BAB 1

1513 Words
Aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Tapi bedanya, aku sekolah di Madrasah Tsanawiyah yang pelajarannya jauh lebih banyak dari SMP. Menjadi suatu kebanggaan bagiku sekolah di Madrasah. Di Madrasah aku bisa belajar pelajaran yang ada di SMP dan aku juga bisa belajar pelajaran-pelajaran agama, agama apa? Jelas agama Islam. Aku sekarang sekolah di MA, Madrasah Aliyah. Di sini aku satu-satunya anak baru yang masuk sekolah tanpa ada teman barengan dari sekolah sebelumnya. Karena aku sebelumnya sekolah di Solo, sekarang aku sekolah di Jakarta. Aku baru dekat dengan satu orang, namanya Mala, nama panjangnya Nur Mala. Dia ternyata satu kampung denganku hanya beda letak tempatnya saja, aku juga baru menyadarinya. Sebelumnya aku bukan orang yang disiplin, bukan orang yang berpakaian syar'i, bukan orang yang beroptimis tinggi akan menjadi juara kelas. Karena aku ingin sekali menjadi orang yang berguna, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Aku berusaha mengubahnya dari nol, dan saat ini aku masih di tahap awal, semoga saja aku bisa istiqomah selalu. Semoga. Dulu aku pernah merasakan yang namanya pacaran, tidak hanya sekali, bahkan lebih dari dua kali. Aku menyesal, sangat menyesal, seandainya waktu bisa diulang kembali, aku tidak akan mau merasakan yang namanya pacaran. Sekarang aku sudah bertekad kuat untuk tidak berpacaran lagi. INDONESIA TANPA PACARAN, kalau prinsip yang aku tulis di mading meja belajarku adalah, HAFSAH TANPA PACARAN. Di sini aku benar-benar harus bisa jaga mata baik-baik, aku bisa zina mata kalau tidak pandai menjaga mata, kakak kelas laki-laki di sini berhasil buat aku susah berkedip. Aku ini perempuan normal yang menyukai lawan jenis, jelas saja dan sangat diwajarkan kalau aku terpesona. Apalagi kakak OSIS-nya. Ingin rasanya aku berteriak, "KAKAK GANTENG BANGET!" Jiwa ke MTs-MTs-anku masih melekat erat, ya gitu deh, rada alay, lebay, letoy. Tapi aku itu bukan tipe perempuan yang suka salah tingkah kalau bertemu laki-laki kelewat tampan, aku bakal puji dia dalam diam saja, aku gengsi kalau mau bilang langsung. Lihat orang-orang minta foto bareng, minta nomor w******p, nama **, kayaknya percaya diri banget, coba aku, gengsi saja yang ditingkatin. Ketua OSIS di sekolah aku namanya Muhammad Fahrizal, dia itu laki-laki berkulit coklat manis, ada lesung pipinya, bibirnya tipis, rambutnya badai, tubuhnya tinggi kekar, dan parahnya dia itu suka banget senyum, siapa yang tidak melthing coba. Dia itu ibarat gula dan anak-anak baru ini ibarat semut, dalam sekejap kakak Ketos yang tampan itu langsung digerumutin. Aku sama Mala cuma nonton saja, kita sama-sama besar gengsinya. Jadi lebih baik jaga nama baik daripada harus ikut-ikutan kayak mereka, runtuh sudah jiwa wanita anti menel. Dan parahnya lagi, ternyata tidak hanya kakak kelasnya yang tampan, guru-gurunya juga tidak kalah tampan, malah menurutku guru-guru muda itu jauh lebih memikat. Aku bisa apa, aku ingin mendam saja rasanya, kenapa aku harus dijatuhkan di tengah-tengah orang tampan di saat aku ingin berusaha menahan diri untuk tidak mengagumi orang tampan secara diam-diam lagi. Aku punya trauma, aku pernah kagum sama laki-laki di sekolahku sebelumnya. Benar yang dibilang kakak perempuanku, kalau kita menyukai makhluk-Nya melebihi batas, maka Allah akan cemburu, dan imbas yang akan kita rasakan adalah kekecewaan. Itu yang aku rasakan waktu itu. Diam-diam aku menyukai laki-laki bernama Helmi, dia teman satu kelasku. Aku suka sama dia, dia tidak suka sama aku, aku mau dekat sama dia, dia malah dingin sama aku. Setahu aku dia bukan tipe laki-laki cuek, masa sama aku kayak gitu, dingin banget. Bisa dibilang dia itu cinta pertama aku. Selama ini aku pacaran bukan atas rasa suka sama suka, aku kadang cuma tidak enak untuk menolak, jadi aku terima saja. Alhasil hubungan haram berembel-embel kata sayang itu hanya bertahan selama beberapa hari. Kayak umur nyamuk saja. Alhamdulillah, ada untungnya juga lihat kakak-kakak tampan ini, seketika rasa kagum aku sama Helmi kian sirna. Dan kali ini aku membenarkan lagi perkataan kakak perempuanku, cinta aku ini bukan datang dari Allah tapi dari setan, aku suka sama Helmi karena fisiknya yang memikat, bukan hal-hal postif yang wajar dikagumi. Innalillahi. Tapi, ada tapinya, hilang satu tumbuh seribu. Rasa cinta sama Helmi hilang, kini tumbuh benih-benih baru, aku bisa setres lihat laki-laki tampan setiap hari. Kayaknya aku harus pakai masker di mata biar tidak bisa lihat ketampanan mereka. *** Masa MPLS ini sangat menyiksa bagiku. Aku merasa asing dengan yang lain. Jujur saja sebelumnya aku ini benar-benar tidak niat masuk ke sekolah ini, aku dipaksa, bukan dipaksa siapa pun, aku dipaksa oleh takdir, karena mungkin aku sudah berjodoh di sekolah ini. Selain jarak sekolah ini jauh sekali dari rumahku, sekolah ini juga sangat-sangat asing bagiku, tidak sehangat sekolahku sebelumnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau tidak ada Mala di sini, aku akan bicara dengan siapa, bisa-bisa jadi patung mendadak kalau aku hanya diam. Aku ini tipe orang yang tidak pandai beradaptasi, aku juga bukan tipe orang aktif, aku lebih condong menjadi orang pendiam jika digabungkan dengan orang-orang yang belum aku kenal. Kalau sudah kenal malah aku suka gila. Tapi dulu, sekarang aku sudah tidak mau seperti itu lagi. Malu. Ingat perempuan itu harus anggun Hafshah. "Kamu ngerasa enggak sih, Ca, asing banget gitu kita?" ucap Mala dengan raut malas. Ia merasakan yang aku rasakan, skenario Allah ini memang benar-benar penuh kejutan. Aku tidak menyangka bisa bertemu teman yang memiliki pandangan dan nasib yang hampir sama sepertiku. "Iya aku juga ngerasa, La," jawabku dengan raut wajah tidak kalah malas. Mala memang sering manggil aku Caca, entah termotivasi dari apa dia memanggilku Caca. "Mau pindah aja rasanya deh ...," ucap Mala dengan raut memelas. "Aku enggak bakal disetujuin sama mama," ucapku dengan wajah memelas pula. Ya, mamaku tidak akan mau memindahkanku ke sekolah lain. Dahulu aku sudah dipaksa masuk ke sekolah yang mama impikan, tapi aku malah menolak dengan alasan mau sekolah di SMA. Alhasil, semua tak seindah realita. Kalau aku bilang mau pindah bisa-bisa aku kena dampratan mama yang panjangnya melebihi Sungai Nil. "Kamu jangan pindah, La, nanti kalo kamu pindah aku ngobrol sama siapa?" Aku langsung reflek menyenderkan kepalaku di bahu Mala. Mala malah tertawa, gingsulnya langsung terpampang. "Iya, Ca." "Kamu pulang nanti naik apa, Ca?" tanya Mala. "Aku dijemput kak Farhah, kakak aku, dia kalau pulang kuliah lewat sini, dan jam pulangnya pun sama, tapi ...." Aku menjeda ucapanku. "Cuma Senin sampai Rabu aja, aku bingung nanti Kamis sampai Sabtunya, enggak ada angkot jurusan rumahku lagi. Paling aku jalan kaki, biarin aja deh." "Nanti sama aku aja, aku bawa motor," ucap Mala. "Enggak papa?" tanyaku memastikan. Jujur saja aku senang. "Ya enggak papalah," jawabnya. Setidaknya aku sudah tenang mengenai masalah pulang sekolah. Kalau berangkat sih aku selalu ada yang anter, antara ayah dan kakakku. *** Di saat orang-orang asik berbincang, tertawa, berbaur tanpa mengenal jenis, apa dia laki-laki atau perempuan. Aku dan Mala hanya diam tanpa mengucap apapun. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing, bingung mau berkata apa, kami juga belum terlalu akrab. Aku lihat dia sibuk mencoret-coret buku bagian belakangnya dengan tulisan-tulisan tidak jelas. Kadang pula dia menggambar wajah yang jujur saja sangat jelek. Mungkin kalau aku bilang gambar buatannya jelek secara langsung, aku akan dicacimaki balik. Sementara aku, aku hanya membaca novel karya Habiburrahman El-Shirazy, penulis favoritku. Aku tidak begitu serius membaca karena di kelasku saat ini sangat ramai. Aku tidak tahu guru pelajaran Falaq hari ini masuk atau tidak, sudah lima belas menit dia tidak kunjung datang. Mungkin sebagian orang akan berdoa agar guru itu tidak masuk, justru aku malah berdoa agar guru itu cepat datang. Aku benar-benar sudah masuk ke zona gabut tinggkat internasional. "Ca, aku bete ...." Mala kini sudah tidak dengan posisinya. Ia mengubah duduknya menghadapku. "Kamu kira aku enggak bete?" "Kamu suka baca, Ca?" tanya Mala saat melihat kalau memegang buku novel yang cukup tebal. "Enggak terlalu, tapi aku ... lumayanlah." "Tuh ... kamu enak ada bahan buat ngilangin bete, lha aku?" Aku tahu itu kode Mala sebagai bentuk kata terisrat, "Ca, berhenti baca novelnya dong." Akhirnya aku pun menutup novelku. "Kamu tuh dulunya sekolah di mana, La?" "Pesantren, kamu?" "MTs Barokah." Perbincangan kami ini benar-benar tidak menarik, tapi sebisa mungkin kami melanjutkan pembicaraan kami. Mala dan aku masih sedikit canggung. Kami juga belum terlalu terbuka. Wajar, karena tidak semua orang bisa langsung percaya kepada orang baru. Ada orang yang mudah berbaur, ada orang yang sulit berbaur padahal dahulunya ia memiliki banyak teman. Bisa jadi ia merasa kalau orang-orang di lingkungan barunya itu tidak satu frekuensi dengannya, jadi ia kurang nyaman bahkan terkesan tidak menyukainya. Ada pula orang yang pasif benar-benar pasif. Ya sudahlah, membicarakan karakter orang itu tidak akan ada titik penghabisan. Semua orang itu berbeda. "Hari ini berarti kamu pulang sama kakakmu?" Aku hanya mengangguk. "Ooo ...." "Oh ya, La. Niatnya kamu mau masuk ekskul apa?" "Dari waktu aku pesantren aku nggak terlalu aktif, Ca. Malaslah, lebih baik waktunya digunain buat tidur di rumah." "Dasar SPSC." "Apaan SPSC, Ca?" "Sarjana Pendidikan Rebahan Cui ...." Aku kira lawakanku akan garing seperti biasanya, ternyata Mala malah tertawa sampai terpingkal-pingkal. Selera humornya cukup rendah Mala ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD