BAB 4

1068 Words
Aku tidak menyangka, ternyata waktu satu tahun itu sangat cepat. Perasaan baru saja kemarin aku menginjakkan kakiku di madrasah ini. Sekarang aku sudah menjadi kakak kelas. Ini semua seperti mimpi. Selama satu tahun ini aku benar-benar berubah. Aku meraih peringkat pertama dari awal ulangan, sampai ulangan kenaikan kelas. Tidak bisa ada yang menggantikan posisiku di peringkat pertama. Dan selama satu tahun itu juga aku bisa mengontrol pakaianku, omonganku. Aku bersyukur berkali-kali, semua benar-benar membuatku tidak lepas dari lafaz hamdalah. Aku sudah tidak hanya bergelayutan dengan Mala. Aku bisa berteman dengan teman satu kelasku. Bahkan aku juga dekat dengan sebagian anak-anak dari kelas sebelas dua sampai sebelas empat. Ada sebagian kakak kelas juga yang aku kenal, dan mengenai kak Barra. Aku benar-bener senang, aku bisa dekat dengan kak Barra. Setiap bertemu kita pasti saling tegur sapa. Aku juga kini bisa dekat dengan sebagian guru-guru. Walaupun nilai-nilaiku terlampau besar, masih ada saja guru-guru yang memandangku sebelah mata. Sekarang wajah cantik bisa jadi jaminan, aku sungguh miris dengan wajahku yang pas-pasan. Ah tidak masalah bagiku, pada intinya niat awalku sudah mulai terjalani dengan baik. Untuk tahap selanjutnya adalah, bagaimana aku bisa mempertahankan semua yang sudah aku atur. "Caca ... mau ikut lomba Muharram enggak?" tanya Fadlan Ketua Kelasku yang masuk ke dalam deretan laki-laki yang aku kagumi diam-diam. Hafshah ... Hafshah .... "Ada lomba apa aja?" tanyaku sedatar mungkin, aku tidak mau terlihat berlebihan berbicara dengan lawan jenis. Semua pelosok sekolah mengenalku anti menel sama lawan jenis. "Kamu udah dipasukin ke lomba pidato sama Bu Leli. Kamu tau sendirikan Wali Kelas kita itu," Fadlan memelankan ucapannya. "Pala batu." Aku tersenyum simpul. "Parah, yaudahlah engak apa-apa," ucapku enteng. Padahal di dalam hati aku lagi ngomel-ngomel tidak terima. Dia kira lomba pidato itu enak. Terkadang dengan semua pencitraan ini aku jadi terbiasa. Walaupun terkadang aku merasa imanku itu turun naik kayak ingus. Manusiawilah ya kalau iman naik turun, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk terus menjaga hatiku agar tidak turun iman. Aku melakukan ini semua berasal dari keterpaksaan. Namun lama-kelamaan malah jadi kebiasaan. Kalian mau coba? Silahkan. "Caca, mau ikut ekskul khot enggak?" tanya Mushab teman satu kelasku yang terkenal pintar seni. Gambar apapun dia pasti bisa. "Seru enggak?" "Banget, ikut yuk, dari kelas kita masa cuma aku doang, temenin." "Boleh, lagi juga aku cuma ikut ekskul tahfiz doang, nambah satu enggak masalah, hitung-hitung memperbagus tulisan arab." "Alhamdulillah, yaudah nanti Sabtu kita ke kelas sepuluh tiga bareng, ya?" Aku mengangguk seraya mengacungkan ibu jari. *** Lomba Muharram akan dilaksanakan dua hari ke depan. Berarti aku hanya diberikan waktu dua hari untuk mempersiapkan. Inginku teriak! Aku langsung menyalin beberapa tulisan dari buku ber-cover biru tua yang isinya beberapa ceramahan singkat, ini milik ayahku. Dia lulusan pesantren, semua buku-bukunya aku yang kuasain. "Kamu lagi ngapain?" tanya Ayah yang tiba-tiba datang, tau-tau sudah duduk di atas kasurku, bersampingan denganku. "Aku mau lomba pidato, Yah, jadi aku salin ke notebook aku, biar bisa aku bawa ke mana-mana." Ayah memanggut-manggutkan kepalanya, "Ayah mau ngomong deh sama kamu, ada waktu enggak?" Aku diam sesaat, tidak biasanya Ayah seperti ini. Biasanya saat ingin berbicara dia pasti langsung bicara tanpa meminta ijin denganku. "Iya ada, Yah," jawabku sambil menggaruk telungkukku yang tidak gatal. "Mama, ini tentang mama." Ucapan Ayah berhasil membuat kegiatanku terhenti. Aku langsung melepas pulpen di tanganku, lalu memfokuskan mataku ke arah Ayah. "Mama kenapa, Yah?" Ayah menunduk, dia menghela napas berat. "Sebelumnya kamu harus janji, jangan bicara sebelum Ayah menyelesaikan ucapan Ayah, jangan pergi, pokoknya tetap stay di tempat kamu?" Aku mengangguk antusias. "Sebelumnya, Ayah, mama, kak Farhah, dan kak Farhan minta maaf sama kamu, Hafshah." Ayah menjeda ucapannya, aku masih terus setia menunggunya mengucapkan sesuatu hingga tamat. "Mama mengidap penyakit kanker otak." Ucapan Ayah seolah terucap secara lambat di indera pendengaranku, seluruh organ tubuhku seolah berhenti bergerak seperti biasanya, aku seakan terhantam hingga memojok ke ujung tembok yang keras. Tidak terasa aliran airmata membasahi pipiku. Aku tidak menyangka, sebisa itu mereka menyembunyikannya dariku. "Sebenarnya kami ingin memberitahukan kamu, tapi mama melarang. Ayah tanya kenapa, mama cuma senyum sambil menggeleng, akhirnya satu tahun ini kita umpat dari kamu. Melihat kondisi mama yang semakin hari semakin memburuk, Ayah rasa sudah saatnya kamu tahu. Ayah tidak tega melihat kamu khawatir tiap jam lalu hanya mendapat jawaban “tidak apa-apa mama cuma lelah” Ayah takut kamu menyesal di kemudian hari." Airmataku tidak henti merembes membasahi pipi. Aku benar-benar terluka dengan kabar ini. Aku sangat mencintai mama, aku tidak mau mama kenapa-napa. Walaupun aku masih dikatakan anak yang belum masuk kriteria saleha, tetap saja, hatiku tetap tergugah ingin menjadi anak yang saleha, berbakti kepada orangtua. Aku belum siap rasanya kalau harus menerima kenyataan hidup tanpa seorang mama. "Mama sering lupa, sering bengong, kadang ...." Ayah menunduk. "Kadang mama suka buang air tanpa dia sadari." Aku semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar hancur dengan berita ini. "Kenapa Ayah enggak bawa mama ke dokter?" tanyaku di sela isakan. "Mama enggak pernah mau, dia selalu bilang, “Aku mau menikmati masa tuaku dengan nikmat Allah, dan sakit ini nikmat Allah, aku harus syukuri itu, Mas, kalau memang nyawaku sudah terbataskan, semoga saja kita sekeluarga bisa berkumpul kembali di surganya Allah.” Seperti itu yang selalu mama ucap." Aku menangis semakin jadi, wajahku memerah menahan ledakan tangis, aku hanya bisa menangis dalam ringis, aku sangat mencintai mama. "Aku mau ketemu mama, Yah ...," lirihku. "Jangan sekarang, hapus dulu airmatamu, buat wajahmu fresh, sambut mama dengan senyuman." Aku mengangguk sendu seraya bangkit untuk menuju kamar mandi yang jaraknya sangat dekat dari kamarku. *** Mama sedang melamun sambil menatap pemandangan kota dari arah jendela. Angin berhembus membelai wajah kuning langsatnya yang kini terlihat pucat pasi. Aku memeluknya dari belakang, dia tidak bereaksi apa-apa. "Mama ... aku sayang banget sama Mama, aku cinta banget sama Mama ...," ucapku. Sebisa mungkin aku menahan airmata agar tidak turun. Mama me-respon, dia mengelus jemariku. "Mama lebih dari itu, kamu permata Mama, Mama sayang, cinta, sama kamu." Mama membalikkan tubuhnya, tanpa aba-aba dia memeluku erat. Aku menangis di dalam dekapannya, bayangan hidup tanpa Mama menghantui pikiranku. "Mama, jangan tinggalkan aku, ya?" Mama tidak menjawab apa-apa, dia hanya mengelus punggungku dengan ritme perlahan. "Mama selalu risau kalau jauh dari kamu, sebelum Mama pergi, kelak Mama harap sudah ada pendamping di sisi kamu," ucap Mama setelah lama terdiam. Aku tidak bicara apapun, karena sekarang aku sudah menangis di pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD