BAB 5

1462 Words
Kakiku terasa lemas, jantungku berpacu dengan cepat, napasku berhembus tidak beraturan. Sebisa mungkin aku menetralkan diri, sela dua orang yang maju ke atas panggung yang sudah tersedia, tibalah giliranku. "Semangat, Ukhte ...," teriak teman satu kelasku yang terkenal kelas paling receh. Aku hanya tersenyum simpul, dengan langkah perlahan tapi pasti aku mulai menaiki anak tangga. Saat tiba di atas panggung aku melafazkan basmallah di dalam hati. Ya Allah, lancarkanlah, mudahkanlah. "Ukhte sebelas satu pasti bisa!" heboh teman satu kelasku. Aku memang sering dipanggil ukhti oleh teman-teman satu kelasku. Alasan mereka memanggilku seperti itu adalah, karena aku berpakaian jauh lebih syar'i dari mereka, timbullah panggilan ukhti. Dibelokin dikit jadi ukhte. Receh memang. Kali ini aku membahas tentang marhalatul murahiqoh, kalian yang suka Bahasa Arab pasti tahu, karena dua kata itu sangat familiar. Artinya Masa Remaja. Ya, aku rasa tema ini sedikit sensitif, pembawaannya juga harus lebih hati-hati. Aku harap hati mereka tergerak untuk melakukan kebaikan setelah mereka mendengarkan orasi singkat yang aku ucapkan menggunakan microfon ini. "Di masa ini, kita akan mengalami berbagai perubahan, akal, tubuh, dan pola pikir kita pun akan berubah." Tidak terasa, durasi lima menit sesuai prosedur sudah aku lewati, benar yang pernah ayahku ucapkan. Terkadang ketika kita hendak melangkah maju ke atas mimbar akan terasa tegang di awal, tapi ketika beberapa patah kata telah kita ucapkan, ketegangan itu hilang tanpa disadari. Beban yang tertumpu di bahuku seakan telah terjatuh ke tanah. Lega, enteng, itu yang aku rasakan saat menuruni tiga anak tangga diiringi dengan tepukan tangan para penonton. *** "Ca, kamu dipanggil tuh sama ustaz Ali," ucap Mala tepat saat aku keluar dari pintu aula ketika bel pertanda istirahat terdengar. Aku mengerutkan kening, tidak biasanya dia memanggilku. "Ada apa, ya, kira-kira?" Mala hanya menggedikkan bahu. "Samperin aja, oh ya, selamat udah berhasil maju tadi. Duluan ya, aku mau ke toilet sama Wahdah, kebelet." Setelahnya Mala benar-benar melesat ke arah toilet. Aku langsung melangkah perlahan menuju kantor guru yang terletak di lantai satu sekolah berlantai tiga ini. Aku bisa melihat ustaz Ali di sana. Ia sedang fokus menatap layar laptopnya. "Assalamu'alaikum." Ustaz Ali menoleh ke arahku dengan ekspresi datar, seperti biasa. "Wa'alaikumussalam warrahmatullah, sini duduk di samping saya," titahnya seraya melepas kacamata kotak yang sebelumnya bertengger di hidung mancungnya. "Ada apa ya, Ustaz?" tanyaku karena sejak tadi aku hanya dibiarkan diam. "Kamu tau, saya ini sebenarnya belum berniat untuk menikah. Dan ...." Dia memotong ucapannya seraya memejamkan matanya. "Maksudnya, Ustaz?" Benar-benar aneh. Apa maksud dia mengatakan itu kepadaku. "Saya harus menikahi kamu." Seluruh organ tubuhku seakan berhenti berfungsi, aku diam membeku. Aku memang mengaguminya, tetapi tidak untuk mendapatkannya. Aku tidak mencintainya, lagi pula aku belum siap untuk menikah, aku masih kelas dua Madrasah Aliyah, aku masih ingin berjuang untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Cita-citaku, semua yang sudah aku bayangkan sejak dulu untuk masa depan kelak. "Hatimu berontak menerima saya, begitu pun dengan saya yang harus menerimamu." Entah mengapa kata-kata Ustaz Ali membuat hatiku berdenyut, sakit rasanya. Mungkin jika bisa disamakan, sakitnya itu ibarat saat kamu mengagumi seseorang, lalu kamu memberanikan diri untuk menyatakannya, tapi ia menolakmu mentah-mentah, ya seperti itulah rasanya. Aku pun tidak mengerti, aku tidak sama sekali menyatakan perasaanku, rasa kagumku hanya sekedar rasa kagumnya murid kepada guru, tidak lebih dari itu. "Ada satu hal yang ingin saya katakan, tapi tidak sekarang, sepulang sekolah. Temui saya di sini, saya menunggumu. Sekarang kembalilah ke teman-temanmu." Tanpa memberikan respon apapun aku bangkit, aku melangkah maju tanpa memandang arah yang aku langkahi. Aku hanya menunduk, menatap sepatuku. Pikiranku entah melayang ke mana, aku benar-benar merasa ... ah entahlah aku sulit mendeskripsikannya. "Kamu mau ke mana, Hafshah?" Suara Ustaz Ali menghentikan langkahku, membuyarkan semua pikiranku. Aku terperanjat, jelas sekali raut keterkejutanku. Bagaimana tidak terkejut, tiba-tiba dia sudah ada di sampingku. "Lihat ke depan, Hafshah? Apa kamu mau ke ruangan pribadi saya?" Lagi-lagi aku dibuat malu di hadapan Ustaz Ali. Hafshah kenapa kamu ceroboh. Ah memalukan. "Ma ... maaf, Ustaz, saya permisi, Assalamu'alaikum." *** Di saat aku menyukai suatu waktu, waktu itu berjalan sangat cepat, seolah ingin cepat-cepat menjauh dariku. Namun, di saat aku tidak menyukai suatu waktu, waktu itu terasa lambat, seolah bahagia melihat aku yang merasa tidak bahagia. Ya, seperti sekarang ini. Aku harus diam seribu kata di dalam ruangan pribadi Ustaz Ali. Semua guru sudah pulang, hanya staf Tata Usaha saja yang masih berkeliaran. Ustaz Ali malah asyik dengan tugas-tugasnya. Aku? Aku bagaikan makanan kering, untung tidak dilalerin. "Ekhem." Didehemin saja aku langsung shock, Ya Allah. Tolong hambamu ini, Ya Allah .... "Maaf, saya baru selesai. Saya tidak suka menunda pekerjaan," ucapnya seraya membereskan alat-alat kerjanya lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kamu pasti mau tau, kan, latar belakang semua ini, ya saya rasa kamu wajib mengetahuinya. Saya tidak mau kalau kamu menganggap saya yang lebih dulu mengagumimu lalu memaksakan kehendak untuk menikahimu." Oh Allah .... Sekarang aku percaya kalau terlalu berlebihan menyukai seseorang akan menimbulkan kekecewaan. Aku benci Ustaz Ali, dia benar-benar menyakiti hatiku. Kata-katanya menampakan keangkuhannya yang sebelumnya tersembunyi. "Abi saya sedang sakit, dia mengidap penyakit yang cukup serius, saya yakin kamu sudah mengetahuinya. "Abi saya dan ibumu mempunyai ikatan persahabatan sejak kecil, tapi takdir hanya memberikan mereka waktu bersahabat hanya semasa kecil, mereka harus dipisahkan. "Dan saya tahu kalau sekarang Ibumu pun sedang mengidap suatu penyakit yang serius. "Pertemuan yang tidak disengaja di suatu taman rumah sakit, hingga mereka berencana menikahkan kita. Mereka berharap kita bisa menjadi harapan mereka yang tidak tersampaikan. Ibumu tidak akan menceritakan ini, saya yakin itu. "Permintaan abiku kewajiban bagiku, mau tidak mau aku harus mau." Aku hanya diam. Dia seakan-akan mencoba untuk membuatku tahu kalau dia tidak mencintaiku. "Di sini ada dua insan, Ustaz, bukan cuma Ustaz yang tidak terima dengan semua ini, saya juga. Saya bahkan lebih tidak mau, saya tidak sama sekali mau. Dengan semua penuturan Ustaz sejak pagi tadi, saya bisa melihat jiwa keangkuhan yang Ustaz miliki. Saya rasa cukup, saya pamit, Assalamu'alaikum." Hari ini aku nyatakan, aku membencinya. Ustaz yang sombong. *** Aku tersungkur lemas di depan pintu rumahku. Keramaian yang biasanya membuatku senang kini malah membuatku tersiksa, terhimpit, aku menjerit memanggil namanya. Berusaha menyadarkanku bahwa semua ini hanyalah mimpi yang ketika aku bangun semua akan kembali seperti sediakala. Tenggorokanku seakan tercekat ketika Ayah merangkulku untuk mendekat ke jenazah ibu, ya jenazah Ibu. Aku semakin terisak ketika aku sudah berada di samping jenazah ibuku. Tangisku yang sebelumnya keluar secara lantang seakan otomatis berhenti dan menyikasakan suara isakan yang memiliki makna mendalam. Siapa yang tidak sedih ketika harus berpisah dengan seorang ibu. Dialah satu-satunya tempat mengadu terbaik setelah Allah. Tidak ada orang yang seperti ibu. Di mana orang-orang menyalahkan ia akan membenarkan, di mana orang-orang akan melukai ia akan melindungi, di mana orang-orang akan mencaci ia akan menyemangati. Coba sebutkan siapa orang yang bisa menandingi peran ibu dalam lingkup manusia masa kini. Ayah? Ayah memiliki sisi berbeda, dia istimewa sama seperti ibu, tapi jasa ibu dan ayah masih bisa dibandingkan. Bukan bermaksud membandingkan, memang jelas dalam sebuah hadits pun dijelaskan. Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi perihal siapa yang harus ia hormati, Nabi pun menjawab ibumu! Sebanyak tiga kali lalu Ayahmu sebanyak satu kali. Ini tidak harus menjadi patokan kasih sayang kita terhadap beliau. Beliaulah orangtua kita. Perlakukan mereka seimbang. Pilih kasih itu sangat menyesakkan, orangtua pun memiliki indera perasa. Mereka memang super hero bagi kita, tapi dia tetap manusia seperti kita. Sayangi mereka selagi mereka ada. Bayangkan betapa sayangnya mereka kepada kita, perlakukan mereka seperti mereka memperlakukan kita, bahkan kita harus lebih dari itu. Wajahku kini telah dilimuri airmata, keringat, aku benar-benar tidak sanggup menahan semuanya. Ibu, aku sangat menyayanginya, masih banyak impianku yang belum terwujud, aku ingin membuatnya bahagia dengan prestasiku, aku ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima bersama kedua orangtuaku, aku masih belum menggapai cita-citaku untuk membahagiakan ibu. Aku masih anak nakal yang sering melawan, yang sering menaiki nada bicara melebihi nada bicaranya. Aku menyesal, ya hanya kata itu yang bisa aku ucapkan sekarang. "Sudah, Hafshah, kakak yakin kamu ini wanita kuat. Buktikan kepada ibu kalau kamu bisa membahagiakannya walaupun dia kini sudah tidak ada lagi di sampingmu." Ucapan Kak Farhah sedikit menghilangkan tangisku, tapi tangisku belum bisa reda hanya dengan kata-kata itu. Yang aku ingin ibu bisa kembali bersamaku. Seketika pandanganku berkunang-kurang. Aku baru ingat kalau aku belum makan nasi sama sekali. Tubuhku lunglai seakan memiliki tulang lentur. Di detik itu juga aku hanya melihat kegelapan, aku tidak ingat apapun setelahnya. Aku harap kita bisa bertemu kembali ibu. Kehilanganmu luka terberat bagiku. Aku mencintaimu karena Allah, semoga kita bisa bertemu kembali karena Allah dengan penuh cinta di dalam surga-Nya bersama-sama dengan seluruh keluarga menikmati masa abadi bersama. Aku berjanji ibu, aku akan berusaha menjadi anak baik yang ibu harapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD