berkharisma. "Ekhem." Mati aku, aku langsung menunduk malu, mematung, diam membeku. Sedangkan dia meneruskan kegiatannya lagi. Cukup lama aku terdiam. Hingga akhirnya ia mendongakkan wajahnya kembali. "Lho kamu ngapain?" tanyanya. Aku diam, bodoh sekali, aku ngapain masih mematung di sini? Apa aku menunggu ucapan terima kasih darinya baru pergi? Bodoh kamu Hafshah, bodoh tingkat semesta. "Em ... anu ... itu ... yaudah saya permisi." Aku langsung balik kanan dan berjalan secepat kilat. Bodo deh tuh guru mau bicara apa. Baru saja lima langkah menjauh dari musibah, kini datang musibah baru. Aku jatuh tersungkur di lantai dengan posisi yang memalukan. Aku langsung bangkit lalu berusaha tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaan orang yang menabrakku tepatnya aku deh yang nabrak, kalau aku itu baik-baik saja. Tubuhku seketika membeku saat aku tahu orang yang aku tabrak itu Kak Barra. "Ma ... maaf." "Lain kali jalan jangan gerusukan kayak gitu, enggak apa-apa kok, yaudah Kakak duluan, ya, lagi ditungguin Ustaz Ali," ucapnya diakhiri senyuman ramah. Ya Allah kenapa mesti senyum coba tuh orang. Hari ini benar-benar menegangkan bagiku, dua kejadian yang membuat jantungku naik turun, kalau ingin tahu bagaimana rasanya, coba kalian naik komedi ombak di abang-abang pasar malam, kurang lebih seperti itu. Sesampai di kelas Mala langsung membrondongiku dengan berbagai pertanyaan tentang Ustaz yang belum aku kenal siapa namanya itu. "Dia nanyain aku enggak?" tanyanya. "Idih PD banget, ngapain juga dia nanyain kamu," ucapku sambil menampakkan wajah sinis. Dia cekikikan, pertanyaan bodoh memang. Di bulan ketiga ini aku sudah lumayan akur dengan teman-teman sekelasku. Aku memiliki teman dekat baru, semuanya perempuan. Aku kurang dekat dengan laki-laki, lagi juga siapa yang mau dekati aku. Mari tertawa jahat untuk diriku. "Ca ... asli tuh ustaz muda ganteng banget ...." Mala menyenderkan kepalanya di bahuku seraya menatap ke jendela. Saatku ikuti arah pandangnya, ternyata dia sedang memandangi ustaz yang baru saja membuatnya malu. "Aku ingetin lho, La. Mengagumi makhluk Allah berlebihan itu enggak baik, hati-hati kena imbasnya," ucapku. "Apa imbasnya?" "Kekecewaan yang sulit dihilangkan." "Puitis banget kamu, Ca, kamu kayaknya gumoh deh, atau ... kamu kebanyakan nonton film Juleha Jatuh Cinte di televisi? " "Ye ... pala batu dibilanginnya." "Untung aku enggak pala batu, pala duren." Aku tertawa hambar. "Ga ... ring!" "Ahh ... Caca ...." "Lagian kamu tuh kalau mau ngelawak enggak ada lucu-lucunya." Aku terbahak tiba-tiba. Aku pun tidak tahu apa sebabnya. "Walaupun gitu, kamu enggak bisa menandingi kharisma yang ada di wajahku yang fenomenal, kan?" "Nah, kamu kebanyakan nonton vlog-nya Juminten, ya? Yang artis baru itu ... yang katanya paling berkharisma dan fenomenal, padahal realitanya endok." "Eh enak aja aku disamain sama dia, enggak! Beda, ya!" "Sama." "Beda." "Sama!" "Orang beda ya beda!" "Orang sama ya sam–" "Ca, gua minjem tip ex." Jantungku berdegup kencang, mungkin jika aku beritahu bagaimana suaranya kurang lebih seperti ini. "Jeleger ... dumplak ... tuwiw-tuwiw ... rampam-pam-pam-pam-pam-pam-pam ... Lets kill this love, eh." Yang baru saja bicara itu namanya Wildan, dia masuk ke dalam empat laki-laki yang diam-diam aku sukai. "Mana, jeh." Kini dia berdiri di depanku. "Bentar, sabar dikit, minjem galak." Bukan aku kalau salah tingkah di depan laki-laki kelewat tampan. Dia tertawa kecil. "Lu tuh yang galak, muka sama kelakuan cute, isinya psikopat. Atau bisa disebut, luaran hello kity daleman hulk." Ini nih yang aku tidak suka dari Wildan. Hobby sekali mengejek orang dan berlaku semena-mena. "Udah minjam, maksa, ngatain pula." Aku langsung melempar tip ex ke lantai. Sengaja, supaya dia kesal. Pembalasanku berhasil. "Enggak sopan!" "Prilaku cerminan diri," sambarku. "Jodoh juga cerminan diri, atau jangan-jangan kita berjodoh." Suara jantungku, "BLEGER!" Tanpa merasa berdosa dia langsung pergi begitu saja seraya membawa tip ex-ku. "Dasar kerongkongan semut!" Mala terbahak melihatku menggerutu. "Aku ingetin lho, Ca. Kalau kesal biasanya berubah jadi cinta." Orang udahan, gagal meramal dia. Astaghfirullah aku. "Tapi btw dia ganteng, bad boy versi anak madrasah." "Semua orang aja kamu bilang ganteng. Nanti kalau lihat guguk pakai minyak orang-oring juga kamu bilang ganteng. Seleramu kayak selera bebek." Pletak! Berani-beraninya dia menjitakku? Aku harus balas. Dan akhirnya cerita hari ini diakhiri dengan pertengkaranku dengan Mala yang tidak pernah mengenal waktu dan tempat. Kalau aku kena, Mala juga harus kena, begitu terus sampai badak bertelur bebek. Sampai guru datang baru pertengkaran sengit kami berakhir dan kami mulai bermaafan kembali. Indahnya hidup ini. "Jangan lupa besok kalian harus presentasi!" Dan rasanya keindahan itu sirna saat suara ini keluar dari mulut mungil yang mengungkapkan kalimat sepedas cabai rawit. "Baik, Ustazah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD