CHAPTER 1

3912 Words
Hari itu, langit tampak begitu gelap. Hujan rintik-rintik tidak berhenti berjatuhan. Orang-orang berlalu-lalang sambil memegang sebuah payung untuk melindungi tubuh mereka dari air hujan.Payung itu berwarna-warni membuat suasana yang gelap ini sedikit berwarna. Tidak ada tanda-tanda bahwa cuaca mendung ini akan berganti menjadi cerah. Matahari seakan-akan enggan untuk memperlihatkan cahayanya.  Seorang pria muda yang berusia 24 tahun berlari dengan terburu-buru tanpa mempedulikan tubuhnya yang basah oleh air hujan. Yang ada di pikiran pria itu hanyalah bisa tiba di kantornya secepat mungkin. Pria itu terus berlari menerjang hujan secepat yang dia bisa. Beruntung kantor tempat dimana dia bekerja tidak terlalu jauh dari rumahnya, sehingga tidak membutuhkan waktu yang cukup lama, dia pun tiba di kantor tempatnya bekerja. "Selamat pagi, Dustin. Kau terlihat ... berantakan," sapa seorang pria yang merupakan rekan kerja Dustin, Matt nama pria tersebut. "Hai ... selamat pagi, Matt. Payungku rusak, aku terpaksa berlari dibawah air hujan. Aku tidak terlambat, kan?" "Hm, tidak. Meskipun kau nyaris terlambat tapi setidaknya bos belum datang." "Baguslah kalau begitu."  Dustin Miller, pria yang masih hidup sendirian dengan statusnya yang tidak memiliki kekasih. Dia pria yang sangat cerdas sehingga sangat disayangi oleh pimpinannya. Dia pria yang sederhana namun memiliki paras yang cukup tampan. Kulitnya yang putih bersih dengan tatanan rambut yang rapi dengan warna hitam pekat membuatnya semakin terlihat mempesona. Dia selalu berhasil menarik perhatian para gadis. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari gadis-gadis itu yang berhasil menarik perhatiaannya. Bisa dikatakan dia merupakan pria yang cuek pada wanita.  Dustin melepas jaketnya yang basah kuyup dan menggantungnya pada sebuah gantungan pakaian. Dia pun duduk di sebuah kursi dan menyalakan komputer yang tepat berada di atas meja di depannya. Beberapa dokumen bertumpuk dengan rapi di atas meja kerjanya. Satu demi satu dia membuka dan membaca dokumen-dokumen itu. "Baiklah. Saatnya menyelesaikan semua pekerjaan ini." Setelah bergumam pelan, dia pun mulai mengerjakan tugas-tugasnya. Kecerdasannya memang tidak perlu diragukan lagi. Tarian tangannya di atas keyboard komputer sangatlah cepat, tidak membutuhkan waktu yang lama baginya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya itu. "Waah, seperti biasa kerjamu cepat. Aku semakin bangga memiliki karyawan sepertimu, Dustin." Dustin sempat tersentak ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Sebenarnya dia sudah sangat mengenal suara itu. Sehingga tanpa perlu menoleh ke arahnya, dia sudah mengetahui pemilik suara itu. Dustin berdiri dari posisi duduknya dan berbalik badan. Kini dia tengah berhadap-hadapan langsung dengan pimpinannya. "Pak Treas, selamat pagi. Terima kasih untuk pujiannya," ucap Distin, sopan dengan memasang senyum ramah. "Hari yang gelap tapi semoga kita semua tetap bersemangat." Treas menepuk pelan bahu Dustin. "Tentu saja, Pak." Treas berjalan ke ruangannya setelah membalas sapaan dari para karyawannya. Suasana di ruangan itu amatlah tenang. Semua orang sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing.   Waktu terus berjalan, Dustin mulai merasakan sakit pada perutnya karena sudah saatnya dia mengisi perut dengan makanan. Dustin bangun dari posisi duduk dan berjalan menuju pintu. Dia menghentikan langkah ketika nyaris bertabrakan dengan seseorang yang secara tiba-tiba membuka pintu itu. "Ma-Maafkan aku, Dustin. Kau baik-baik saja?" tanya orang itu panik karena nyaris bertabrakan dengan Dustin karena kecerobohannya yang tidak lihat-lihat ke depan. "Ya, tidak masalah," sahut Dustin. "Kau mau kemana?" "Aku akan membeli makanan, perutku sudah berteriak-teriak minta diisi." "Ooh, begitu. A-Apa kita bisa makan bersama? Aku juga sudah merasa lapar," ajak orang itu, malu-malu. Dustin tersenyum kecil, sebelum berucap, "Kenapa tidak? Ayo, pergi!" ajaknya penuh semangat. Orang itu menganggukkan kepala dengan keriangan di wajahnya. Orang itu merupakan seorang wanita. Sebenarnya dia memiliki paras yang cantik dan mempesona. Cara berpakaiannya pun sangat modis, cukup mudah baginya untuk memikat hati para pria. Rambut panjangnya yang berkibar-kibar setiap tertiup angin semakin menambah pesonanya. Dena itulah nama wanita cantik itu. Dia teman satu kantor Dustin dan merupakan madonna di kantor itu. Semua pria menyukainya tapi entah bagaimana dengan Dustin. Dustin terlihat biasa saja meskipun saat ini dia sedang berjalan beriringan dengan seorang wanita yang tentu saja menarik di mata para pria. Mereka berdua berjalan dalam diam. Tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Sesekali Dena melirik ke arah Dustin yang sedang berjalan di sampingnya. Namun, Dustin tetap menatap ke depan tanpa sedikitpun melirik ke arah Dena. Sikap dingin Dustin inilah yang membuat Dena terpesona padanya.   Setibanya di dalam kantin, Dustin bergegas memesan makanan. Begitupun dengan Dena. Setelah itu, mereka duduk berdua dalam satu meja dengan posisi saling berhadap-hadapan. Mereka berdua melahap makanannya, sama seperti tadi, suasana saat ini pun terasa begitu sepi dan hening. "Hm, Dustin. Boleh aku bertanya sesuatu?" Dustin menghentikan makannya ketika secara tiba-tiba Dena menanyakan hal itu dengan disertai ekspresi gugup di wajahnya. "Apa? Katakan saja," sahut Dustin sambil menatap Dena dengan raut datar. "Kapan kau berencana untuk menikah?" Dustin terdiam seribu bahasa, sebenarnya dia cukup terkejut mendengar Dena tiba-tiba menanyakan masalah seperti itu. "Menikah? Hahaha. Pacar saja tidak ada, bagaimana bisa aku menikah?" "M-Memangnya kau belum punya pacar?" Dustin menjawab pertanyaan Dena dengan menggelengkan kepala. "Kenapa kau tidak mencari pacar?" Sekali lagi Dustin cukup terkejut mendengar pertanyaan Dena yang begitu pribadi itu. Dustin menatap Dena tanpa mengeluarkan suaranya sedikitpun. "Ah, maaf, aku bertanya seperti ini. Ini masalah pribadi ya, seharusnya aku tidak menanyakan ini. Maafkan aku." Dena menundukkan kepala dan dengan terburu-buru kembali melahap makanannya. Akan tetapi, meskipun dia sedang menunduk, Dustin bisa melihat dengan jelas semburat merah di pipi Dena. "Aku belum memikirkan soal itu. Yang kupikirkan sekarang hanyalah fokus pada pekerjaan," jawab Dustin, akhirnya buka suara. "O-Ooh, begitu," gumam Dena masih dengan kepala tertunduk. "Kenapa tiba-tiba kau menanyakan ini?" Dari sikap Dena yang salah tingkah, terlihat jelas dia sedang begitu panik dan gugup saat ini. "T-Tidak kok, aku hanya penasaran saja. Aku sering melihat banyak wanita yang mendekatimu tapi aku belum pernah sekalipun melihatmu jalan berdua dengan wanita. Maaf, apa pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu?" "Sama sekali tidak, aku hanya heran tiba-tiba kau menanyakan hal ini. Aku tidak berniat untuk berpacaran." "Hm, begitu. Lalu apa kau pernah berpacaran sebelumnya? Atau mungkin ada wanita yang kau sukai?" Sebenarnya Dustin merasa enggan untuk membahas masalah ini. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Dena. Yang Dustin lakukan hanyalah mempercepat makannya. Terlihat dengan jelas betapa dia ingin segera menyelesaikan aktivitas makan siangnya. "Maaf Dena, aku pergi duluan. Aku sudah selesai makannya dan masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," pamitnya tiba-tiba. Dena sempat terenyak namun dengan cepat dia mengangguk paham. "Baiklah. Terima kasih sudah bersedia makan siang bersamaku," kata Dena dengan suara pelan. Dena merasa bersalah karena menyadari Dustin buru-buru pergi pasti karena tak nyaman dengan dirinya yang banyak bertanya sejak tadi. Dustin menanggapi perkataan Dena dengan sebuah senyuman. Tanpa menunggu lagi, Dustin pun berjalan dengan cepat meninggalkan Dena yang masih duduk di kursinya. Sedangkan Dustin tanpa berpikir panjang, dia bergegas kembali berjalan menuju ruangan kerjanya.     *** Udara malam yang begitu dingin, membuat Dustin merasa malas untuk melakukan apa pun. Dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil menerawang menatap langit-langit kamar. "Hm, begitu. Lalu apa kau pernah berpacaran sebelumnya? Atau mungkin ada wanita yang kau sukai?" Pertanyaan Dena tadi siang tiba-tiba terlintas di ingatan Dustin. Dia tidak menyangka Dena akan menanyakan itu. Dan yang membuat Dustin terkejut, pertanyaan Dena itu telah membuatnya mengingat sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak ingin dia ingat. Jika membicarakan tentang wanita yang pernah disukai Dustin, tentu saja Dustin pernah memilikinya. Seorang wanita yang begitu dicintai oleh Dustin, namun Dustin sangat menyadari wanita itu tidak akan pernah menjadi miliknya karena dia sudah menjadi milik orang lain.  Selama ini Dustin selalu berusaha untuk melupakan wanita itu, itulah sebabnya dia tidak pernah berkomunikasi dengan teman-temannya semasa kuliah dulu. Ya, wanita itu adalah salah satu teman kuliahnya. Alasan Dustin menghilang dan tidak pernah menghubungi teman-temannya karena satu alasan, dia tidak ingin bertemu ataupun mendengar nama wanita itu yang akan membuat Dustin kembali merasakan sakit di dalam hatinya karena tidak bisa memilikinya.  Akan tetapi, pertanyaan Dena tadi membuat Dustin kembali mengingat wanita itu. Dan entah kenapa saat ini Dustin begitu ingin mengetahui kabar wanita itu. Sudah dua tahun berlalu ketika terakhir kali dia berkomunikasi dengan teman-temannya. Untuk kali ini saja Dustin merasa begitu ingin mengetahui keadaan wanita itu dan juga teman-temannya. Karena itu, dia beranjak bangun dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati komputer di atas meja. Dustin merasakan keraguan di dalam hatinya untuk menyalakan komputer itu. Tapi keinginannya yang begitu besar untuk mengetahui keadaan sang pujaan hati, telah berhasil mengalahkan keraguan di dalam hatinya tersebut.  Perlahan Dustin menyalakan komputer dan duduk di sebuah kursi tepat di depan komputernya. Setelah komputer itu menyala, Dustin membuka emailnya. Dustin membuka kedua matanya dengan lebar ketika melihat begitu banyak pesan dari teman-teman kuliahnya. Sebenarnya, selama ini Dustin sering membuka akun email tersebut namun tidak pernah sekalipun dia membuka inbox atau pesan yang masuk ke emailnya itu. Begitu banyak pesan masuk dari teman-teman kuliahnya. Namun, dari sekian banyak pengirim email, hanya satu nama yang terus dipandangi oleh Dustin. Dia ingin membuka dan membaca pesannya tapi keraguan sempat menjangkiti hatinya. Setelah diam cukup lama sambil menatap nama pengirim email itu, akhirnya rasa penasaran Dustin berhasil mengalahkan keraguan di dalam dirinya. Dia pun membuka dan membaca isi dari pesan itu.   To.     : Dustin From : Freya   Hai, Dus ... dmn kau skrg? Knp kau tdk prnh mnghbungi kmi lg?   To     : Dustin From : Freya   Apa kau baik2 sja? Hbungi aku jk kau sdh mmbca pesan ini ... OK?? ...   To     : Dustin From : Freya   Aku mngkhawatirknmu ... tlong kbari aku scpatnya ...   Satu per satu isi pesan itu terus dibaca oleh Dustin. Begitu banyak pesan singkat yang dikirimkan Freya pada Dustin, namun satu isi pesannya yang membuat Dustin terkejut dan mulai panik.   To       : Dustin From   : Freya   Aku mmbencimu Dus ... kau sdh melupaknku ... aku mmbtuhknmu tp kau tdk ada dsini. Jk kau msh mengcuhknku, aku bnr2 akan mmbncimu dan tdk akan mmaafknmu.   To        : Dustin From    : Freya   Oke ... ini pesan trkhirku untukmu. Trima ksh krna sdh mengacuhknku seperti ini. Anggp sja aku sdh mati. Bye ..."   Dustin tidak pernah menyangka Freya akan mengatakan itu di dalam pesannya. Ya, Freya ... itulah nama wanita itu. Satu-satunya wanita yang amat dicintai oleh Dustin. Karena Freyalah hingga saat ini Dustin tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain. Alasannya hanya satu, Dustin tidak sanggup menghilangkan bayang-bayang Freya dari hati dan pikirannya. Setelah membaca isi pesan itu, Dustin tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia pun menyadari bahwa Freya memang sangat berarti baginya. Dia sangat mengkhawatirkannya dan begitu ingin mengetahui keadaan Freya. Dustin mengambil handphonenya, dia mencari nama seseorang di dalam daftar contact di handphonenya. Dia merasa sangat lega ketika menemukan nama orang itu. Tentu saja nama orang yang dicari oleh Dustin adalah Freya. Semenjak memutuskan untuk melupakan Freya dua tahun yang lalu, Dustin mengganti nomor handphonenya, namun tetap saja dia tidak bisa menghapus nomor handphone Freya dari daftar contact di handphonenya. Dustin kembali merasakan keraguan di dalam dirinya, kemudian akhirnya dia memberanikan diri untuk menelepon Freya. Begitu terdengar suara yang menandakan bahwa teleponnya tersambung, tiba-tiba Dustin merasa jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Mungkinkah ini pertanda bahwa dia masih sangat mencintai Freya? "Hallo ..." Suara itu terdengar sangat lembut seperti biasanya yang diingat oleh Dustin. Dustin sangat merindukan suara ini hingga rasanya ingin berteriak karena begitu senang bisa mendengar suara lembut ini lagi. "Hallo, siapa ini?" Dustin hanya bisa terdiam sambil menajamkan telinganya mendengar suara seseorang di telepon. "Hei, jangan bercanda, jika tidak ingin bicara jangan menelepon. Aku akan menutup teleponnya."  Ya, memang seperti inilah Freya di dalam ingatan Dustin. Dia selalu mudah terbawa emosi dan tidak sabaran. Dustin sudah memutuskan akan berbicara dengan Freya karena itulah sebelum Freya benar-benar menutup teleponnya, Dustin mulai mengeluarkan suaranya. "Hai, Freya. Ini aku," ucap Dustin, suaranya bergetar dan terdengar sedikit serak. "Du-Dustin, kau Dustin, kan?" Di seberang sana, suara Freya tak kalah bergetarnya, mungkin syok karena meyakini yang meneleponnya merupakan seseorang yang sudah dua tahun menghilang tanpa jejak. "Hm, bagaimana bisa kau tahu kalau ini aku?" tanya Dustin, dia sungguh terkejut karena Freya masih mengenali suaranya. "Tentu saja aku tahu, kita sudah bersahabat cukup lama jadi tidak mungkin aku tidak mengenali suaramu. Kemana saja kau selama ini? Kenapa tidak pernah menghubungi kami?" Freya secara terang-terangan mengutarakan kekesalannya. "Maaf, aku sibuk." Dustin hanya menjawab sesingkat itu. Tak terpikirkan olehnya alasan selain ini. "Sibuk? Lalu kenapa kau mengganti nomor teleponmu dan tidak pernah memberi kabar kepada kami?" "Sudah kukatakan aku sibuk, aku tidak ada waktu untuk menghubungi kalian." "Dua tahun ... sudah dua tahun kau menghilang, Dustin. Apa kau tahu betapa kami sangat mengkhawatirkanmu?" "Iya, sepertinya aku tahu, maafkan aku." Dustin dengan tulus meminta maaf. Walaupun dia tahu Freya benar-benar marah padanya kali ini. "Untuk apa ada polisi jika semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan meminta maaf." Dustin merasa heran dengan perkataan Freya. Mungkinkah Freya tidak mau memaafkannya? "Apa kau benar-benar ingin kami memaafkanmu?" tanya Freya tiba-tiba, saat Dustin sibuk memikirkan cara agar Freya mau memaafkannya. "Te-Tentu saja," kata Dustin, meragu. "Kau harus menebus kesalahanmu ini." "Bagaimana caranya?" "Pikirkan sendiri. Ingat Dustin, kau sudah melakukan kesalahan besar karena telah mengabaikan kami semua. Hubungi aku lagi jika kau sudah menemukan cara untuk menebus kesalahanmu. Byeee ... Tuuut ... Tuuuut ... Tuuuut ..." Secara tiba-tiba Freya memutus teleponnya. Sejak dulu Freya tidak pernah berubah, dia selalu bersikap seenaknya seperti ini. Tapi sosoknya yang sederhana dan terbuka itulah yang membuat Dustin terpesona. Seperti yang dikatakan Freya, memang sudah cukup lama mereka bersahabat. Dari yang Dustin ingat mereka mulai bersahabat sejak duduk di bangku SMP. Hingga kuliah mereka selalu bersama-sama dan tanpa Dustin sadari persahabatan itu justru berubah menjadi cinta. Akan tetapi, Dustin tidak pernah berani untuk mengungkapkan perasaannya sehingga beginilah jadinya. Penyesalan pun sudah tidak berarti lagi karena semuanya sudah terlambat bagi Dustin. Dustin sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahannya karena itulah dia memutuskan untuk melupakan Freya dan menghilang dari teman-temannya. Dustin kembali berjalan dan merebahkan tubuh di tempat tidurnya yang empuk. Di dasar hatinya, Dustin merasa sangat bahagia karena bisa mendengar kembali suara Freya yang begitu dirindukannya. Tapi di saat yang bersamaan, dia pun merasa bimbang dan bingung. Entah dengan cara apa dia harus meminta maaf kepada Freya dan teman-temannya?                  ***     Hari itu, seperti biasa Dustin menghabiskan hari dengan bekerja di kantornya. Namun berbeda dengan hari-hari biasanya, hari ini Dustin tidak bisa berkonsentrasi sedikitpun. Alasannya karena dia tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Freya semalam. Dia tidak henti-hentinya memikirkan cara agar bisa berbaikan dengan Freya. Ya, akhirnya Dustin menyadari bahwa hidupnya terasa hampa tanpa Freya. Dulu ketika ada Freya di sampingnya, Dustin merasa hidupnya lebih berarti dan berwarna, meskipun hubungannya dengan Freya hanya sebatas sahabat. Dustin ingin memperbaiki semuanya, dia ingin semuanya bisa kembali seperti dulu. Lebih tepatnya Dustin sudah merasa bosan hidup kesepian tanpa teman-temannya seperti sekarang ini. "Sibuk memikirkan apa, teman?" Suara yang tiba-tiba terdengar dari arah sampingnya, tentu saja sukses membuat Dustin tersentak. "Ti-Tidak ada apa-apa," jawab Dustin, sedikit gugup karena sepertinya dia ketahuan melamun di kantor. "Jangan berbohong, aku bisa melihatnya dengan jelas. Hari ini kau tidak seperti biasanya. Kau terlihat sedang banyak pikiran. Ceritakan saja padaku, mungkin aku bisa membantumu." Robert, itulah nama pria yang dengan baik hati menawarkan bantuan pada Dustin. Dia merupakan teman dekat Dustin di kantor, mereka cukup dekat. Robert sering menceritakan permasalahannya pada Dustin, dan selama ini Dustin selalu berusaha untuk membantunya. "Ayolah, ceritakan padaku, kawan. Mungkin aku bisa membantu mencarikan jalan keluar untuk masalahmu?" Dustin terdiam sambil menatap tajam ke arah Robert. Dustin sempat ragu untuk menceritakan hal ini pada Robert. Namun mengingat betapa bingungnya dia saat ini, akhirnya Dustin menyerah dan menceritakan semuanya pada Robert. Robert mendengarkan cerita Dustin dengan begitu serius. "Ooh, hanya karena masalah sepele seperti ini kau tidak bisa konsentrasi kerja?" "Ma-Masalah sepele kau bilang?" Dustin melongo karena reaksi Robert sangat santai setelah selesai mendengarkan ceritanya. "Ya, ini hanya masalah sepele. Mudah saja untuk menyelesaikan masalah seperti ini. Kuncinya kau hubungi teman-temanmu dan ajak mereka untuk bertemu. Kau tahu, kadang meminta maaf secara langsung akan lebih membuat orang lain tersentuh dan memaafkan kita. Kau bisa mengajak mereka makan atau melakukan sesuatu yang sering kalian lakukan di masa lalu. Ya ... ini sih saranku, terserah kau mau mengikutinya atau tidak." Mendengar perkataan Robert, Dustin akhirnya menemukan suatu cara yang harus dia lakukan untuk menebus kesalahannya. Dengan bibir yang mengulas senyuman lebar, Dustin menatap ke arah Robert. "Terima kasih, Rob. Sepertinya aku akan mengikuti saranmu." "Hm, baguslah kalau begitu. Senang bisa membantumu,” ucap Robert sambil mengangguk-anggukan kepala. "Oke. Sekarang lebih baik selesaikan pekerjaan kita secepat mungkin," tambahnya. "Yups, setuju." Yang langsung disahuti Dustin penuh semangat. Kini dirinya bisa kembali berkonsentrasi. Dustin segera mengerjakan tugas-tugas yang sejak tadi diabaikannya. Yang ada di pikiran Dustin saat ini adalah menyelesaikan tugas-tugasnya secepat mungkin dan menyusun rencana untuk mengikuti saran Robert.   ***   Dustin duduk di sebuah kursi dan tepat di depannya sebuah komputer sedang menyala. Dustin sudah memantapkan hati untuk memperbaiki kesalahannya, dia sadar betapa teman-temannya begitu mengkhawatirkannya selama ini. Dustin bahkan sempat merasa menyesal karena sudah menjauhi teman-teman yang sudah begitu dekat dengannya. Dustin membuka akun email dan membalas pesan dari teman-temannya.   To       : Renee From  : Dustin   Hai ... Re...ini aku Dustin. Maaf karena sdh lama tdk mmberi kbar. Bagaimn klo kita brtemu? Aku sngt merindukan saat2 brkmpul dgn klian smua ..."   To       : Andre From   : Dustin   Hai ... Ndre...ini aku Dustin. Maaf karena sdh lama tdk mmberi kbar. Bagaimn klo kita brtemu? Aku sngt merindukan saat2 brkmpul dgn klian smua ..."   To        : Edmund From    : Dustin   Hai ... Ed...ini aku Dustin. Maaf karena sdh lama tdk mmberi kbar. Bagaimn klo kita brtemu? Aku sngt merindukan saat2 brkmpul dgn klian smua..."   To        : Charlos From    : Dustin   Hai ... Char...ini aku Dustin. Maaf karena sdh lama tdk mmberi kbar. Bagaimn klo kita brtemu? Aku sngt merindukan saat2 brkmpul dgn klian smua ..." To        : Jerry From    : Dustin   Hai ... Jer...ini aku Dustin. Maaf karena sdh lama tdk mmberi kbar. Bagaimn klo kita brtemu? Aku sngt merindukan saat2 brkmpul dgn klian smua ..."   Setelah selesai menghubungi teman-temannya, Dustin terdiam dengan tatapan mata yang tetap fokus pada layar komputernya. Dia sempat merasa khawatir, mungkinkah teman-temannya marah sama halnya dengan Freya? Bisa saja mereka tidak mau membalas lagi pesannya. Akan tetapi, kekhawatiran Dustin hilang ketika komputernya berbunyi dan memperlihatkan pemberitahuan bahwa ada beberapa pesan masuk ke emailnya. Dengan terburu-buru Dustin membuka dan membaca pesan-pesan itu.   To      : Dustin From  : Edmund   Hai ... Dus... kemana saja kau slma ini? Apa kau tdk tahu kt smua mengkhwtrkanmu?   Sebelum membaca pesan yang lain, Dustin membalas pesan dari temannya yang bernama Edmund itu.   To        : Edmund From    : Dustin   Maf Ed ... aku sngt sbuk blkngan ini. Maf krna tdk mmbri kabar. Ed ... bgaimana klo qta brtmu dan brkmpul dgn yg lain sprti dlu? Aku rindu ingn bertmu klian smua ...   To         : Dustin From     : Edmund   Tntu sja ... bgmana klo qta brkemah sprti dlu?   To         : Edmund From     : Dustin   Stuju ... lalu kpn kau pnya wktu?   To         : Dustin From     : Edmund   Mnggu dpn sja ... kbtulan aku lbur 2 hri. Aku ykin yg lainnya jg lbur ...   To          : Edmund From      : Dustin   Oke ... mnggu dpn kita berkemah d tmpt biasa. Aku akan mnghbngi yg lain...   To          : Dustin From      : Edmund   Baiklah ... aku sdh tdk sbar ingn brkmpul dgn klian lgi. Sampai jmpa mnggu dpn friends ...   Setelah menyelesaikan perbincangannya lewat email dengan Edmund, Dustin membaca pesan yang lain yang masuk ke emailnya. Dia merasa lega ketika melihat pengirim pesan-pesan itu merupakan teman-temannya.   To         : Dustin From     : Charlos   Tntu ... aku jg ingn brtmu dan brkmpul dgn klian lagi. Dmn kita akan brtemu?   To         : Charlos From     : Dustin   Mnggu dpn... kita akn krkemah d tmpt biasa sprti dlu.   To         : Dustin From     : Charlos   Oke ... aku psti akan dtng ...   Dustin merasakan kelegaan yang tiada tara di dalam hati. Dia sangat senang karena teman-temannya bersedia untuk bertemu lagi dengannya. Ya, walaupun belum semuanya menyatakan persetujuan mereka untuk bertemu. Dustin pun melanjutkan membaca pesan-pesan yang masuk ke akun emailnya.   To         : Dustin From    : Andre   Dustin ... brsiaplah untk mnerima pukulanku. Aku kesal skali pdmu. Sekian lama aku mengirim pesan dan kau bru mmbalasnya skrg?   To         : Andre From     : Dustin   Maf Ndre ... aku sngt sbuk akhr2 ini. Aku ingin brtmu dgn klian. Bgmna klau mnggu dpn kita berkemah d tmpt biasa sprti dlu?   To         : Dustin From     : Andre   Baiklah aku akan dtng, tp bkn krna aku ingn brtmu dgnmu. Aku akan dtng krna aku ingn skli mnghajarmu.   To         : Andre From     : Dustin   Hahaha ... seram skli ...aku jd tkut. Tp aku sdh tdk sbr ingn brtmu dgnmu. Smpai jmpa mnggu dpn Ndre...   To         : Dustin From     : Andre   Prsiapkn drimu. Jgn trkjut jka nnti aku menghjarmu ...hehe ... smpai jmpa ...   Dustin tersenyum sendiri setiap kali membaca pesan dari Andre. Memang seperti inilah sosok Andre yang Dustin ingat. Cepat sekali marah namun Dustin sangat mengenal sifat Andre. Dustin tahu semua yang dikatakan Andre hanyalah ancaman belaka. Hanya candaan dan tidak akan pernah dia lakukan. Dustin kembali melanjutkan aktivitasnya membaca pesan dari teman-temannya yang lain.   To          : Dustin From      : Renee   Dus ... kmna sja kau? Kmi mngkhwtrknmu. Kau mnggnti nomor ponselmu ya?   To         : Renee From     : Dustin   Ya bgtulah ... maf aku tdk prnh mnghbngi klian. No ponsel klian smua hlng dri dftr contact d handphoneku. Oia Re ... mnggu dpn kta akn brkemah d tmpt biasa. Aku hrp kau bs dtng.   To         : Dustin From     : Renee   Apa Freya jg ikt?   To        : Renee From    : Dustin   Ya...sprtinya dia jg ikt...   To         : Dustin From     : Renee   Hoo ... jdi ini smacam acra reuni kn? Baiklh aku akn ikut. Aku jg sdh lma tdk brtmu Freya.   To         : Renee From     : Dustin   Siiip ... trima kasih Re ... smpai jmpa mnggu dpn   To          : Dustin From      : Renee   Ok ... aku sdh tdk sbr ingn brtmu dgn klian smua ...   Semuanya sudah membalas pesan Dustin dan mereka semua bersedia untuk bertemu dan berkumpul bersama. Tentu saja itu membuat Dustin semakin merasa senang. Namun, Dustin menyadari sesuatu, tinggal satu orang lagi belum membalas pesan emailnya yaitu temannya yang bernama Jerry.   To       : Jerry From  : Dustin   Jer...apa kau sdng sbuk? Mnggu dpn kmi akan brkemah d tmpt dulu kita biasa brkemah. Aku hrap kau jga bs ikt. Aku tnggu kbar drimu...   Dustin mencoba menghubunginya lagi tapi tetap saja pesan balasan darinya belum tampak di akun email. Cukup lama Dustin menunggu balasan dari Jerry, namun pesan balasan itu tidak kunjung muncul. Dustin mulai merasa kesal dan bosan hingga akhirnya dia memutuskan untuk menutup akun email dan mematikan komputernya. Dustin berjalan mendekati tempat tidur dan merebahkan diri di kasurnya yang empuk. Dustin sudah mulai mengantuk akan tetapi masih ada satu hal penting yang belum dia lakukan. Karena itu, sebelum matanya benar-benar terpejam, Dustin mengambil handphone dan menghubungi sebuah nomor yang sudah dia hafal di luar kepala karena terlalu seringnya dia memandangi nomor itu di saat merindukan sang pemilik nomor.             Tuuuut ... Tuuuut ... Tuuuuut ... Suara yang menandakan bahwa teleponnya tersambung membuat Dustin merasa gugup. Entah kenapa dia selalu merasa gugup setiap kali akan berbicara dengan orang yang sedang dia hubungi ini. "Hallo." Kegugupan Dustin bertambah ketika suara lembut itu terdengar di telinganya. "Ha-Hallo, Freya. Selamat malam," Dustin mulai berbasa-basi. "Selamat malam juga, Dustin. Ada apa meneleponku?" Dustin mengernyitkan dahi, suara Freya masih terdengar ketus pertanda dia masih marah padanya. "Apa harus ada sesuatu yang penting baru aku boleh meneleponmu?" "Tidak juga, aku hanya terkejut kau meneleponku larut malam begini." Perkataan Freya membuat Dustin tertegun. Dia menoleh ke arah jam dinding yang terpasang di dinding kamar. Betapa terkejutnya Dustin ketika melihat jarum pada jam itu menunjukkan pukul 1 malam. Dustin bahkan tidak menyadari malam sudah selarut ini karena keasyikan mengobrol dengan teman-temannya di akun emailnya tadi. "Ma-Maaf, Freya. Apa kau sudah tidur? Apa aku membangunkanmu?" "Ya, begitulah..." "Kalau begitu besok saja aku telepon lagi." Dustin bermaksud memutus teleponnya namun dia menghentikan niat ketika kembali mendengar suara Freya. "Tunggu, Dustin ... katakan sekarang saja. Pasti kau memiliki alasan meneleponku malam-malam begini, bukan? Katakan sekarang juga." Dustin terkekeh pelan, tak heran mendapati respon seperti itu dari Freya. "Hm, iya. Sebenarnya ingin memberitahumu, aku sudah menemukan cara untuk menebus kesalahanku. Aku sudah menghubungi semuanya dan mengajak mereka untuk bertemu." "Hooo, benarkah?" Freya tampak meragukan ucapan Dustin, membuat Dustin memutar bola matanya, malas. "Ya, minggu depan kami akan berkemah di tempat biasa kita sering berkemah." "Benarkah itu?" "Tentu saja, kau juga akan ikut kan, Freya?" "Aku tidak mungkin tidak ikut. Sudah lama kita tidak berkumpul. Aku sangat merindukan semuanya. Oh iya, apa kau sudah memberitahu dia?" Dia, meskipun Freya tidak menyebutkan namanya tapi Dustin memahami siapa orang yang dimaksud olehnya. "Belum. Menurutku kau saja yang memberitahunya." "Hm, baiklah kalau begitu. Kami berdua pasti akan ikut. Aku akan memberitahu dia sekarang. Dustin, selamat malam dan sampai bertemu minggu depan." "Ya, sampai bertemu minggu depan." Freya memutus teleponnya. Dustin tidak pernah menyangka bahwa hatinya akan terasa sakit seperti ini ketika Freya membicarakan tentang dia. Pada awalnya Dustin mengira setelah dua tahun berlalu, dia akan menerima kenyataan ini tapi ternyata perkiraannya salah besar. Rasa sakit yang dia rasakan tetap sama seperti dulu, tidak berkurang sedikit pun. Dustin memejamkan mata, mencoba untuk melupakan sejenak rasa sakit hatinya itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD